Liputan6.com, Jakarta - Belanja untuk balas dendam setelah pandemi COVID-19 masih terus berlanjut. Akan tetapi, di China terjadi hal sebaliknya, yakni balas dendam untuk menyelamatkan.
Mengutip CNBC, ditulis Rabu (3/7/2024), daripada menghabiskan banyak uang untuk belanja secara impulsif, generasi muda China lebih banyak menabung. Hal ini bukan tanpa alasan karena ekonomi terbesar kedua di dunia itu masih lesu.
Advertisement
Revenge saving atau balas dendam untuk menabung telah menjadi tren di situs media sosial China. Generasi muda China menetapkan target tabungan bulanan yang ekstrem. Seorang anak muda berusia 26 tahun dengan nama akun "Little Zhai Zhai” merinci upayanya untuk membatasi pengeluaran hanya sebesar 300 yuan atau USD 41,28 sebulan (sekitar Rp 676.257, asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran16.382).
Pada video terbaru, ia menunjukkan bagaimana membatasi pengeluaran makan hariannya menjadi hanya 10 yuan atau USD 1,38 (sekitar Rp 22.607).
Yang lain mencari "mitra penyelamat" di media sosial. Mitra-mitra ini membentuk kelompok yang memastikan anggotanya tetap berpegang pada tujuannya. Langkah-langkah penghematan juga mencakup makan di kantin komunitas yang biasanya diperuntukkan bagi lansia, di mana makanan segar dijual dengan harga relatif murah.
"Pemuda China memiliki mentalitas balas dendam untuk menabung. Tidak seperti generasi muda pada 2010-an yang sering habiskan lebih banyak uang daripada penghasilan dan meminjam uang untuk membeli barang-barang mewah seperti tas Gucci dan Apple iPhone, generasi muda China sudah mulai menabung lebih banyak,” ujar dia.
Apa Tanda Generasi Muda China Perketat Pengeluaran?
Tanda-tanda lain dari generasi muda China yang memperketat pengeluarannya adalah kata-kata yang sedang tren yakni konsumsi terbalik dan ekonomi pelit. Yang pertama mengacu pada upaya lebih sadar untuk memangkas pengeluaran, sedangkan kedua berarti secara aktif mencari diskon dan penawaran saat berbelanja.
Hal ini sangat kontras dengan dengan tren lebih luas di kalangan generasi muda terutama Generasi Z, mereka yang lahir antara 1997-2012, yang dilaporkan membiayai pengeluarannya seperti perjalanan melalui utang.
Menurut laporan indeks prosperity oleh Intuit, dari pada memangkas pengeluaran untuk meningkatkan tabungan, 73 persen generasi Z di Amerika Serikat mengatakan lebih memilih kualitas hidup yang lebih baik daripada uang tambahan di bank.
Tak Ada Pilihan Selain Belanja Lebih Sedikit?
Lalu mengapa generasi muda China semakin berhati-hati dalam membelanjakan uangnya?
"Kaum muda mungkin merasakan hal yang sama seperti orang lain, ekonomi tidak berjalan dengan baik,” ujar Deputy Director for China Research Gavekal Dragonomics, Christopher Beddor.
Total simpanan RMB oleh rumah tangga pada kuartal I 2024 mengalami pertumbuhan 11,8 persen year on year,menurut laporan terbaru dari People’s Bank of China.
Produk Domestik Bruto (PDB) China pada kuartal I 2024 melampaui harapan dengan mencatat pertumbuhan 5,3 persen tahun ke tahun. Namun, perlambatan ekonomi diprediksi masih berlanjut. Dana Moneter Internasional (IMF) prediksi pertumbuhan 4,5 persen pada 2025.
Advertisement
Pasar Tenaga Kerja Makin Ketat
Kesulitan yang diperparah adalah ketatnya pasar tenaga kerja yang berdampak buruk terutama bagi kaum muda,demikian dikatakan sejumlah ahli kepada CNBC.
“Orang-orang yang menolak mengeluarkan uang adalah fenomena nyata di sini. Bagi sebagian generasi muda, hal ini disebabkan karena mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan atau mereka merasa lebih sulit untuk meningkatkan pendapatannya. Mereka tidak punya pilihan selain mengeluarkan lebih sedikit uang,” ia menambahkan.
Tingkat pengangguran di kalangan generasi muda berusia 16-24 tahun mencapai 14,2 persen pada Mei, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 5 persen. Meskipun tidak ada statistic resmi mengenai gaji bulanan yang diperoleh sarjana, sebuah survei menemukan rata-rata gaji bulanan mereka yang memiliki gelar sarjana yang diperoleh pada 2023 adalah 6,050 yuan atau USD 832, 1 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya, menurut laporan domestik yang dikumpulkan oleh penelitian MyCOS dan dipublikasikan di media lokal.
“Kepercayaan diri dan semangat telah hilang di kalangan generasi muda. Butuh waktu bertahun-tahun bahkan mungkin lebih lama, sebelum pasar menjadi booming sebelum merasa nyaman untuk melakukan pembelanjaan balas dendam,”ujar Rein.
IMF Kerek Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi China jadi 5% pada 2024, Apa Pendorongnya?
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) menaikkan proyeksi pertumbuhan ekononi China menjadi 5% pada 2024, dari sebelumnya 4,6%.
Kenaikan proyeksi ini didukung oleh kinerja ekonomi China yang kuat di kuartal pertama 2024, dan langkah-langkah kebijakan baru-baru ini.
Melansir CNBC International, Kamis (30/5/2024) peningkatan tersebut menyusul kunjungan IMF ke China untuk melakukan penilaian rutin.
Untuk 2025, IMF kini memperkirakan ekonomi China akan tumbuh sebesar 4,5%, naik dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,1%. Namun, untuk 2029, IMF memperkirakan pertumbuhan China akan melambat menjadi 3,3% karena populasi yang menua dan pertumbuhan produktivitas yang lebih lambat.
Angka tersebut turun dari perkiraan IMF sebelumnya yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 3,5% dalam jangka menengah.
Pada kuartal pertama 2024, perekonomian China tumbuh lebih baik dari perkiraan sebesar 5,3%, didukung oleh ekspor yang kuat. Namun, data ekonomi China pada April menunjukkan belanja konsumen masih lesu, sementara aktivitas industri meningkat.
Sekitar dua pekan lalu, pihak berwenang China mengumumkan langkah-langkah besar untuk mendukung sektor real estate yang sedang mengalami kesulitan, termasuk menghapus batas bawah suku bunga hipotek.
Gita Gopinath, wakil direktur pelaksana pertama IMF mengatakan bahwa pihaknya menyambut naik langkah tersebut, namun diperlukan tindakan yang lebih komprehensif.
"Prioritasnya adalah memobilisasi sumber daya pemerintah pusat untuk melindungi pembeli rumah pra-penjualan yang belum selesai dan mempercepat penyelesaian rumah pra-penjualan yang belum selesai, sehingga membuka jalan untuk menyelesaikan pengembang yang bangkrut," ujar dia.
"Memperbolehkan fleksibilitas harga yang lebih besar, sambil memantau dan memitigasi potensi dampak keuangan makro, dapat lebih mendorong permintaan perumahan (di China) dan membantu memulihkan keseimbangan," tambah dia.
Advertisement