Ayu Ting Ting Batal Nikah padahal Sudah Lamaran, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Diketahui Ayu Ting Ting telah lamaran dengan Fardhana. Namun kini keduanya memutuskan membatalkan pernikahannya. Bagaimana hukumnya dalam Islam?

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 04 Jul 2024, 00:30 WIB
Umi Kalsum mengklarifikasi kabar Ayu Ting Ting dilamar anggota TNI Bernama Muhammad Fardhana. Sejumlah potret lamaran diunggah di medsos. (Foto: Dok. Instagram @ayutingting92)

Liputan6.com, Jakarta - Ayu Rosmalina alias Ayu Ting Ting mengumumkan bahwa ia telah putus dengan Muhammad Fardhana. Pernikahan pedangdut dengan TNI berpangkat Lettu itu batal, padahal keduanya sudah melangsungkan lamaran pada Februari 2024. 

Kini, foto lamaran Ayu Ting Ting dan Fardhana hanya tinggal kenangan. Pantauan Liputan6.com di akun media sosial mereka, Selasa (2/7/2024), foto lamaran keduanya sudah dihapus. Mereka putuskan berpisah sejak 22 Juni 2024.

"Saya memberitahukan bahwa pertunangan saya dengan Mas Dhana sudah dinyatakan putus sejak tanggal 22 Juni, itu di antara kami," ujar Ayu Ting Ting kepada wartawan di Kawasan Tendean, Jakarta Selatan, Senin (1/7/2024), dikutip dari kanal Showbiz Liputan6.com.

"Di tanggal 27 Juni kemarin hari Kamis, itu di antara sesama orang tua. Alhamdulillah secara resmi," tambah pelantun tembang Alamat Palsu ini.

Ayu Ting Ting tidak menyebutkan alasan rincinya berpisah dengan Fardhana. Ia mengatakan, ada hal yang sangat prinsip yang menurutnya tidak perlu diungkap ke publik.

"Jadi memang ada hal yang sangat prinsip sekali buat saya yang tidak bisa kami jembatani lagi satu sama lain. Jadi cukup saya, Allah, teman-teman saya dan keluarga yang tahu. Biarkan ini menjadi hal yang privasi buat kami," tutur Ayu Ting Ting.

Mengutip laporan kanal Hot Liputan6.com, diketahui Ayu Ting Ting telah lamaran dengan Fardhana. Namun kini keduanya memutuskan membatalkan pernikahannya. Bagaimana hukum membatalkan pernikahan usai lamaran dalam Islam?

 


Hukum Membatalkan Pernikahan usai Lamaran

Umi Kalsum mengklarifikasi kabar Ayu Ting Ting dilamar anggota TNI Bernama Muhammad Fardhana. Sejumlah potret lamaran diunggah di medsos. (Foto: Dok. Instagram @derazala)

Mengutip tulisan Sunnatullah, seorang pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan, yang dimuat di NU Online, lamaran atau juga dikenal khitbah adalah langkah awal menuju pernikahan.

Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuh menjelaskan bahwa khitbah tidak bisa dianggap sama dengan nikah. Keduanya merupakan dua komponen yang berbeda, sehingga mempunyai ketentuan yang juga berbeda. 

بما أن الخطبة ليست زواجاً، وإنما هي وعد بالزواج، فيجوز في رأي أكثر الفقهاء للخاطب أو المخطوبة العدول عن الخطبة 

Artinya: “Melihat bahwasanya khitbah tidak bisa dikatakan akad nikah, dan khitbah hanyalah sebatas janji untuk menikah, maka menurut mayoritas ulama, bagi mempelai pria yang melamar dan wanita yang dilamar boleh untuk berubah pikiran dari lamarannya (janji nikahnya, red).” (Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut: Dar al-Fikr 2010], juz 9, h. 19). 

Khitbah dengan segala ketentuannya memang belum bisa dianggap sebagai akad nikah. Sebelum akad nikah terjadi antara keduanya, masing-masing belum mempunyai tanggungan apa pun, dan tidak mempunyai beban antara keduanya. 

Hanya saja, dalam kelanjutan pernyataannya, Syekh Wahbah az-Zuhaili menganjurkan untuk tidak membatalkan. Dalam kitabnya ia menjelaskan:

 ولكن يطلب أدبياً ألا ينقض أحدهما وعده إلا لضرورة أو حاجة شديدة، مراعاة لحرمة البيوت وكرامة الفتاة 

Artinya: “Akan tetapi, dianjurkan sebagai bentuk etika bagi salah satunya, untuk tidak merusak janjinya, kecuali dalam keadaan yang mendesak, atau kebutuhan yang sangat. (Hal itu) demi menjaga kehormatan keluarga dan kemuliaan wanita.” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2010: juz 9, h. 19).

Mengutip kitab al-Adzkar, Imam Nawawi menjelaskan tentang janji. Disebutkan, ulama kalangan Syafi’iyah sepakat bahwa sunnah hukumnya menepati janji selagi tidak berupa janji yang dilarang. Janji jika tidak ditepati akan berkonsekuensi pada hukum makruh dan menghilangkan keutamaannya. (Imam Nawawi, al-Adzkar lin Nawawi, [Beirut: Dar al-Fikr, 1994], h. 317).


Jika Ingin Membatalkan Pernikahan, Gunakan Alasan yang Tepat

Ayu Ting-Ting pilih tampil simple kebaya kurung berwarna putih untuk momen lamarannya. Pesona menawannya didukung dengan rok panjang dan veil brukat yang cantik [@ayutingting92]

Jika ikatan yang sudah disepakati sudah tidak bisa dirajut kembali, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka sebaiknya bagi pria yang melamar menggunakan alasan yang tepat ketika ingin membatalkannya. 

Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan, alasan pembatalan pernikahan tidak boleh dibuat-buat, tidak disebabkan hawa nafsu, atau tenpa sebab yang bisa diterima oleh akal. 

“Sehingga, pria yang melamar tidak berpaling dari tujuan melamar yang ia kehendaki, sebab dengan berpaling dari janjinya, ia dianggap telah merusak janji-janjinya,” jelasnya dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, juz 9, h. 19.

Kesimpulannya, jika alasannya jelas dan masuk akal, maka membatalkan pernikahan setelah lamaran dibolehkan dan justru lebih baik. Namun, jika alasannya tidak masuk akal dan dibuat-buat, membatalkan pernikahan tidak baik.


Meminta Kembali Barang yang Diberikan

Ilustrasi lamaran (Dok.Unsplash/Kelly Sikkema)

Saat acara lamaran, biasanya keluarga pelamar membawa berbagai bentuk barang seperti uang, pakaian, atau barang-barang lainnya.Jika pernikahannya batal, apakah barang-barang tersebut perlu dikembalikan?

Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan, diperbolehkan bagi pihak pria menarik kembali barang yang telah diberikan, baik barang itu masih ada, hilang, atau sudah rusak. Hanya saja, jika sudah rusak, maka ia boleh meminta nominalnya.

 وفي حال الهلاك أو الاستهلاك يرجع بقيمته إن كان قيمياً، وبمثله إن كان مثلياً 

Artinya: “Jika (barang yang diberikan) sudah hilang atau rusak, maka ia boleh meminta nominal harganya, bila barang yang diberikan berupa mutaqawam (barang yang hitungannya menggunakan nominal harga), dan meminta dengan ganti barang serupa bila yang diberikan adalah mitsli (barang yang hitungannya dengan ditimbang atau ditakar, seperti beras, dan lainnya).” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2010: juz 9, h. 19).

Wallahu a'lam.


Saksikan Video Pilihan Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya