Fenomena Grey Charter Resahkan Pelaku Industri Pesawat Carter, Ingatkan Potensi Pajak yang Hilang

Grey Charter adalah penerbangan yang dilakukan pesawat yang teregister sebagai pesawat pribadi, namun disewakan secara komersial untuk mengangkut penumpang.

oleh Tim Regional diperbarui 28 Jun 2024, 13:01 WIB
Acara Asian Sky Forum: Business Aviation 2024 membahas fenomena grey charter. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena grey charter menjadi keprihatinan mendalam para pelaku industri pesawat carter di Indonesia. Selain faktor jaminan keselamatan penumpang, potensi pendapatan negara dari sejumlah sektor pajak juga potensi menguap.

”Memang belum ada angka statistik persisnya, tapi melihat realitas di lapangan setidaknya 2-3 movement (penerbangan carter di Indonesia) itu grey,” ungkap Chief Marketing Officer Jetset Harilal Mohanan, pada acara Asian Sky Forum: Business Aviation 2024, di Jakarta, Kamis (27/6/2024).

Grey Charter adalah penerbangan yang dilakukan pesawat yang teregister sebagai pesawat pribadi, namun disewakan secara komersial untuk mengangkut penumpang. Karena tidak teregister secara resmi sebagai pesawat carter, dampak yang sudah pasti adalah minimnya atau bahkan ketiadaan jaminan keselamatan bagi penumpang yang diangkut, termasuk ketiadaan asuransi.

Sebagian besar pesawat pribadi itu pun teregister di luar negeri dengan pilot asing pula.

”Di sini kita belum ada regulasi yang solid terkait situasi ini. Terus terang, ini meresahkan secara jangka pendek maupun panjang,” imbuhnya.

Pasar pelaku industri yang sudah teregister secara resmi di Kementerian Perhubungan ini otomatis tergerus oleh aktivitas mereka. Sedangkan secara jangka panjang, image industri carter potensi tercederai ketika semisal ada kecelakaan yang melibatkan pesawat grey charter.

Kejadian jatuhnya pesawat di Malaysia, pada Agustus 2023, lalu yang menewaskan sejumlah orang sebagai contohnya.

”Kami berharap regulator punya konsen terhadap hal ini,” imbuh Harilal.

Chief Operations Officer Jetset Dhede Damanik menambahkan, perhatian pemerintah ini penting karena potensi pengembangan industri penerbangan non-airline di Indonsia, dalam hal ini pesawat carter, cukup besar.

2 dari 2 halaman

Indonesia Tertinggi Ketiga di Asia

Ilustrasi pesawat terbang lepas landas dari bandara.

Di Asia, Indonesia saat ini setidaknya sudah tercatat memiliki penerbangan carter tertinggi ketiga setelah Singapura dan Jepang.

”Kita di Indonesia itu rata-rata sudah 200 movement take off-landing per bulan, ini sudah sekitar setengahnya dari Singapura,” ungkapnya. Dengan angka yang tinggi itu, lanjut dia, maka sudah semestinya ada regulasi yang lebih baik terkait fenomena grey charter di Indonesia. Hal ini menyangkut potensi pendapatan negara pula.

”Kita operator yang resmi teregister di (Kementerian) Perhubungan ini kan bayar pajak, semua invoice kena pajak, kalau mereka kan tidak wajib pajak,” imbuh Dhede.

 

Infografis Buntut Aksi Hacker Bjorka & Prioritas RUU Perlindungan Data Pribadi. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya