Liputan6.com, Jakarta Stunting dan disabilitas adalah dua bahasan yang berbeda. Hal ini disampaikan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dokter Hasto Wardoyo di Semarang, Kamis, 27 Juni 2024.
“Difabel dengan stunting beda bahasan karena stunting itu real tidak ada kelainan kongenital yang menjadi disabilitas. Tapi stunting itu fisiknya seolah-olah normal tapi mengalami tidak optimal ukuran tinggi badannya dan sekaligus tidak optimal dalam kemampuan kecerdasan otaknya,” kata dokter Hasto kepada Disabilitas Liputan6.com dalam media briefing.
Advertisement
Meski demikian, Ketua LSM Lumbung Informasi Rakyat atau LIRA Disability Care (LDC) Sidoarjo, Abdul Majid mengatakan bahwa kedua hal tersebut memiliki irisan atau keterkaitan.
“Stunting irisannya dengan disabilitas fisik, selain daksa kaki, tangan, kan ada little people atau orang kecil, itu kan termasuk kategori disabilitas fisik juga. Dan kalau kemudian stunting ini diperluas maknanya untuk disabilitas saya pikir enggak ada salahnya juga biar ada intervensi dari pemerintah,” kata Majid kepada Disabilitas Liputan6.com melalui pesan suara, Jumat, 28 Juni 2024.
Selain memiliki irisan dengan stunting, orang tua yang sempat sakit stroke dan mengalami perubahan fungsi fisik yang menetap juga termasuk kategori disabilitas fisik.
Stunting Masuk Kategori Disabilitas Perlu Dikaji Dulu
Ada irisan dengan disabilitas fisik, tapi anak stunting yang masuk kategori disabilitas perlu dikaji terlebih dahulu.
“Memang ini harus benar-benar dikaji dahulu karena menurut undang-undang kan ada definisi disabilitas. Seseorang dengan hambatan sensorik, fisik, mental, intelektual, atau ganda dalam waktu yang cukup lama dan mengganggu interaksi sosial mereka di ruang publik,” jelas Majid.
“Jadi dalam kasus stunting ini perlu dipastikan dulu apakah anak dengan stunting ini memiliki gangguan intelektual dalam waktu yang panjang. Misalkan hambatan berpikir, hambatan memahami sesuatu, ini kan disabilitas intelektual.”
Artinya, menurut pria yang juga menyandang disabilitas netra, menyatakan anak stunting sebagai penyandang disabilitas juga perlu asesmen terlebih dahulu.
Advertisement
Wacana Masukkan Stunting dalam Definisi Disabilitas
Sebelumnya pada 2019, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia berencana memperluas definisi disabilitas.
Ini disampaikan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, Anung Sugihantono dalam acara Pers Briefing Peringatan Hari Disabilitas Internasional 2019 di Gedung Kemenkes, Jakarta, Rabu, 27 November 2019.
Menurut Anung, ada tiga isu utama disabilitas yang menjadi sorotan pemerintah. Pertama adalah deskripsi faktor risiko terjadinya disabilitas. Kedua, perluasaan definisi disabilitas, salah satunya memasukkan stunting atau kondisi kekurangan gizi kronik yang dianggap dapat memengaruhi produktivitas penyandangnya.
Ketiga adalah isu pemerataan pelayanan yang bukan hanya melibatkan tenaga dokter tapi juga peran serta masyarakat.
Melansir laman Perhimpunan Besar Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia (Perdosri), stunting merupakan kondisi kurang gizi pada anak yang bisa terjadi pada sosio-ekonomi rendah, sedang hingga tinggi.
"Jadi biasanya penyebabnya banyak. Salah satunya kelainan kongenital (kelainan bawaan) yang bisa terjadi dan dapat menyebabkan IQ (kecerdasan intelektual) rendah," kata Ketua Perdosri Tirza Tamin.
Dia menambahkan, pihaknya bersama Kemenkes akan mengantisipasi agar ke depannya anak-anak stunting tidak mengalami learning disabilities atau ketidakmampuan belajar.
"Jadi di sinilah peran Perdosri memberikan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi pendidikan. Kita masuk dalam hal ini karena kita tahu, kalau masalah ini dibiarkan, bagaimana ke depannya mereka (anak stunting) ini secara intelektual ke depannya."
Stunting Belum Masuk Kategori Disabilitas
Hingga 2024, wacana di 2019 itu disebut belum terlaksana. Hal ini disampaikan menurut pantauan Direktur Bandung Independent Living Center (BILiC) Zulhamka Julianto Kadir.
“Iya (belum terlaksana) karena kalau stunting masuk kategori disabilitas, jumlah disabilitas makin banyak lagi,” kata pria yang akrab disapa Anto kepada Liputan6.com melalui pesan teks, Jumat, 28 Juni 2024.
Sesuai UU No. 8 Tahun 2016, kategori disabilitas sensorik, fisik, intelektual dan mental, seseorang menjadi disabilitas jika memiliki keterbatasan dalam jangka waktu panjang minimal enam bulan atau lebih. Kondisi ini dapat membuat penyandangnya tak bisa berpartisipasi secara penuh dan aktif di lingkungan hingga hak-haknya tidak terpenuhi.
“Anak stunting yang diasuh polanya, gizi dan lain-lainnya maka ada recovery dan bisa seperti semula lagi. Itu nggak termasuk disabilitas,” kata pria pengguna kursi roda itu.
Advertisement