Liputan6.com, Beirut - Wakil pemimpin kelompok Hizbullah mengatakan pada hari Selasa (2/7/2024) bahwa satu-satunya jalan pasti menuju gencatan senjata di perbatasan Lebanon-Israel adalah gencatan senjata penuh di Jalur Gaza.
"Jika ada gencatan senjata di Gaza, kami akan berhenti tanpa diskusi apa pun," kata wakil pemimpin Hizbullah Sheikh Naim Kassem kepada kantor berita AP dari pinggiran selatan Beirut, Lebanon, seperti dilansir Rabu (3/7).
Advertisement
Partisipasi Hizbullah dalam perang Israel-Hamas adalah sebagai front dukungan bagi Hamas, kata Kassem, dan jika perang berhenti maka dukungan militer dari pihaknya tidak akan ada lagi.
Namun, Kassem menegaskan, jika Israel mengurangi operasi militernya tanpa perjanjian gencatan senjata resmi dan penarikan penuh dari Jalur Gaza maka dampaknya terhadap konflik perbatasan Lebanon-Israel menjadi kurang jelas.
"Jika yang terjadi di Gaza adalah campuran antara gencatan senjata dan tidak ada gencatan senjata, perang dan tidak ada perang, kita tidak bisa menjawab (bagaimana reaksi kita) sekarang, karena kita tidak tahu bentuknya, dampaknya, hasilnya," kata Kassem.
Perang di Jalur Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023 setelah kelompok militan pimpinan Hamas menyerbu Israel selatan, yang disebut menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera sekitar 250 orang.
Pada hari yang sama, Israel membalasnya dengan serangan udara dan darat yang menyebabkan kehancuran luas. Menurut otoritas kesehatan Jalur Gaza, serangan Israel hingga hari ini menewaskan lebih dari 37.900 orang.
Peringatan Terbaru Hizbullah untuk Israel
Pembicaraan mengenai gencatan senjata di Jalur Gaza terhenti dalam beberapa pekan terakhir, sehingga meningkatkan kekhawatiran akan peningkatan konflik Lebanon-Israel. Hizbullah hampir setiap hari melakukan serangan dengan pasukan Israel di sepanjang perbatasan mereka selama sembilan bulan terakhir.
Konflik tingkat rendah antara Israel dan Hizbullah telah menyebabkan puluhan ribu orang mengungsi di kedua sisi perbatasan Israel-Lebanon. Di Israel utara, 16 tentara dan 11 warga sipil tewas; di Lebanon, lebih dari 450 orang, termasuk puluhan warga sipil.
Hamas menuntut diakhirinya perang di Jalur Gaza, bukan sekedar jeda dalam pertempuran, sementara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak membuat komitmen tersebut sampai tujuan Israel menghancurkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas serta membawa pulang sisa sandera tercapai.
Bulan lalu, militer Israel mengatakan mereka telah menyetujui dan memvalidasi rencana serangan di Lebanon jika tidak ada solusi diplomatik yang dicapai terhadap bentrokan yang sedang berlangsung.
Bagaimanapun, beberapa pejabat Israel mengatakan mereka sedang mencari solusi diplomatis atas kebuntuan ini dan berharap dapat menghindari perang. Pada saat yang sama, mereka telah memperingatkan bahwa kehancuran yang terjadi di Jalur Gaza akan terulang di Lebanon jika perang pecah.
Hizbullah, sementara itu, jauh lebih kuat daripada Hamas dan diyakini memiliki persenjataan roket dan rudal yang mampu menyerang ke mana saja di Israel.
Kassem mengatakan dia tidak percaya bahwa Israel saat ini memiliki kemampuan – atau telah mengambil keputusan – untuk melancarkan perang besar-besaran dengan Hizbullah. Dia memperingatkan bahwa bahkan jika Israel berniat melancarkan operasi terbatas di Lebanon yang tidak akan menyebabkan perang skala penuh, Israel tidak boleh berharap bahwa pertempuran akan tetap terbatas.
"Israel dapat memutuskan apa yang diinginkannya: perang terbatas, perang total, perang parsial," ujarnya. "Tetapi mereka harus memperkirakan bahwa tanggapan dan perlawanan kami tidak akan berada dalam batasan dan aturan keterlibatan yang ditetapkan oleh Israel … Jika Israel mengobarkan perang, itu berarti mereka tidak dapat mengendalikan luasnya perang atau siapa yang terlibat di dalamnya."
Yang terakhir ini jelas merujuk pada sekutu Hizbullah pada poros perlawanan yang didukung Iran di wilayah tersebut. Kelompok-kelompok bersenjata di Irak, Suriah, Yaman dan negara-negara lain – dan, kemungkinan besar, Iran sendiri – dapat ikut terlibat jika terjadi perang besar-besaran di Lebanon, yang mungkin di sisi lain juga akan menarik sekutu terkuat Israel, Amerika Serikat (AS).
Advertisement
Ogah Turuti Permintaan AS
Diplomat AS dan Eropa telah melakukan perjalanan antara Lebanon dan Israel selama berbulan-bulan dalam upaya untuk mencegah konflik yang lebih luas.
Kassem mengatakan pada hari Sabtu dia bertemu dengan wakil kepala intelijen Jerman, Ole Dieh, di Beirut. Para pejabat AS tidak bertemu langsung dengan Hizbullah karena AS telah menetapkan kelompok ini sebagai kelompok teroris, namun mereka secara rutin mengirimkan pesan melalui perantara.
Kassem mengaku utusan Gedung Putih Amos Hochstein baru-baru ini meminta melalui perantara agar Hizbullah memberikan tekanan pada Hamas untuk menerima proposal gencatan senjata dan pertukaran sandera yang diajukan oleh Presiden AS Joe Biden. Dia menegaskan Hizbullah menolak permintaan tersebut.
"Hamaslah yang mengambil keputusan dan siapa pun yang ingin meminta sesuatu harus berbicara langsung dengannya," tegasnya.
Kassem mengkritik upaya AS untuk menemukan resolusi perang di Jalur Gaza dan mengatakan bahwa AS mendukung rencana Israel untuk mengakhiri kehadiran Hamas di wilayah kantong itu. Kesepakatan yang konstruktif, menurutnya, bertujuan mengakhiri perang, membuat Israel menarik diri dari Jalur Gaza, dan memastikan pembebasan sandera.
"Begitu gencatan senjata tercapai maka jalur politik dapat menentukan pengaturan di dalam Gaza dan di garis depan dengan Lebanon," imbuhnya.