Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi merespons soal desakan agar Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mundur dari jabatannya buntut peretasan server Pusat Data Nasional (PDN). Jokowi mengatakan dirinya telah melakukan evaluasi terkait peretasan PDN yang berdampak pada sejumlah instansi pemerintah.
"Semuanya sudah dievaluasi," ujar Jokowi kepada wartawan di PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power, Karawang, Jawa Barat, Rabu (3/7/2024).
Advertisement
Menurut dia, pemerintah mencari solusi agar peretasan PDN tak terjadi lagi kedepannya. Jokowi juga telah meminta agar semua data nasional di back up untuk menghadapi apabila ada serangan Ransomware.
"Yang penting semuanya harus dicarikan solusinya agar tidak terjadi lagi, di back up semua data nasional kita sehingga kalo ada kejadian kita tidak terkaget-kaget. Dan ini juga terjadi di negara-negara lain, bukan hanya di Indonesia saja," tutur Jokowi.
Didesak Mundur dari Menkominfo Buntut Server PDN Diretas, Budi Arie: No Comment
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi enggan berkomentar banyak soal desakan dari sejumlah masyarakat yang meminta dirinya mundur lantaran gagal menjaga keamanan data.
Desakan mundur itu buntut dari server Pusat Data Nasional (PDN) yang diretas ransomware dan pemerintah menyatakan hanya pasrah.
"Ah no comment kalau itu. Itu haknya masyarakat untuk bersuara," kata Budi di Kompeks Parlemen Senayan, Kamis (27/6/2024).
Budi mengklaim, meski server PDN diretas, namun belum ada bukti kebocoran data sudah terjadi.
"Yang pasti tadi hasil rapat dengan Komisi I (DPR) kita, tidak ada indikasi dan belum ada bukti terjadinya kebocoran data," kata dia.
Diketahui, desakan agar Budi Arie Setiadi mundur dari jabatan Menkominfo dapat dilihat dari petisi yang dibuat oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet).
Petisi itu menggalang suara masyarakat untuk menuntut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mundur dari jabatannya. Petisi tersebut bisa diakses di laman change.org dan sudah direspons oleh puluhan ribu masyarakat.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia secara tegas menolak membayar tebusan sebesar Rp 131 miliar yang diminta oleh peretas Pusat Data Nasional (PDN). Keputusan ini disampaikan oleh sejumlah pejabat terkait menyusul serangan siber yang mengganggu layanan publik sejak 20 Juni 2024.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), Usman Kansong, menegaskan sikap pemerintah dalam menanggapi tuntutan peretas.
"Ya pemerintah kan enggak mau menebus, sudah dinyatakan tidak akan memenuhi tuntutan Rp 131 miliar," ujar Usman kepada wartawan pada Rabu (26/6/2024).
Advertisement
Pemerintah Tolak Bayar Tebusan kepada Peretas
Menurutnya, alasan pemerintah menolak memenuhi tuntutan peretas karena data PDNS yang dibobol itu sudah tidak bisa diubah-ubah oleh peretas, ataupun pemerintah.
"Karena sudah diamankan data itu. Sudah kami tutup, kan," ucapnya.
Usman mengungkapkan, Kominfo bersama Badan Siber dan Sandi Negara atau BSSN, serta Telkom Sigma selaku vendor telah mengisolasi data-data dari PDNS 2 di Surabaya. Karena itu, ia mengklaim bahwa data di pusat data itu tidak bisa diambil oleh pelaku peretasan, meski servernya berhasil dilumpuhkan.
"Emang kami bayar juga dijamin enggak diambil datanya? Enggak kan. Yang penting sudah kami isolasi," kata Usman.
Virus Ransomware
Sementara, Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, sebelumnya mengonfirmasi adanya permintaan tebusan dari peretas. "Menurut tim, (uang tebusan) 8 juta dolar," kata Budi Arie di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (24/6/2024).
Meskipun menolak membayar tebusan, pemerintah mengklaim telah mengambil langkah-langkah untuk mengamankan data yang terdampak.
"Iya dibiarkan saja di dalam, sudah kita isolasi. Jadi enggak bisa diapa-apain. Enggak bisa diambil oleh dia (peretas) juga."
Serangan siber terhadap PDN ini menggunakan virus ransomware jenis baru yang dikenal sebagai Lockbit 3.0. Akibatnya, sekitar 210 database milik kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah terdampak, menyebabkan gangguan pada berbagai layanan publik.
Advertisement