Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat tipis pada perdagangan di awal bulan ini. Kenaikan rupiah ini di tengah penantian pengumuman data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai inflasi domestik Juni 2024.
Pada Senin (1/7/2024), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat 10 poin atau 0,06 persen menjadi 16.365 per dolar AS dari sebelumnya sebesar 16.375 per dolar AS.
Advertisement
"Hari ini Badan Pusat Statistik akan merilis CPI data (Indeks Harga Konsumen) untuk Juni 2024," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede dikutip dari Antara.
Josua memperkirakan inflasi tahunan akan turun menjadi 2,65 persen secara year on year (yoy) dari 2,84 persen yoy, sementara inflasi bulanan naik menjadi 0,06 persen month on month (mom) dari deflasi 0,02 persen mom di bulan sebelumnya.
Pekan lalu, rata-rata harian volume perdagangan obligasi Pemerintah Indonesia mencatat Rp20,72 triliun, lebih tinggi dibandingkan pekan sebelumnya, rata-rata sebesar Rp19,41 triliun.
Selain itu, rupiah melanjutkan penguatan terhadap dolar AS juga didorong oleh sentimen Amerika Serikat (AS). Produk domestik bruto (PDB) AS direvisi naik, namun konsumsi masyarakat direvisi turun, menandakan melemahnya aktivitas konsumsi di AS.
Ia memproyeksikan nilai tukar rupiah akan berada di rentang 16.325 per dolar AS sampai dengan 16.425 per dolar AS pada perdagangan hari ini.
Rupiah Makin Gelap, Ini Ramalan Sri Mulyani
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, nilai tukar rupiah terancam akan terus mengalami pelemahan. Hal itu dipengaruhi oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) yang diproyeksikan tidak akan menurunkan suku bunga dengan cepat.
"Dari global adalah adanya sekarang makin confirm bahwa suku bunga Federal Reserve tidak akan mengalami penurunan sebanyak seperti yang diharapkan market. Market dalam hal ini tadinya mengharapkan adanya penurunan 4 hingga 5 kali pada tahun ini," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Jakarta, Kamis (27/6/2024).
Lantaran Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) masih mempertahankan suku bunga acuan di level 5,25 persen - 5,50 persen. Sehingga penurunan suku buka diramal akan lambat, bahkan diproyeksikan hanya menurunkan sekali dalam tahun ini.
"Fed Fund Rate masih mengalami posisi yang stabil di 5,5 persen dan tidak terjadi tanda-tanda mereka akan segera menurunkan, bahkan mungkin yang paling optimis penurunannya hanya satu kali di tahun ini," ujarnya.
Hal ini tentu membuat ekspektasi market menjadi kecewa sehingga menimbulkan suatu reaksi, terutama terlihat pada bulan April yang lalu hingga Mei dimana dolar mengalami penguatan dan mata uang rupiah terdepresiasi atau mengalami pelemahan.
Advertisement
Masih Lebih Baik
Namun, depresiasi mata uang rupiah masih diklaim lebih baik dibandingkan negara berkembang lainnya seperti Brazil yang depresiasinya lebih dalam.
"Mata uang rupiah kita mengalami depresiasi 6,58 persen, naun jika dibandingkan dengan beberapa negara emerging yang lain seperti Brazil dipresiasinya jauh lebih dalam, atau kalau anda sekarang baru mengikuti Jepang mengalami depresiasi yang sangat dalam," ujarnya.
Oleh karena itu, Menkeu waspadai perkembangan dari pasar keuangan. Utamanya akan memperhatikan sentimen di dalam negeri dan dari global agar rupiah tidak terus terdepresiasi.
"Kita lihat untuk pergerakan nilai tukar Rupiah kita mencapai 16.431 per dolar AS pada Mei dan ini sempat mengalami peningkatan, baik karena sentimen di dalam negeri maupun sentimen yang berasal dari global," pungkasnya.