Liputan6.com, Cilacap - Syaikh Abdul Qadir al-Jilani merupakan salah seorang sufi yang memiliki julukan luhur sebagai sulthanul awliya atau rajanya para wali. Kealimannya tak perlu dipertanyatakan.
Meski begitu, nyatanya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pernah menghadapi kelompok takfiri.
Kelompok takfiri merupakan kelompok yang begitu mudah mengkafirkan sesama muslim karena memiliki pendapat atau pemahaman berbeda dengan kelompoknya.
Baca Juga
Advertisement
Kelompok ini membawa musibah yang besar bagi umat Islam. Pasalnya, lontaran atau cemoohan ‘kafir’ untuk saudaranya sesama muslim bisa mengakibatkan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri.
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menggunakan siasat untuk menghadapi kelompok takfiri ini untuk tujuan mempersatukan kembali umat Islam.
Simak Video Pilihan Ini:
Khutbah Jumat sebagai Ajang Saling Mengkafirkan
Menukil laman fkip.unisma.ac.id, khutbah Jum’at sebagai ajang untuk saling mengkafirkan. Di saat bersamaan, seorang Abdul Qadir Al-Jailani muda diamanati oleh gurunya, Syekh Abu Sa’ad Al-Muharrimi untuk meneruskan dan mengembangkan madrasah yang telah didirikannya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani lalu berpikir bahwa perpecahan di antara umat Islam adalah akar masalah pertama yang harus segera disikapi, ilmu pengetahuan tidak pada posisinya yang benar jika hanya digunakan sebagai dalih untuk saling menyesatkan di antara sesama saudara.
Di tengah kegelisahannya atas keadaan umat Islam pada saat itu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berniat untuk menemui setiap tokoh dari masing-masing kelompok, niat memersatukan umat Islam tersebut ia lakukan dengan sabar dan istiqomah, meskipun hampir dari setiap orang yang dikunjunginya justru menolak, mengusir, atau bahkan berbalik memusuhinya.
Advertisement
Nasihat Lembut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tetap teguh kepada prinsipnya, bahwa perpecahan Islam di sekitarnya tidak bisa didiamkan, melalui madrasah yang sedang dikembangkannya, dia mulai melakukan penerimaan murid dengan tanpa melihat nama kelompok dan status agama.
Lama kelamaan para tokoh Islam yang secara rutin dan terus menerus ditemuinya mulai tampak suatu perubahan, nasihat-nasihatnya yang lembut dan santun membuat orang yang ditemuinya berbalik untuk berkunjung ke madrasah yang diasuhnya, padahal usia mereka 40 tahun lebih tua dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
Hasil yang mewujud itu belum memberikan kepuasan bagi sosok yang kelak dikenal sebagai Sultonul Awliya –raja para wali- ini, dikarenakan permusuhan antar sesama kelompok Islam pada saat itu masih berlangsung, hingga pada suatu ketika, beberapa tokoh Islam sengaja ia kumpulkan di sebuah majlis madrasah tersebut, kemudian dia berkata:
“Kalian ber-Tuhan satu, bernabi satu, berkitab satu, berkeyaknan satu, tapi kenapa dalam berkehidupan kalian bercerai-berai? Ini menunjukkan bahwa hati memang tak mudah menghadap kepada Tuhan,”
Sontak seluruh tamu saling merasa bersalah, kemudian saling meminta maaf, dan persatuan umat Islam yang dicita-citakan salah satu tokoh besar Islam ini benar-benar terwujud.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul