Cerita Nur di Balik Kopi Gucialit, Menggagas Menabung Kopi dan Prinsip Sak Dedeg Sak Pengawe

Sejak kecil, Nur Kholifah (32) sudah diajak kakek neneknya ke kebun kopi. Dari situ, kecintaan Nur pada kopi bertumbuh, hingga ia punya mimpi ingin membawa produk kopi Gucialit semakin dikenal, dan petani lebih sejahtera.

oleh Hernowo Anggie diperbarui 04 Jul 2024, 11:08 WIB
Nur Kholifah

Liputan6.com, Jakarta Sejak kecil, Nur Kholifah (32) sudah diajak kakek neneknya ke kebun kopi. Dari situ, kecintaan Nur pada kopi bertumbuh, hingga ia punya mimpi ingin membawa produk kopi Gucialit semakin dikenal, dan petani lebih sejahtera.

Gucialit adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, kampung halaman Nur. Selama 6 tahun terakhir, bersama sang suami, Rifqi Zulkarnain Masruri (32), Nur mulai fokus terjun langsung bermitra dengan para petani.

Lahirlah produk kopi dengan merek Kopi Gucialit. Dari berproduksi di sebuah tempat bekas bengkel, kini Kopi Gucialit memiliki rumah produksi sendiri yang diberi nama Bale Kopi Gucialit.

Ia menggagas program Menabung Kopi yang dirasakan manfaatnya oleh para petani kopi mitra Kopi Gucialit.

 


Women Ecosystem Catalyst

Nasta Rofika

Berbagai penghargaan diraih. Terbaru, Nur terpilih sebagai salah satu dari 20 peserta Women Ecosystem Catalyst. WEC merupakan program yang digagas PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna) melalui Payung Program Keberlanjutan “Sampoerna Untuk Indonesia” bersama Perkumpulan Imajinasi Penaja Mula dan Dinas Koperasi UKM Provinsi Jawa Tengah.

Keputusan membangun usaha Kopi Gucialit tak dilakukan Nur dengan tiba-tiba. Meski sejak kecil sudah karib dengan perkebunan kopi, Nur tetap melakukan pengamatan, riset, hingga melihat potensi besar yang dimiliki kopi Gucialit.

 


Interaksi dengan Petani

Selama dua tahun ia berkeliling di Kecamatan Gucialit, berinteraksi dengan petani, dan menyusun apa yang bisa dilakukan dengan kenyataan yang ia jumpai di lapangan. “Yang aku lihat, potensi kopi banyak banget, tapi belum ada yang mengolah kopi dan dijual produknya. Dari situ, aku melihat ada peluang, dan akhirnya coba mengolah biji kopi dari petani lokal,” kisah Nur.

Ia pun mulai merintis dengan peralatan seadanya, berbekal alat grinding manual. Untuk me-roasting kopi pun Nur dan suaminya harus ke wilayah kota karena tidak memiliki mesin roasting sendiri.

Tak patah semangat, Nur menunjukkan keseriusannya membangun usaha ini. Orangtuanya pun akhirnya turut berkontribusi dengan memberikan sebuah mesin roasting kopi dengan kapasitas 1 kilogram.

 


Program Menabung Kopi

 

Pada tahun 2019, Nur dan suaminya menggagas program Menabung Kopi. Program ini berawal dari fenomena banyaknya petani kopi di Gucialit yang tak langsung menjual produksi kopinya. Sebagian besar memilih menyimpan kopinya sehingga berisiko terhadap kualitas produk.

“Petani kopi di Gucialit itu punya kebiasaan menyimpan kopinya. Kalau enggak butuh mendesak, enggak akan dijual itu kopinya. Kebiasaan ini punya kelemahan, terkait penyimpanan kopi. Kalau tempat penyimpanan kurang bagus, kemasan waktu menyimpan tidak kedap udara, ada risiko kopi rusak. Akibatnya, harga murah,” ujar Nur.

Kala itu, ada petani yang menawarkan 100 kilogram kopi hasil panennya. Namun, modal dan kapasitas produksi Kopi Gucialit belum mampu membeli kopi sebanyak itu. Kemudian, Nur menawarkan agar kopinya dititipkan, dan jika sudah terjual, uangnya akan diberikan kepada si petani.

Inilah awal mula Menabung Kopi. Untuk memberikan keuntungan lebih, Nur membuat kesepakatan harga dengan petani dengan angka di atas harga pasar.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya