Liputan6.com, Beijing - Tepat pada hari ini, 87 tahun yang lalu pada 7 Juli 1934, invasi Jepang ke China dilakukan secara besar-besaran. Dorongan Jepang untuk menjadi negara dengan kekuatan besar mengharuskan mereka untuk menguasai China.
Kemudian, Jepang berhasil mengalahkan China dalam perang yang terjadi pada tahun 1890-an dan mengambil alih Korea.
Advertisement
Setelah keberhasilan tersebut, mereka kemudian menyusup ke Manchuria, wilayah China yang kaya akan cadangan batu bara dan berbagai jenis mineral. Lalu membangun industri di sana.
Mengutip History Today, Minggu (7/7/2024), pada tahun 1931 mereka mengambil alih Manchuria secara keseluruhan sebelum melakukan ekspansi ke wilayah selatan.
Pada tahun 1937, terjadi peristiwa penting di mana negara-negara dengan perwakilan di China diizinkan untuk menempatkan pasukan kecil di sana untuk melindungi kepentingan mereka masing-masing, sesuai dengan perjanjian yang berlaku pada awal abad itu.
Kemudian sejumlah pasukan kecil dari Jepang dan Tiongkok ditempatkan di wilayah barat yang disebut Jembatan Marco Polo oleh dunia Barat. Jembatan ini dinamai berdasarkan penjelajah bernama Marco Polo yang melihat dan menggambarkan jembatan ini.
Lokasinya terletak di dekat kota Wanping, di luar Beijing.
Pada malam bulan Juli itu, terjadi insiden di mana Jepang melakukan latihan militer tanpa memberikan pemberitahuan kepada pihak Tiongkok yang berada di sekitar. Tembak menembak terjadi di antara mereka yang membuat kebingungan pasukan Tiongkok.
Jepang mendapati salah satu tentaranya hilang dan menduga bahwa pasukan Tiongkok mungkin telah menangkapnya. Mereka meminta izin untuk mencari di Wanping, namun pihak Tiongkok menolak dan mengatakan bahwa mereka akan melakukan pencarian sendiri dengan didampingi oleh satu perwira Jepang.
Ketegangan meningkat ketika pasukan infanteri Jepang berusaha memaksa masuk ke Wanping tetapi ditolak mundur oleh pasukan Tiongkok.
Kekejaman yang Mengerikan
Setelah ketegangan meningkat, kedua belah pihak mengirim lebih banyak pasukan ke daerah tersebut. Pada pagi hari tanggal 8 Juli, pasukan infanteri Jepang dan kendaraan lapis baja menyerang jembatan dekat Wanping dan berhasil merebutnya untuk sementara waktu sebelum akhirnya dihalau kembali oleh pasukan Tiongkok.
Berbagai upaya dilakukan untuk menyelesaikan masalah, namun setelah insiden tersebut, pasukan Jepang menggunakan alasan tersebut sebagai justifikasi untuk melakukan invasi besar-besaran ke Tiongkok.
Ratusan ribu tentara Jepang dikirim ke Tiongkok, yang menyebabkan jatuhnya Beijing, Shanghai, dan Nanjing pada tahun 1937. Nanjing, ibu kota Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-Shek, juga jatuh ke tangan Jepang.
Pertempuran ini disertai dengan kekejaman yang mengerikan, terutama terkenal dengan apa yang dikenal sebagai Pemerkosaan Nanjing.
Sekitar 100.000 orang Tiongkok diperkirakan tewas dalam pembantaian ini, termasuk ribuan wanita Tiongkok yang diperkosa sebelum dibunuh. Korban-korban ini sering kali diperlakukan dengan kekejaman ekstrem, seperti penguburan hidup-hidup, pemotongan hidup-hidup, atau penenggelaman.
Pada akhir tahun 1938, sebagian besar wilayah Tiongkok utara dan timur telah dikuasai oleh Jepang, termasuk pesisir timur. Konflik ini terus berlanjut dan akhirnya meluas menjadi bagian dari Perang Dunia Kedua
Advertisement
Peringatan Insiden Perang di Jembatan Marco Polo
Setelah kejadian itu, pada tahun 2005, rakyat China memperingati 68 tahun insiden Jembatan Marco Polo yang memicu perang melawan Jepang di Beijing, China, Kamis (7/7). Dalam acara itu, sekitar 5.000 orang berkumpul di atas Jembatan Marco Polo.
Acara peringatan itu dipimpin Li Changchun dari Politbiro (Political Bureau of CPC Central Committee)--Partai Komunis di China--dan dihadiri sekitar 5.000 orang.
Selain untuk mengenang insiden Jembatan Marco Polo--yang dalam bahasa China disebut Lugou, mereka berkumpul untuk menandai dibukanya kembali Tugu Peringatan Perang melawan Jepang.
Insiden Jembatan Marco Polo ini terjadi pada 7 Juli 1937. Kala itu serdadu Jepang yang ditugaskan dekat jembatan tersebut bentrok dengan tentara China.
Bentrokan tersebut kemudian memicu perang besar-besaran di seluruh negara Tirai Bambu untuk melawan tentara pendudukan Jepang. Perang berlangsung selama hampir 10 tahun dan merenggut korban jiwa sekitar 35 juta rakyat China.
Di tengah memburuknya hubungan Beijing dan Tokyo akibat terbitnya buku sejarah di Jepang, peringatan ini seperti membuka luka lama rakyat China akibat penjajahan Jepang.
Jajak pendapat menunjukkan sentimen anti-Jepang masih dirasakan kalangan muda China. Sikap itu menggambarkan kemarahan pemuda China atas jejak militer Jepang di masa lalu. China kini tengah menghendaki menjadi negara yang kuat, baik ekonomi maupun militer agar dapat mempertahankan diri dari serbuan bangsa lain.
Aksi Anti-Jepang di Korsel dan China Berlanjut
Sementara itu, Aksi menentang Jepang berlanjut di Korea Selatan. Baru-baru ini, unjuk rasa berlangsung di depan Kantor Kedutaan Besar Jepang untuk Korsel di Seoul. Demonstran membakar peti jenazah dengan foto Duta Besar Jepang Toshiyuki Takano. Ini sebagai simbol penolakan terhadap kehadiran wakil pemerintah Jepang di Korsel.
Aksi anti-Jepang meningkat sejak Negeri Matahari Terbit menyetujui buku sejarah baru yang menghapus kekejaman tentaranya di negara-negara bekas jajahan termasuk Korsel pada masa Perang Dunia II. Belakangan, kedua negara juga terlibat sengketa wilayah Kepulauan Dokdo yang oleh Jepang dinamai Kepulauan Takeshima.
Aksi anti-Jepang juga berlangsung di China. Saat ini, aksi telah memasuki pekan ketiga. Pengunjuk rasa juga menentang buku sejarah tersebut. Mereka juga menolak klaim hak eksplorasi gas oleh Jepang di Laut China bagian Timur. Untuk meredam konflik terbuka, Menteri Luar Negeri Jepang Nobutaka Machimura mengusulkan perundingan damai dengan China
Advertisement