Liputan6.com, Jakarta Sepeda motor yang dikendarai Susanto atau Santo melaju cukup kencang menuju Pasar Jatiasih, Kota Bekasi, Jawa Barat. Dia membeli beberapa perlengkapan untuk ziarah. Siang itu Santo mendapatkan pesanan untuk berziarah ke salah satu makam keluarga.
Pesanan yang diterima hanya meminta Santo untuk menaburkan bunga karena sang klien memang sedang berada di luar kota. Berziarah merupakan salah satu jasa suruh yang ditawarkan oleh Santo.
Advertisement
Macam-macam pekerjaan diterima oleh Santo. Mulai dari yang unik sampai yang kerja borongan. Selama pekerjaan itu dapat dikerjakan, Santo tak pernah memilih berbagai kerjaan suruhan yang diinginkan klien.
"Selama itu halal dan bisa buat keluarga, ya diambil saja semuanya. Yang penting enggak malas," kata Santo kepada Liputan6.com.
Bersih-bersih toilet rumah orang sudah menjadi pekerjaan yang sering dia jalani selama lima tahun membuka usaha suruhan. Membantu warga untuk menyembelih hewan kurban juga pernah diterimanya. Bahkan mencari tukang sol sepatu tengah malam pernah dilakoninya.
Modal bisa dan mau bergerak menjadi hal yang diyakini Santo hingga saat ini. Sulitnya mencari pekerjaan menjadi alasannya membuka dan menekuni pekerjaan suruhan serba bisa itu. Sebelum membuka usaha suruhan, ayah empat anak ini bekerja sebagai pengantar galon di perumahan Pondok Gede, Kota Bekasi.
Namun penghasilan tidak mencukupi untuk menghidupi keluarganya. Dia memutar otak bagaimana caranya untuk mendapatkan uang lebih. Awal membuka usaha pada tahun 2019, dia bermodalkan stiker bergambarkan logo dan nomor telepon yang dapat dihubungi.
Biasanya stiker itu dibagikan ke orang-orang ataupun ditempelkan di beberapa tempat. Dia tak pernah berkecil hati meskipun beberapa pihak sering memandang rendah pekerjaannya. Setelah mendapatkan kepercayaan dari pelanggan, selang setahun kemudian dia dibantu oleh beberapa mitra.
Awalnya hanya orang-orang terdekat. Saat ini hampir 50 orang menjadi mitra Santo Suruh. Para mitra juga dibekali kartu identitas untuk mengantisipasi sejumlah penipuan. Area kerja Santo Suruh meliputi Bekasi hingga wilayah DKI Jakarta.
"Untuk mitra saya belum ambil keuntungan, niatnya emang mau bantu dulu. Kalau ternyata kerjaannya enggak bagus ya besok enggak dipakai lagi, langsung blacklist. Soalnya ini soal kepercayaan," ucapnya.
Mitra yang bergabung dengan Santo Suruh datang dari berbagai kalangan. Daftar pelanggan tetap juga semakin banyak. Tarif yang diterimanya pun bervariasi karena Santo mengaku tak pernah mematok tarif tertentu. Terpenting dapat menutup ongkos jarak tempuh ke lokasi.
Suka dan duka dilalui Santo dalam merintis usahanya. Beberapa kali kena tipu mitranya hingga tak dibayar oleh klien sudah dirasakan. Ganti rugi pun dilakukan Santo beberapa kali. Saat ini dia masih tak percaya usaha yang dijalankannya viral dan dikenal banyak orang.
Bahkan dia membebaskan orang daerah mana pun membuka usaha yang sama asal tak membawa namanya. Setelah viral, berbagai pekerjaan membanjiri nomor hubung Santo Suruh hingga ke media sosial miliknya.
"Sekarang sudah banyak yang tahu kerjaan ini dapat menghasilkan cuan. Saya dulu bayangin usaha saya ini akan dikenal orang setelah 10 tahun, ternyata 5 tahun saja udah banyak yang tahu," ujar dia.
Santo juga memiliki harapan besar dari usahanya. Dia tengah merancang sistem aplikasi untuk membesarkan Santo Suruh agar dapat menjangkau wilayah yang lebih luas. Apalagi saat ini banyak warga luar Jawa Barat juga sering menghubunginya.
Pelatihan dan Pendidikan Harus Sejalan
Saat ini tingginya angka pengangguran pada Gen Z merupakan tantangan tersendiri untuk sektor ketenagakerjaan. Berdasarkan data dari BPS pada Agustus 2023 tercatat hampir hampir 10 juta penduduk berusia 15-24 tahun atau biasa disebut Gen Z menganggur atau not employment, education, or training (NEET).
NEET adalah penduduk usia muda dengan rentang usia 15-24 tahun yang sedang tidak sekolah, tidak bekerja atau tidak mengikuti pelatihan. Kondisi ini sering disebut sebagai pengangguran di usia muda karena tidak melakukan kegiatan apa pun. Hal ini tentu sedikit berbeda dengan Santo, Gen Z yang memiliki pekerjaan, namun tanpa keahlian di bidang tertentu atau khusus.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Sekjen Kemnaker) Anwar Sanusi mengatakan, Gen Z merupakan kelompok generasi yang memiliki pola pikir dan perilaku, hingga persepsi berbeda dengan generasi sebelumnya. Karena hal itu, Anwar menyebut terdapat dua transformasi yang perlu dilakukan.
"Dari sisi demand, perlu menggeser struktur permintaan tenaga kerja dari lapangan usaha primer ke sekunder dan tersier diiringi dengan pergeseran permintaan keterampilan tenaga kerja rendah ke menengah-tinggi," kata Anwar kepada Liputan6.com.
Selanjutnya dari sisi suplai, perlu menggeser struktur pendidikan pekerja dari SMP dan ke bawah ke pekerja berpendidikan SMA, SMK, diploma, dan universitas.
"Selain melalui jalur pendidikan formal, langkah lainnya juga bisa ditempuh melalui jalur pelatihan vokasi. Karena telah ada KKNI yang menyetarakan capaian pendidikan formal dengan pelatihan vokasi," papar dia.
Berdasarkan data yang ada, Anwar menyebut diri sisi suplai pekerjaan berketrampilan tinggi cenderung diisi oleh pekerja berpendidikan tinggi. Lalu untuk pekerja berketerampilan menengah cenderung diisi oleh pekerja berpendidikan rendah dan menengah. Sedangkan pekerjaan berketrampilan rendah cenderung diisi oleh pekerja berpendidikan rendah.
Dari sisi permintaan lanjut Anwar, pekerjaan berketerampilan tinggi dan menengah cenderung tinggi di lapangan usaha tersier yaitu perdagangan dan jasa. Sementara itu permintaan pekerjaan berketerampilan rendah cenderung tinggi di lapangan usaha primer dan sekunder.
"Bidang primer misalnya pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan, dan penggalian. Sedangkan bidang sekunder meliputi industri, listrik, gas, air, hingga konstruksi," jelas dia.
Jika berkaca pada kasus Santo, yang bersangkutan jelas tidak sendirian. Berdasarkan data BPS Februari 2024, jumlah penduduk bekerja yang berpendidikan SMP ke bawah sekitar 57,09 persen. Artinya kualitas penduduk bekerja di Indonesia perlu adanya peningkatan, bahkan untuk seorang Santo yang merupakan lulusan SMA.
Sedangkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan pada 2014 angkatan kerja yang berpendidikan SMP ke bawah sekitar 63,65 persen yang kemudian turun menjadi 53,44 persen pada 2023. Dengan kata lain, dalam 10 tahun hanya mengalami penurunan kurang lebih 10 persen.
Anwar menyatakan saat ini pemerintah telah melakukan terobosan dengan melakukan revitalisasi pelatihan vokasi. Yaitu modalitas pelatihan vokasi nasional terus ditingkatkan secara kapasitas dan kualitasnya.
Untuk memasuki dunia kerja, pendidikan dan pelatihan adalah sebuah prasyarat yang harus dipenuhi. Anwar menyebut pendidikan merupakan pengayaan terutama dari sisi pengetahuan dan keterampilan terbentuk dari pelatihan.
"Jadi memang dua-duanya adalah saling melengkapi. Bagaimana pengetahuan yang dimiliki, keterampilan yang dia kuasai ini dua-duanya harus membentuk sebuah hubungan sebuah katakanlah simbiosis yang saling membutuhkan," kata Anwar.
Anwar menyebut saat ini kapasitas pelatihan vokasi sekitar 4,3 sampai 4,5 juta orang per tahun dan kapasitas sertifikasi sebanyak 4,9 juta orang per tahun. Kemudian Balai Latihan Kerja (BLK) milik pemerintah sebenarnya 289 unit, 1.926 LPK swasta dan 2.245 LPS untuk sertifikasi.
"Selain itu juga memiliki 3.757 BLK komunitas yang mana itu menjadi tanda bahwa publik luas ternyata mampu mengorganisasikan dirinya untuk berkontribusi secara positif terhadap peningkatan keterampilan bangsa," ucapnya.
Nantinya kata dia, diperlukan keperpihakan dan partisipasi semua pihak. Mulai dari pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat untuk berkontribusi dalam membangun ekosistem pelatihan vokasi nasional.
Advertisement
Adanya Kesenjangan Keahlian
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat ada sebanyak 9,9 juta anak muda Indonesia berusia 15 sampai 24 tahun atau Gen Z yang tidak bekerja atau bahkan mendapatkan pelatihan. Gen Z merupakan generasi yang lahir pada rentang tahun 1997 sampai 2012.
Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan solusi utama banyaknya pengangguran usia muda ini terletak pada upaya pemerintah untuk mencegah terjadinya deindustrialisasi prematur.
"Karena pascareformasi industri manufaktur ini sebenarnya semakin melemah porsinya dibandingkan dengan sektor jasa," kata Bhima kepada Liputan6.com.
Bhima menyebut jika porsi terhadap PDB industri manufaktur sekarang ini tinggal 18-19 persen saja. Angka tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan sebelum era reformasi yang mencapai 25 persen terhadap PDB.
"Maka ini menjadi salah satu kekhawatiran karena anak muda ini banyak nganggur enggak terserap di sektor formal khususnya di industri yang sifatnya padat karya. Jadi bagaimana sekarang caranya pemerintah dengan berbagai insentif, dengan berbagai stimulus, dengan berbagai subsidi ini bisa menarik lebih banyak minat investor di sektor industri padat karya," papar dia.
Industri padat karya yang dimaksud yaitu pakaian jadi, alas kaki, produksi elektronik, hingga komponen otomotif. Kemudian Bhima menyatakan adanya kesenjangan keahlian yang dibutuhkan oleh industri dengan lulusan dari perguruan tinggi dan juga dari sekolah vokasi.
"Jadi gapnya masih sangat lebar, sehingga banyak perusahaan-perusahaan yang merekrut misalnya tenaga kerja asing, ataupun juga lebih banyak misalnya melakukan robotisasi di sektor-sektor industri pengolahan dibandingkan melakukan rekrutmen secara besar-besaran," papar dia.
Saat ini lanjut dia, dengan berkembangnya teknologi para lulusan sekolah-sekolah kejuruan dituntut dapat memenuhi keahlian yang dibutuhkan. Atau anak muda dituntut dapat melakukan kerja bersama dengan teknologi yang lebih modern.
"Oleh karena itu fasilitas pendidikan, adanya balai latihan kerja juga. Banyak kasus balai latihan kerja mesinnya sudah ada, tapi trainernya atau guru yang melatihnya, pembimbingnya itu tidak mencukupi. Jadi masih ada masalah serius di balai latihan kerja padahal jumlahnya ada tiga ratusan di seluruh Indonesia," jelas Bhima.
Sementara itu, Bhima juga menegaskan saat ini Kartu Prakerja yang disediakan oleh pemerintah bukanlah jawaban untuk mengatasi pengangguran yang ada. Sebab selama ini mereka yang memperoleh Kartu Prakerja itu tidak mendapatkan kejelasan dapat bekerja di mana.
Seharusnya setelah pemberian uang saku setelah pelatihan pemerintah atau selaku pengelola Kartu Prakerja dapat mempertemukan antara lulusan Kartu Prakerja dengan pasar tenaga kerja. Kenyataannya banyak para lulusan Kartu Prakerja berakhir menjadi pengangguran.
"Ini sebenarnya konsep dari kartu prakerja itu harusnya adalah adanya bursa tenaga kerja sehingga yang mendapatkan Kartu Prakerja dijamin setelah melewati berbagai training skill itu bisa diterima di tempat kerja, minimum adalah bisa diterima di BUMN milik pemerintah," Bhima menandaskan.
Apa Penyebab Pengangguran Usia Muda di Indonesia Tinggi?
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menyatakan angka anak muda yang masuk kategori pengangguran atau education, employment, and training (NEET) pada Gen Z yang cukup tinggi dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Pertama yaitu rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga daya serap ekonomi atas tenaga kerja baru yang tumbuh, utamanya tentu Gen Z juga cukup rendah. Sebagaimana diketahui, setiap tahun angkatan kerja baru bertambah, yang tentunya datang dari Gen Z, sebagai generasi angkatan kerja termuda.
Alhasil jika perekonomian nasional menyerap tenaga kerja jauh di bawah tingkat pertumbuhan angkatan kerja baru, maka otomatis peluang angkatan kerja baru menjadi pengangguran semakin tinggi.
"Kedua, selain pertumbuhan ekonomi yang kurang tinggi, tingkat Incremental Labour Output Ratio (ILOR) kita juga cukup rendah. Penyerapan tenaga kerja per 1 persen pertumbuhan semakin hari semakin menurun, terutama karena investasi baru banyak terjadi di sektor non-tradeble dan karena disrupsi teknologi," kata Ronny kepada Liputan6.com.
Lalu, karakter Gen Z sudah tidak sama lagi dengan generasi sebelumnya. Sehingga cara pandang mereka terhadap dunia kerja juga berbeda. Maka sebagian lapangan pekerjaan konvensional yang tersedia terkadang tidak sesuai dengan karakter Gen Z.
"Sementara itu, investasi di sektor teknologi dan start up yang cenderung lebih sesuai dengan karakter Gen Z tidak terlalu ekspansif, bahkan belakangan banyak yang gulung tikar. Sehingga menambah potensi pengangguran pada segmen Generasi Z," ujarnya.
Selanjutnya, pemerintah belum terlalu optimal mendorong akselerasi investasi di sektor-sektor yang sesuai dengan karakter Gen Z ini, seperti sektor ekonomi digital, ekonomi kreatif, tourism, dan sejenisnya.
"Pemerintah masih fokus mendorong sektor konvensional yang dianggap strategis dalam memberikan kontribusi kepada pertumbuhan," ucap dia.
Kelima, di sisi lain, biaya pendidikan semakin hari semakin mahal, yang membuat Gen Z juga akhirnya tidak terlalu tertarik untuk menjajaki jenjang pendidikan ke level selanjutnya. Selanjutnya biaya untuk memulai usaha baru atau menjadi enterpreneur juga tidak murah, apalagi Gen Z cenderung sangat konsumtif, sehingga rerata kurang mampu mengumpulkan tabungan untuk dijadikan modal usaha baru.
"Ketujuh, besarnya jumlah NEET di kalangan Gen Z membuktikan bahwa program Kartu Prakerja gagal," pungkas Ronny.
Berkaca pada analisis di atas, ke depan kita agaknya masih akan melihat banyak sosok Gen Z seperti Santo bermunculan, bekerja tidak di bidang yang dikuasai atau sama sekali tak bekerja karena masih sibuk pilah dan pilih.
Advertisement