Liputan6.com, Cilacap - Salah satu Diva Dangdut Indonesia Ayu Ting Ting memberikan pernyataan mengejutkan tentang pertunangannya dengan anggota TNI berpangkat Lettu yang bernama Muhammad Fardhana.
Pelantun tembang ‘Sambalado’ ini mengaku kalau dirinya sudah putus hubungan dengan calon suaminya itu sejak tanggal 22 Juni 2024 yang silam. Alhasil, Ayu Ting Ting batal nikah.
Baca Juga
Advertisement
"Saya memberitahukan bahwa pertunangan saya dengan Mas Dhana sudah dinyatakan putus sejak tanggal 22 Juni, itu di antara kami," ujar Ayu Ting Ting kepada wartawan di Kawasan Tendean, Jakarta Selatan, Senin 1 Juli 2024.
"Di tanggal 27 Juni kemarin hari Kamis, itu di antara sesama orang tua. Alhamdulillah secara resmi," sambung dia.
Terlepas dari hal itu, Islam menyoroti perihal hukum batal nikah usia tunangan atau lamaran.
Simak Video Pilihan Ini:
Hukum Membatalkan Nikah usai Tunangan
Menukil NU Online, Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, menjelaskan bahwa khitbah tidak bisa dianggap sama dengan nikah. Keduanya merupakan dua komponen yang berbeda, sehingga mempunyai ketentuan yang juga berbeda. Dalam kitabnya disebutkan:
بما أن الخطبة ليست زواجاً، وإنما هي وعد بالزواج، فيجوز في رأي أكثر الفقهاء للخاطب أو المخطوبة العدول عن الخطبة
Artinya, “Melihat bahwasanya khitbah tidak bisa dikatakan akad nikah, dan khitbah hanyalah sebatas janji untuk menikah, maka menurut mayoritas ulama, bagi mempelai pria yang melamar dan wanita yang dilamar boleh untuk berubah pikiran dari lamarannya (janji nikahnya, red)”
(Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut: Dar al-Fikr 2010], juz 9, h. 19). Khitbah dengan segala ketentuannya memang belum bisa dianggap sebagai akad nikah. Sebelum akad (nikah) terjadi antara keduanya, masing-masing belum mempunyai tanggungan apa pun, dan tidak mempunyai beban antara keduanya.
Hanya saja, dalam kelanjutan pernyataannya, Syekh Wahbah az-Zuhaili menganjurkan untuk tidak membatalkan. Dalam kitabnya dijelaskan:
ولكن يطلب أدبياً ألا ينقض أحدهما وعده إلا لضرورة أو حاجة شديدة، مراعاة لحرمة البيوت وكرامة الفتاة
Artinya, “Akan tetapi, dianjurkan sebagai bentuk etika bagi salah satunya, untuk tidak merusak janjinya, kecuali dalam keadaan yang mendesak, atau kebutuhan yang sangat. (Hal itu) demi menjaga kehormatan keluarga dan kemuliaan wanita” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2010: juz 9, h. 19). Imam Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar menjelaskan tentang janji, bahwa ulama kalangan Syafi’iyah sepakat, sunnah hukumnya menepati janji, selagi tidak berupa janji yang dilarang, tentu jika tidak ditepati akan berkonsekuensi pada hukum makruh dan menghilangkan keutamaannya (Imam Nawawi, al-Adzkar lin Nawawi, [Beirut: Dar al-Fikr, 1994], h. 317).
Advertisement
Alasan Pembatalan yang Tepat
Jika ikatan yang sudah disepakati sudah tidak bisa dirajut kembali, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka sebaiknya bagi pria yang melamar menggunakan alasan yang tepat ketika ingin membatalkannya. Syekh Wahbah az-Zuhaili memberikan cara yang benar, yaitu:
وينبغي الحكم على المخطوبة بالموضوعية المجردة، لا بالهوى أو بدون مسوغ معقول، فلا يعدل الخاطب عن عزمه الذي شاءه؛ لأن عدوله هو نقض للعهد أو الوعد
Artinya, “Sebaiknya, memutuskan (pembatalan rencana nikah) atas wanita yang telah dilamarnya itu dengan menggunakan alasan-alasan nyata yang tidak dibuat-buat, tidak disebabkan mengikuti hawa nafsu, atau tanpa sebab yang bisa diterima oleh akal. Sehingga, pria yang melamar tidak berpaling dari tujuan melamar yang ia kehendaki, sebab dengan berpaling dari janjinya, ia dianggap telah merusak janji-janjinya” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2010: juz 9, h. 19).
Kesimpulannya, jika sudah jelas ditemukan alasan yang bisa diterima oleh akal dan dibenarkan dalam Islam, segera membatalkan khitbahnya justru lebih baik, agar pihak wanita tidak terlalu mengharapkannya. Namun, jika alasannya tidak bisa dibenarkan, sekadar mengikuti hawa nafsu, atau bahkan hanya alasan yang dibuat-buat, membatalkan khitbah justru tidak baik.
Karena membatalkannya menunjukkan ia bukan laki-laki yang bisa dipercaya, sehingga orang lain tidak mudah untuk percaya kepadanya. Tidak hanya itu, janji yang sudah disepakati, seperti janji khitbah, namun tidak dipenuhi akan dipertanyakan oleh Allah ﷻ kelak di akhirat. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
Artinya, “Dan penuhilah janji karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra’: 34) Oleh karenanya, seperti apa pun alasannya, jika masih bisa dilanjutkan, lebih baik tidak membatalkan janji dalam khitbahnya, menimbang efek yang akan terjadi pada dirinya, berupa tidak akan dipercaya oleh orang lain, juga tidak kalah penting mengingat firman Allah ﷻ di atas.
Bolehkah Meminta Kembali Barang yang Telah Diberikan?
Di banyak tradisi masyarakat di Indonesia ada kebiasaan ketika melamar, keluarga pelamar mendatangi pihak keluarga orang yang ingin dilamar dengan membawa berbagai bentuk barang, seperti uang, pakaian, dan bahkan ada juga yang memberikan barang-barang pokok.
Dari kebiasaan ini akan muncul permasalahan, yaitu tentang meminta kembali barang yang telah diberikan kepada pihak yang dilamar, seiring dengan pembatalan rencana pernikahan. Saat percekcokan terjadi, misalnya, dan berujung salah satu dari kedua pihak memilih untuk tidak melanjutkan janji, maka diperbolehkan bagi pihak pria menarik kembali barang yang telah diberikan, baik barang itu masih ada, hilang, atau sudah rusak.
Hanya saja, jika sudah rusak, maka ia boleh meminta nominalnya. Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan:
وفي حال الهلاك أو الاستهلاك يرجع بقيمته إن كان قيمياً، وبمثله إن كان مثلياً
Artinya, “Jika (barang yang diberikan) sudah hilang atau rusak, maka ia boleh meminta nominal harganya, bila barang yang diberikan berupa mutaqawam (barang yang hitungannya menggunakan nominal harga), dan meminta dengan ganti barang serupa bila yang diberikan adalah mitsli (barang yang hitungannya dengan ditimbang atau ditakar, seperti beras, dan lainnya).” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2010: juz 9, h. 19).
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Advertisement