Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menghitung adanya kenaikan biaya pengadaan BBM imbas dari pelemahan rupiah. Hal ini disinyalir juga berdampak pada beban dari APBN.
Komaidi mencatat, pelemahan rupiah dan/atau peningkatan harga minyak (ICP) memberikan dampak langsung terhadap meningkatnya biaya pengadaan energi, termasuk listrik, BBM, dan gas di Indonesia. Peningkatan biaya pengadaan energi di Indonesia dapat disebabkan karena meningkatnya harga bahan baku dan/atau akibat selisih kurs rupiah.
Advertisement
Dia menghitung, setiap kenaikan harga minyak mentah sebesar USD 1 per barel akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar Rp 150 per liter. Sementara, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp 100 per USD, akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar Rp 100 per liter.
"Berdasarkan data, rata-rata realisasi kurs tengah Bank Indonesia selama 1 Januari - 26 Juni 2024 adalah Rp 15.892 per USD atau lebih tinggi Rp 892 per USD dibandingkan asumsi APBN 2024," ujar Komaidi dalam keterangannya, Jumat (28/6/2024).
"Jika mengacu pada hasil simulasi poin 6, pelemahan rupiah tersebut memberikan dampak terhadap meningkatnya biaya pengadaan BBM sekitar Rp 705 untuk setiap liternya," sambungnya.
Dia menaksir, biaya pengadaan BBM akan lebih besar lagi jika memperhitungkan realisasi rata-rata ICP pada periode yang sama tercatat lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN 2024.
Menurutnya, pelemahan nilai tukar tak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara lain juga tercatat mengalami kenaikam harga BBM, sepeeti Singapura, Filipina, Thailand, Laos, dan Vietnam.
"Sebagai gambaran rata-rata harga BBM untuk jenis Bensin RON 95 selama Januari-Juni 2024 dari sejumlah negara seperti Singapura, Filipina, Thailand, Laos, dan Vietnam masing-masing adalah Rp 33.850/liter, Rp 19.302/liter, Rp 16.850/liter, Rp 23.650/liter, dan Rp 15.033/liter," paparnya.
Harga BBM Bisa Naik?
Guna menghitung kemungkinan kenaikan harga BBM, Komaidi merujuk pada perbandingan pendapatan dan belanja negara. Pada kuartal I-2024, pendapatan negara dilaporkan sekitar 7,57 persen lebih rendah dibandingkan Q1-2023.
Penerimaan pajak dilaporkan turun 9,29 persen dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dilaporkan turun 6,69 persen. Realisasi belanja negara baik untuk pemerintah pusat dan transfer ke daerah pada periode yang sama justru dilaporkan lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
"Jika mempertimbangkan kondisi realisasi APBN sampai Q1-2024 serta memperhatikan aspek keberlanjutan ketersediaan BBM di dalam negeri, penyesuaian harga BBM kemungkinan akan menjadi opsi yang cukup logis di tengah relatif terbatasnya opsi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah," tuturnya.
Dia mengatakan, kebijakan harga yang kurang proporsional dan terbatasnya anggaran subsidi berpotensi menimbulkan risiko ekonomi dan sosial yang besar. Pasalnya, ada potensi terganggunya keberlanjutan pasokan BBM di dalam negeri.
Advertisement
Antisipasi Risiko
Kemudian, Komaidi menyampaikan, meskipun kemungkinan akan menjadi opsi kebijakan yang cukup logis, pemerintah perlu mengantisipasi potensi risiko yang dapat ditimbulkan dari kebijakan penyesuaian harga BBM. Mengingat produk domestik bruto (PDB) Indonesia baik berdasarkan pendekatan sektoral maupun kelompok pengeluaran memiliki keterkaitan yang kuat dengan harga energi.
Berdasarkan kelompok pengeluaran, sekitar 55 persen PDB Indonesia merupakan kontribusi dari sektor konsumsi yang relatif sensitif terhadap tingkat inflasi. Level harga energi yang optimal memiliki peran penting dalam mencapai target makro ekonomi termasuk target penerimaan negara di APBN.
"Hal itu karena sekitar 82 persen pendapatan negara pada APBN 2024 direncanakan berasal dari penerimaan perpajakan yang sangat ditentukan oleh realisasi pertumbuhan ekonomi (PDB). Sekitar 50 % penerimaan perpajakan dikontribusikan oleh sektor industri dan sektor perdagangan yang memiliki keterkaitan cukup kuat dengan ketersediaan energi," ucap dia.
"Mencermati permasalahan yang ada tersebut, ReforMiner menilai saat ini pemerintah menghadapi tantangan yang relatif sulit untuk dapat memformulasikan kebijakan fiskal dan kebijakan harga energi yang optimal untuk mengantisipasi dampak negatif yang berpotensi ditimbulkan dari pelemahan nilai tukar rupiah," pungkas Komaidi Notonegoro.