Liputan6.com, Jakarta Sejumlah kendala diakui aparat kepolisian dalam mengungkap kasus meninggalnya Akseyna Ahad Dori, mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Indonesia (UI). Delapan tahun silam, Akseyna ditemukan tewas di Danau Kenanga, UI, Depok, Jawa Barat.
Kendala itu terkait dengan kesulitan awal untuk mengidentifikasi identitas korban, karena ada rentang waktu kematian sampai jasad Akseyna ditemukan.
Advertisement
Kakak Akseyna Ahad Dori alias Ace (19), Arfilla Ahad Dori, buka suara soal kendala yang dialami Polres Metro Depok dalam memburu pelaku pembunuhan adiknya.
"Kalau terkait gap penemuan jenazah, kami juga menyadari ada fakta tersebut yang akhirnya menyulitkan penyelidikan. Itu juga jadi hal yang sangat kami sayangkan dan kami kecewa," kata Arfilla saat dihubungi merdeka.com, dikutip Sabtu (29/6/2024).
Namun demikian, kendala itu dinilai oleh Arfilla seharusnya bisa dicegah dengan beberapa tindakan. Pertama, pihak kampus yang seharusnya segera melaporkan ke keluarga ketika menyadari Akseyna sudah tidak masuk kuliah.
"Artinya, UI tahu bahwa ada anak didiknya yang hilang, tapi tidak melakukan tindakan apa pun. Tidak menghubungi keluarga, tidak melaporkan pada polisi. Padahal kampus punya nomor kontak keluarga dari mahasiswa mereka," ujar Arfilla.
"Akhirnya keluarga pun cari info tentang Akseyna dengan inisiatif dan usaha sendiri. Dari Jogja ke Depok didorong feeling ayah sebagai orang tua. Jadi bisa disimpulkan, ada kelalaian dari pihak UI di sini," tambah Arfilla.
Padahal, Arfilla menyebut seandainya pihak kampus bergerak cepat melaporkan ada mahasiswa yang hilang kontak, tentu proses identifikasi jenazah akan jauh lebih cepat karena jeda waktu yang relatif lebih singkat.
"Ketika jenazah ditemukan sampai teridentifikasi, ada jeda kurang lebih 4 hari. Polisi juga sempat mengatakan ada penanganan prosedur yang tidak tepat. Waktu ditemukan sudah banyak orang di lokasi jenazah ditemukan (sterilisasi TKP kurang)," tuturnya.
Kritik Keseriusan Polisi dalam Mengungkap Kasus Akseyna
Selain itu, Arfilla juga mengkritik terkait keseriusan pada awal penyelidikan kepolisian yang sempat menyebut adiknya korban bunuh diri. Padahal kondisi jenazah Akseyna lengkap seluruh bagian tubuh.
"Bahkan yang mengidentifikasi jenazah Akseyna pertama kali adalah ayah sendiri setelah datang sendiri ke RS Polri dan Polsek Beji. Kalau Ayah tidak ke sana, mungkin sampai sekarang juga tidak akan teridentifikasi," ucap Arfilla.
"Dosen UI dan polisi di awal kasus juga malah secara gegabah menyebut kasus ini ke bunuh diri, padahal data dan fakta lapangan tidak demikian. Jelas-jelas banyak kejanggalan. Simpang siur ini kan juga berdampak ke penanganan kasus di awal," tambah dia.
Oleh sebab itu, Arfilla mengamini terkait dengan kendala jeda waktu penemuan jenazah dan identifikasi. Namun semua itu tidak terlepas dari kelalaian pihak kampus dan kepolisian yang saling berkaitan dalam penanganan kasus pembunuhan ini.
"Semestinya UI dan polisi melakukan usaha yang lebih ekstra lagi untuk menutup 'kelalaian' penanganan kasus Akseyna di awal-awal. Enggak bisa hanya berlindung di balik kalimat 'kasusnya sulit karena ada jeda penemuan jenazah dan identifikasi’," ujar Arfilla.
Oleh sebab itu, Arfilla mendesak agar pihak kepolisian bisa mengungkap kasus ini dengan benar. Sebagai utang negara untuk keluarga Akseyna yang sampai saat ini masih mencari keadilan.
Advertisement
Polisi Akui Kesulitan Ungkap Kasus Akseyna
Polisi mengeklaim sampai saat ini masih terus menyidik kasus kematian Akseyna Ahad Dori, mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Indonesia (UI) yang delapan tahun ditemukan tewas di Danau Kenanga, UI, Depok, Jawa Barat.
Kapolres Metro Depok, Kombes Pol Arya Perdana membeberkan kendala yang dihadapi penyidik untuk mengejar siapa pelaku di balik kasus kematian Akseyna yang masih menyimpan tanda tanya.
"Penanganan awalnya terkendala pada pengenalan korban. Korban ditemukan sudah mulai membusuk di danau. Artinya kurang lebih meninggalnya dua hari sebelumnya," kata Arya saat dihubungi Kamis (27/6/2024).
Menurut Arya, dalam perjalanan kasus selama proses penyelidikan sejak Kamis (26/3/2015) silam, petugas sempat kesulitan untuk mengetahui identitas dari jenazah Akseyna akibat dari pembusukan.
"Karena sidik jari tidak dapat menunjukkan identitasnya (perubahan karena membesarnya seluruh organ tubuh yang sudah mulai membusuk). Di sisi lain tidak ada pembanding sidik jari saat korban ditemukan," ujar Arya.
Barulah setelah empat hari sejak jasad Akseyna ditemukan, orang tua korban mengenali jasadnya. Maka sekira butuh enam hari bagi petugas untuk mencari tahu identitas resmi dari korban.
"Jadi 6 hari sejak kematian korban sampai dikenalinya korban ini menjadi obstacle yang membuat kerja penyidik menjadi sulit untuk mengungkap kejadian dari TKP yang ada," tuturnya.
Tidak cuma soal kondisi jasad yang membuat lama proses identifikasi, tetapi ada juga faktor kondisi tempat kejadian perkara (TKP) yang selama enam hari itu telah berubah dan tidak adanya CCTV di lokasi.
"Dalam waktu 6 hari sudah ada perubahan TKP. Sudah banyak barang bukti yang tidak ada posisi TKP, juga sudah pasti tidak sama sesuai dengan posisi awal," jelasnya.
"Di sisi lain kita tidak bisa menemukan CCTV di UI yang menunjukkan korban dibunuh di wilayah danau atau dibawa ke arah danau," tambah Arya.
Oleh sebab itu, Arya menegaskan selama sembilan tahun proses penyidikan Akseyna petugas telah menerapkan scientific crime investigation. Namun memang terkendala dengan beberapa faktor yang terjadi selama proses penyidikan.
"Penyidikan yang dilakukan di awal sudah menerapkan scientific investigation, tapi karena hal yang tadi saya sampaikan, maka polisi mengalami kendala dalam mengaitkan alat bukti yang ada," tuturnya.
Reporter: Bachtiarudin Alam
Sumber: Merdeka.com