Liputan6.com, Besmarak - Namanya Mama Ima Bere, seorang penyandang disabilitas tuna netra yang tinggal di desa Besmarak, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Selama kurang lebih satu tahun, mama Ima (sapaannya) bekerja di kebun. Menanam tomat, buncis dan sayuran lainnya. Mama Ima adalah satu dari sekian banyak dari warga disabilitas dan lansia di desa Besmarak yang kini mendapatkan bantuan dalam program KONEKSI.
Advertisement
KONEKSI adalah program unggulan Australia di sektor pengetahuan dan Inovasi di Indonesia.
Lewat program ini, masyarakat yang rentan mengidentifikasi tantangan terkait iklim mampu melakukan pertahanan. Para warga penyandang disabilitas dan lansia di desa ini dibantu untuk mengerjakan sejumlah hal dalam rangka mempersiapkan diri di tengah ancaman perubahan iklim.
Pasalnya, kaum disabilitas dan lansia merupakan kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim, dua kali lebih terdampak dari orang normal pada umumnya.
Salah satu bantuan yang kini diperoleh mama Ima untuk kebunnya adalah penggunaan sistem irigasi tetes.
"Sepanjang satu tahun ini, saya bekerja sebagai petani hortikultura. Dari tahun kemarin sudah mendapat bantuan berupa irigasi tetes. Jadi hasilnya cukup lumayan, meringankan pekerjaan kami. Mengurangi pekerjaan yang ada," kata mama Ima.
"Saya bersyukur karena membantu pekerjaan para disabilitas. Di sini juga saya selain bertani juga berternak. Jika hasil tani kurang cukup maka ada cadangannya."
Sebelumnya, mama Ima mengaku dirinya menggunakan air dari sumur bor. Dalam penggunaan air dari sumur bor, maka dibutuhkan waktu dan upaya berhemat.
"Jadi harus pintar-pintar berhemat. Sistem ini makan waktu dan tenaga juga. Itu kalau lagi siram, satu hari kita tidak bisa kerja apa-apa. Itu orang kalau ada urusan pesta atau orang meninggal, kita tidak bisa datang karena harus urus kebun," kata mama Ima.
"Kalau kita pergi berarti tidak siram. Dengan ada sistem irigasi tetes, maka ada waktu bersama keluarga lebih banyak."
Peningkatan Hasil Panen di Kebun Mama Ima dengan Bantuan Sistem Irigasi Tetes
Lewat sistem irigasi tetes ini, mama Ima mengaku hasil panennya lebih bagus ditambah lagi hamanya yang berkurang.
"Peningkatan cukup lumayan dengan adanya bantuan dari sistem irigasi tetes. Sekarang hasil lebih bagus dan hamanya juga berkurang," kata mama Ima.
"Kalau dulu, air kurang dan hamanya banyak. Itu yang merugikan kami sebagai petani."
Hasil panen mama Ima ini kemudian akan ia pasarkan di pasar atau masyarakat sekitar. Harganya pun beragam, bergantung pada permintaan pasar.
"Kalau tomat kita jualnya per kilogram atau per ember. Di sini, satu ember ada enam kilogram. Di sini harga naik turun. Kalau di pasar harga naik, kita ikut naik, begitu sebaliknya," kata mama Ima.
"Sekarang harganya satu kilo tomat Rp50.000. Kacang buncis lagi turun, Rp5.000 satu kilogram."
"Saat pakai air dari sumur bor kita untung tidak untung. Soalnya, kita harus bayar air, bayar obat hingga beli pupuk."
"Jadi kita dapatnya capek saja, apalagi kalau ada hama. Kita juga belajar untuk menabung jadinya. Penghasilan kita dapat, kita tabung baru sisanya kita pakai. Kini, saya bisa bertahan jika musim panas apa lagi perubahan iklim."
Advertisement
Cerita Mama Maria dan Tamar, Kaum Lansia yang Jual Hasil Tenun
Lain mama Ima, lain pula mama Maria. Ia seorang lansia yang juga tinggal di desa Besmarak. Pendengaran mama Maria sudah mulai berkurang, namun jari jemari dan tangannya masih begitu kuat untuk menenun.
Mama Maria pun ikut belajar mandiri dengan menenun dan menjual hasil karyanya untuk bertahan dan tak bergantung pada pihak lain.
"Tenun yang sedang saya buat ini untuk perempuan. Saya gunakan benang putih yang pertama, baru kita muat lagi dengan benang lain," kata mama Maria.
"Ini satu sarung begini dijual di toko dengan harga Rp1 juta."
Sama seperti mama Maria, mama Tamar juga sering menenun dan menjual hasil tenunnya.
"Setelah dapat uangnya, sebagian saya beli benang, beli beras untuk makan di dalam rumah. Untuk keluarga," kata mama Tamar.
Kerja Sama dan Kolaborasi dari Berbagai Pihak
Proyek bantuan dari pemerintah Australia ini menyoroti pengetahuan masyarakat yang rentan untuk mengidentifikasi tantangan terkait iklim dan mengembangkan strategi untuk memperkuat ketahanan.
Melalui penelitian aksi partisipatif, proyek ini menawarkantiga inovasi utama.
Pertama, keterlibatan masyarakat yang mendalam, yang difasilitasi melalui proses desain bersama di setiap tingkat program penelitian.
Kedua, demonstrasi tentang kerugian yang diakibatkan oleh perubahan iklim (misalnya, mengakui bahwa kemiskinan berdampak pada gizi, dan bahwa orang tua juga dapat menjadi perempuan penyandang disabilitas) melalui pendekatan perbandingan yang berulang-ulang.
Ketiga, pengembangan dan konsolidasi tim internasional interdisipliner yang menyatukan keahlian di bidang ketahanan iklim, tata kelolalingkungan, hak asasi manusia, inklusi sosial, gender, disabilitas, penuaan, hukum dan kebijakan.
Sementara itu, ada sejumlah organisasi yang terlibat dalam proyek ini:
Baca Juga
- Monash University, Herb Feith Indonesian Engagement Centre, Faculty of Arts, Faculty of Law
- Monash University Indonesia, Program Studi Desain Perkotaan dan Program Kebijakan dan Manajemen Publik Pusat Penelitian Komunikasi Perubahan Iklim Monash, Simpul Indonesia
- Universitas Hasanuddin, Fakultas Kesehatan Masyarakat, dan Pusat Keunggulan Ilmu Interdisipliner danKeberlanjutan
- Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (GARAMIN), NTT
- Gerakan Disabilitas untuk Kesetaraan Indonesia (YayasanPerDIK)
- Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Sulawesi Selatan (LBH APIK Sulsel)
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia
- DP3AAP2KB Provinsi Nusa Tenggara Barat
- Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Nusa Tenggara Barat
- Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
- Perhimpunan Jurnalis Lingkungan Hidup Indonesia
- Australia-Indonesia Centre
- ReelOzIndo
- 360Info
Advertisement