Inflasi PCE Amerika Serikat Merosot pada Mei Topang Rupiah Hari Ini 3 Juli 2024

Analis prediksi rupiah akan bergerak di kisaran 16.375-16.453 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu, 3 Juli 2024.

oleh Agustina Melani diperbarui 03 Jul 2024, 11:15 WIB
Rilis data ekonomi Amerika Serikat (AS) menopang pergerakan rupiah pada Rabu (3/7/2024). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Rilis data ekonomi Amerika Serikat (AS) menopang pergerakan rupiah pada Rabu (3/7/2024). Data inflasi Indeks Harga Belanja Personal (PCE) Amerika Serikat merosot sehingga angkat rupiah.

Mengutip Antara, pada awal perdagangan Rabu pagi, 3 Juli 2024, rupiah naik 16 poin atau 0,10 persen menjadi 16.380 per dolar Amerika Serikat dari sebelumnya sebesar 16.396.  "Pada Mei 2024, inflasi PCE tumbuh sebesar 2,6 persen turun dari 2,7 persen pada April 2024. Inflasi inti PCE juga menurun menjadi 2,6 persen dari sebelumnya 2,8 persen,” ujar Analis Pasar Uang Bank Mandiri, Reny Eka Putri, kepada Antara.

Menurut Reny, penurunan inflasi tersebut menjadi sentimen positif bagi rupiah karena sudah sesuai dengan target bank sentral AS atau The Fed dalam Fed Guidance Juni 2024 dan ruang penurunan Fed Funds Rate (FFR) kembali terbuka.

Berdasarkan data CME Group, penurunan Fed Funds Rate terdekat akan terjadi pada pertemuan September 2024 dengan probabilitas sebesar 55 persen.

Sementara itu, pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) terdekat pada Juli 2024 diperkirakan masih akan mempertahankan FFR pada level 5,5 persen.

Saat ini, investor akan menunggu rilis pertemuan FOMC pada Kamis pekan ini untuk memperoleh arah yang lebih detail dari kebijakan The Fed dan akan mengantisipasi data sektor tenaga kerja AS yang akan dirilis pada akhir pekan ini.

Data nonfarm payrolls diprediksi sebesar 180 ribu, menurun dari sebelumnya sebesar 272 ribu dan tingkat pengangguran AS diprediksi tetap sebesar 4 persen pada Mei 2024.

Dalam jangka pendek, secara teknis rupiah akan cenderung bergerak ke kisaran Rp16.200 per dolar AS sampai dengan Rp16.400 per dolar AS.

Pada perdagangan Rabu pagi ini, Reny memperkirakan rupiah bergerak di kisaran 16.375 per dolar AS hingga 16.435 per dolar AS.

 


Rupiah Selasa Sore Ditutup KO dari Dolar AS, Ini Penyebabnya

Teler menunjukan mata uang rupiah di Jakarta, Jumat (3/3/2023). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat ditutup melemah ke level Rp15.311 pada penutupan perdagangan hari ini, rupiah ditutup melemah 0,20 persen atau turun 30,5 poin ke Rp15.311 per dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, rupiah mengalami pelemahan pada hari Selasa, tertekan oleh sentimen hati-hati menjelang rilis data penting dari Amerika Serikat.

Dikutip dari ANTARA, Selasa (2/7/2024), penurunan rupiah mencapai 75 poin atau 0,46 persen, sehingga nilainya berada di 16.396 per dolar AS.

Menurut pengamat pasar uang Ariston Tjendra, pelemahan ini dipicu oleh kekhawatiran investor terhadap data tenaga kerja AS, khususnya data non-farm payrolls, yang diprediksikan akan menunjukkan hasil positif.

Selain data tenaga kerja, pasar juga menanti pidato gubernur bank sentral AS (The Fed) dan notulen rapat bank sentral yang akan dirilis dalam waktu dekat.

Suku Bunga

Investor ingin melihat apakah data dan pernyataan tersebut akan mengarah pada pemangkasan suku bunga acuan AS atau tidak.

Pelemahan rupiah juga tercermin dalam kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia yang turun ke level 16.384 per dolar AS dari sebelumnya 16.355 per dolar AS.

 


Aprindo Prediksi Rupiah Melemah Dongkrak Harga Barang di Ritel

Petugas menghitung uang pecahan US$100 di pusat penukaran uang, Jakarta, , Rabu (12/8/2015). Reshuffle kabinet pemerintahan Jokowi-JK, nilai Rupiah terahadap Dollar AS hingga siang ini menembus Rp 13.849. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengatakan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dapat berimbas pada naiknya harga-harga bahan pokok di ritel dan menurunkan daya beli masyarakat. 

Ketua Aprindo, Roy N Mandey mengakui, pelemahan rupiah ini menyebabkan harga bahan baku dan bahan penolong impor yang diproduksi oleh supplier dan produsen di hulu naik. Sehingga, hal itu berdampak pada harga barang di hilir yang dijual di ritel modern.

"Ke ritel bagaimana dampaknya? Ke ritel dampaknya kepada bahan baku dan bahan penolong yang diproduksi oleh supplier, oleh produsen,” kata Roy dalam konferensi pers, di Kantor Aprindo, Jakarta, Jumat (28/6/2024).

Ia menuturkan, ketika produsen membeli bahan baku dan bahan penolong mereka menggunakan dolar AS untuk membayar. Maka secara hukum ekonomi mengatakan ketika bahan baku naik harga belinya, maka harga jualnya juga pasti naik.

"Mereka menjual ke kami, ke peritel. Peritel nggak menaikan harga, tapi karena mereka dari produsen, supplier, pemasok, produsen menaikkan harga karena bahan baku dan bahan penolongnya yang harus diimpor itu naik. Karena beli dolarnya lebih mahal daripada sebelumnya, otomatis akan terdampak ke hilir, lantaran eskalasi harga atau perubahan harga itu akan dilakukan oleh produsen, bukan oleh peritel," ujar dia.

Namun, kenaikan harga tersebut tidak terjadi pada semua produk yang dijual di ritel, karena tidak semua bahan baku dan bahan penolongnya berasal dari impor.

"itu terjadi tidak pada semua produk, karena tidak semua produk impor, tapi yang ada kandungan bahan baku dan penolongnya impor pasti akan berdampak kepada harga jual,” ujarnya.

 


Bahan Baku Terdampak

Teller menunjukkan mata uang rupiah di penukaran uang di Jakarta, Rabu (10/7/2019). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup stagnan di perdagangan pasar spot hari ini di angka Rp 14.125. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Adapun bahan baku dan bahan penolong impor contohnya seperti kedelai. Lantaran Indonesia masih melakukan impor kedelai dari Amerika Latin. Kemudian, komoditas beras hingga gula.

"Apa saja barang-barang yang bahan baku dan penolongnya impor? Kedelai misalnya, jadi bahan baku kedelai itu enggak ada di Indonesia, harus dari Amerika Latin. Kedelai harus impor. Kemudian bahan pokok lagi, kita tahu beras juga kan impor, gula juga impor,” ujarnya.

Solusinya hanya satu yakni Pemerintah harus sanggup untuk memberikan subsidi untuk bahan baku dan bahan penolong impor tersebut. Tujuannya untuk menahan harga beberapa barang yang di jual di ritel tidak naik.

"Pemerintah mau naikin nggak subsidi-nya? Kalau subsidi-nya nggak naik, maka akan dampak kepada harga jualnya pasti mesti naik. Tapi kalau sudah tidak bisa ditolerir, mau tidak mau menaikkan harga, walaupun risikonya nanti kurang penjualannya,” ujarnya.

"Jadi ini sesuatu problem yang bukan baru sekarang tapi sudah terjadi beberapa kali Jadi disini pentingnya, pentingnya pemerintah harus bergerak cepat,” pungkas Roy.

 

Infografis Beda Rupiah 1998 dengan 2018 terhadap Dolar AS. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya