Liputan6.com, Bandung - Seorang pelajar di Singapura, Lu Xuanzheng, pingsan usai berlari 2,4 kilometer dalam tes kebugaran fisik Sekolah Menengah Woodlands, Singapura, pada 2 Mei 2024 lalu dinyatakan mati otak dalam perawatannya.
Usai dirawat di rumah sakit, Lu mengalami koma parah dan dirawat selama lebih dari tiga minggu. Dokter menyatakan Lu meninggal akibat mati otak pada tanggal 25 Mei, setelah 24 hari dalam keadaan koma.
Advertisement
Kasus yang terjadi belum lama ini, dijelaskan dr Kevin Adrian di laman Alo Dokter, orang yang mengalami mati otak membutuhkan obat-obatan dan alat bantu, seperti mesin ventilator, agar bisa bernapas dan agar jantungnya tetap berdetak.
"Orang tersebut tidak akan bisa kembali sadar atau bernapas sendiri, karena otaknya sudah tidak berfungsi," terang Adrian dicuplik Sabtu, 22 Juni 2024.
Adrian menjelaskan, mati otak merupakan kondisi ketika seluruh aktivitas otak terhenti secara permanen. Orang yang mengalami kondisi ini berada pada keadaan koma dan tidak akan sadar kembali.
Otak yang telah mati juga tidak bisa lagi mengatur fungsi berbagai sistem organ tubuh. Dengan kata lain, orang yang mengalami mati otak bisa dinyatakan sudah meninggal.
Mati otak bisa terjadi ketika suplai darah atau oksigen ke otak terhenti, sehingga jaringan otak pun mati dan tidak bisa berfungsi. Hal tersebut bisa disebabkan oleh beberapa kondisi, seperti:
- Gangguan fungsi jantung, misalnya henti jantung dan serangan jantung
- Stroke
- Cedera kepala yang parah
- Perdarahan otak
- Infeksi pada otak, seperti meningitis
- Tumor otak
- Herniasi otak
Ciri Seseorang Dinyatakan Mati Otak
Ada beberapa kriteria agar seseorang dinyatakan mati otak, yaitu:
1. Berada dalam kondisi koma yang tidak bisa disadarkan kembali
Berada dalam kondisi koma bukan berarti mati otak. Apabila ada kemungkinan untuk sadar dari kondisi koma, seseorang tidak bisa dinyatakan mati otak.
Untuk menentukan apakah seseorang bisa sadar kembali atau tidak dari kondisi koma, dokter harus mencari tahu dulu apa penyebabnya. Meski jarang terjadi, ada beberapa kondisi yang membuat seseorang seolah-olah mati otak, padahal tidak. Contohnya:
- Hipotermia
- Gangguan metabolik
- Keracunan atau overdosis obat-obatan, misalnya narkoba dan obat penenang
- Kondisi vegetatif atau vegetative state
2. Tidak ada refleks
Seseorang dianggap mati otak apabila tidak ditemukan refleks otak di tubuhnya, seperti:
- Mata tidak terpaku pada wajah pemeriksa ketika kepala digerakkan ke kiri dan ke kanan
- Pupil mata tidak mengecil ketika mata disinari cahaya
- Tidak berkedip ketika dokter meneteskan air ke bola mata atau menyentuh bola mata dengan suatu benda, misalnya cotton bud
- Mata tidak bergerak ketika air es disemprotkan ke dalam telinga
- Tidak ada refleks batuk atau muntah
3. Tidak ada napas
Untuk menentukan apakah seseorang mengalami mati otak, dokter juga akan memantau pernapasan dan tanda-tanda vital lain, seperti denyut nadi atau detak jantung.
Seseorang disebut sudah mati otak atau meninggal jika ia tidak lagi bisa bernapas sendiri, serta jantungnya tidak berdetak atau tidak ada denyut nadi.
Orang yang henti jantung juga bisa mengalami kondisi tersebut, tetapi biasanya masih dapat tertolong apabila segera diberikan bantuan berupa resusitasi jantung paru (RJP).
Penderita henti jantung yang tertolong setelah mendapatkan RJP bisa kembali sadar, bernapas sendiri, dan jantungnya berdetak kembali.
Lain halnya dengan orang yang mati otak. Penderita mati otak tidak akan bisa kembali sadar atau bernapas sendiri tanpa bantuan alat, meski telah dilakukan RJP berkali-kali.
Untuk mendiagnosis dan memastikan kondisi mati otak pada pasien, dokter dapat melakukan beberapa tes penunjang, seperti:
- Elektroensefalografi (EEG), untuk mengukur aktivitas listrik pada otak pasien. Pada pasien yang sudah meninggal, aktivitas gelombang atau listrik otaknya tidak lagi terdeteksi.
- Pemeriksaan listrik jantung (EKG), untuk menilai aktivitas listrik dan detak jantung. Orang yang mati otak atau sudah meninggal tidak lagi memiliki aktivitas listrik di jantungnya.
- Tes pencitraan, seperti angiografi, CT scan, MRI, dan USG Doppler, untuk mengetahui kondisi otak dan mendeteksi aliran darah ke otak.
Jika seseorang telah dipastikan mengalami mati otak atau meninggal, penggunaan obat-obatan atau alat bantu napas sebenarnya sudah tidak lagi efektif karena kondisinya sudah tidak bisa tertolong.
Namun, terkadang sulit untuk memastikan apakah seseorang mengalami mati otak atau koma karena kondisi medis lainnya. Oleh karena itu, diagnosis kematian otak harus dilakukan oleh setidaknya oleh dua dokter, termasuk dokter spesialis saraf.
Advertisement
Peluang Donor Organ oleh Pasien Mati Otak
Pasien mati otak yang sebelumnya sehat atau memiliki organ tubuh yang masih berfungsi dengan baik merupakan salah satu kandidat untuk menjadi donor organ.
Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, pasien mati otak bahkan merupakan salah satu sumber donor organ tertinggi.
Di Indonesia, pasien mati otak pun bisa menjadi seorang donor organ, asalkan memenuhi syarat tertentu, yaitu:
- Kondisi organ tubuh yang hendak didonorkan masih sehat
- Pasien sudah dinyatakan mati otak oleh dokter, biasanya dalam bentuk surat atau sertifikat kematian
- Pasien tidak pernah menderita penyakit tertentu, seperti HIV, hepatitis B, atau malaria
Selain itu, secara hukum dan etika kedokteran, pasien mati otak juga baru bisa menjadi seorang donor organ jika prosedur donor organ telah disetujui oleh keluarga pasien, atau oleh pasien sendiri sebelum ia mengalami mati otak. Persetujuan ini biasanya berupa pernyataan tertulis (informed consent).
Dalam kasus Lu Xuanzheng, sang ibu Su Yanfen menyumbangkan organ anaknya yang meninggal di usia 14 tahun karena mati otak.