Rencana Bea Masuk Produk China 200 Persen, Pengamat: Bukan Solusi

Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menyiroti rencana pemerintah menerapkan bea masuk 200 persen bagi produk asal China.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 01 Jul 2024, 19:56 WIB
Aktivitas bongkar muat peti kemas di JICT Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (18/10). Penurunan impor yang lebih dalam dibandingkan ekspor menyebabkan surplus neraca dagang pada September 2016 mencapai US$ 1,22 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menyiroti rencana pemerintah menerapkan bea masuk 200 persen bagi produk asal China. Menurutnya, ini bukan sebagai solusi.

Dia bilang, produk China memang membanjiri pasar di Indonesia sehingga menggerus porsi bagi produk lokal. Hanya saja, kata dia, langkah menaikkan besaran bea masuk bukan sebuah solusi jangka panjang.

"Pengenaan bea masuk tinggi adalah salah satu senjata pertahanan terkahir, dengan alasan untuk melindungi indistri dalam negeri. Tapi harus diingat, bahwa pengenaan bea masuk tinggi bukan solusi, hanya pemberi jeda," tegas Ronny kepada Liputan6.com, Senin (1/7/2024).

Dia mengatakan, kunci dari persaingan produk ini adalah kualitasnya. Baik antara produk China dan produk lokal Indonesia.

"Jika tidak bisa menghasilkan local supply chain yang kuat dan daya saing yang mumpuni, maka industri dalam negeri akan semakin kelabakan," ucapnya.

Ancam Industri

Di sisi lain, dia menilai industri yang berbahan baku dari China bisa jadi rontok. Kurs rupiah yang melemah dan bea masuk yang tinggi akan membuat industri jenis ini gulung tikar dalam waktu dekat.

"Di sisi lain, inflasi akan melanda produk-produk berbasiskan bahan baku impor dari China di satu sisi dan akibat kelangkaan barang yang biasa di impor dari China tapi tak bisa diproduksi di dalam negeri. Harga-harga produk manufaktur akan melampung tinggi dan lagi-lagi rakyat yang akan menjadi korban," bebernya.

 

2 dari 2 halaman

Tak Boleh Pukul Rata

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$ 4,37 miliar karena ekspor lebih besar dari nilai impornya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lebih lanjut, Ronny mengatakan kebijakan bea masuk 200 persen tak bisa diberlakukan bagi seluruh produk asal China. Dia meminta adanya pertimbangan terhadap suplai dalam negeri.

"Saya kira, pemerintah tidak bisa main pukul rata. Bea masuk tinggi harus dikenakan secara selektif, terutama kepada barang impor dari China yang supply localnya ada," ujarnya.

Kemudian, hal itu dibarengi dengan kebijakan berupa insentif dan kemudahan regulasi, agar produk lokal bisa berbenah, memodernisasi produknya. Tujuannya agar memiliki daya saing yang mumpuni, sehingga dalam jangka waktu tertentu bisa bersaing dengan produk luar.

"Sehingga tidak terjadi kelangkaan untuk barang dan bahan baku yang tidak ada di Indonesia, yang akhirnya membuat harga menjadi naik karena kelangkaan," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya