Liputan6.com, Jakarta - Raineldis Bero dari Lembaga Pemberdayaan Perempuan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) periode 2022-2024, menilai terjadi ketimpangan relasi kuasa dari pemberi kerja, terhadap seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang kerap berujung pada ketidakadilan ekonomi dan kekerasan fisik.
Raineldis meyakini, PRT juga memiliki hak untuk menikmati pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta perlindungan atas pekerjaanya, seperti cuti, upah, keamanan, dan juga kondisi pekerjaan yang layak.
Advertisement
“Ini yang diusahakan dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) di Indonesia,” kata Raineldis melalui keterangan tertulis diterima, Jumat (28/6/2024).
Raineldis mencatat, dalam RUU PPRT, Negara menjamin hak-hak dari PRT itu sendiri. Mulai dari waktu kerja yang manusiawi, hingg jaminan sosial dan kesehatan.
“Perlindungan yang dijamin oleh RUU PPRT inilah yang dibutuhkan oleh pekerja rumah tangga di Indonesia,” yakin Raineldis.
Raineldis mengungkap, dalam prakteknya, PRT melibatkan tiga pihak yakni penyalur, pemberi kerja dan PRT itu sendiri. Namun saat ini, jika belum ada payung hukum khusus tentang PRT, terkadang pihak penyalur memainkan peran tunggal tanpa melibatkan kesepakatan PRT terhadap pemberi kerja.
“Efeknya, jika pemberi kerja akan memberi upah kepada PRT maka dikirimkan dahulu ke penyalur lalu pihak penyalur memberikan kepada PRT. Sering kali pihak penyalur memotong upah PRT lumayan besar, dengan dalih kontribusi kepada pihak penyalur karena pihak penyalur telah memberi pekerjaan,” kritik Raineldis.
Raineldis mengamati, efek tersebut dinormalisasi, apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta. Maka dari itu, amat disayangkan saat penyalur bisa mendapatkan keuntungan pribadi, sedangkan PRT merugi bahkan berpotensi mengalami kekerasan oleh pemberi kerja.
Kasus
Berdasarkan laporan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), terdapat 3308 kasus kekerasan PRT sepanjang 2021 sampai dengan Februari 2024. Sementara itu, sejak 2012 hingga 2022, kasus kekerasan terhadap PRT cenderung terus naik, data kompilasi kekerasan terhadap PRT yang dihimpun Komnas Perempuan selama 2005 hingga 2022 memaparkan telah terjadi sekitar 2.344 kasus kekerasan.
"Pada titik inilah dibutuhkan peran pemerintah dalam melindungi PRT melalui sebuah regulasi. Bagi kami, PRT perlu dilindungi dan harus memperoleh hak-haknya. Untuk itu, peran negara seharusnya hadir untuk melindungi,” desak dia menandasi.
Advertisement