RUU Penyiaran di Mata Media Siber Indonesia

Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) DKI Jakarta menggelar diskusi bertajuk "RUU Penyiaran: Langkah Mundur dalam Ekosistem Siber di Indonesia" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/7/2024). Ada sejumlah poin yang dibahas dalam diskusi itu, dan dinilai perlu adanya kajian lebih lanjut.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 04 Jul 2024, 14:40 WIB
Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) DKI Jakarta menggelar diskusi bertajuk "RUU Penyiaran: Langkah Mundur dalam Ekosistem Siber di Indonesia" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/7/2024). (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) DKI Jakarta menggelar diskusi bertajuk "RUU Penyiaran: Langkah Mundur dalam Ekosistem Siber di Indonesia" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (4/7/2024). Ada sejumlah poin yang dibahas dalam diskusi itu, dan dinilai perlu adanya kajian lebih lanjut.

Ketua Umum AMSI, Wahyu Dhyatmika, menyampaikan pihaknya menolak tegas isi draf RUU Penyiaran jika mengatur jurnalisme dan bersinggungan dengan Undang-Undang Pers.

"Jadi enggak usahlah. Silakan mau revisi penyiaran, tapi jangan mengatur pers. Kalau untuk penguatan lembaga KPI, silakan. Kalau penguatan ekosistem digital itu memang dibutuhkan undang-undang mengenai ekosistem digital," ujar Wahyu.

Wahyu berharap pemerintahan selanjutnya dapat berkomitmen dalam menjaga dan memelihara kebebesan pers. Pada dasarnya, menurut Wahyu, perlindungan kebebasan pers sudah lumayan kuat saat ini.

"Kecuali pers kita direvisi, maka harusnya tidak perlu ada kekhawatiran, karena presiden pelaksana undang-undang. Jadi kalau memang ada upaya mengubah Undang-Undang Pers, di situ kita wajar merasa khawatir. Kalau tidak ada upaya itu kita yakin media kita akan terus berkembang," jelas Wahyu.

Hanya saja, sambungnya, pegiat media perlu melihat kembali model bisnis dan relasinya dengan platform di tengah disrupsi digital. Hal itu yang kemudian dilakukan AMSI lewat Perpres Publicy Rights dan peraturan perangkat lain, agar bisnis media siber bisa berkesinambungan dengan konten media jurnalistik yang berkualitas.

"Jangan masuk Undang-Undang Pers, jurnalisme, silakan untuk penguatan lembagaa KPI. Sedangkan mengenai penataan ekosistem digital termasuk platform-platform YouTube dan sebagainya, sebaiknya dibuatkan regulasi yang lebih komprehensif, yang lebih umum yang mengatur ekosistem digital kita. Kita bisa menggunakan Undang-Undang Digital Service yang ada di Eropa sebagai benchmark," kata Wahyu.

 


RUU Penyiaran Harus Kembali ke Filosofinya

Chief Content Officer Kapanlagi Youniverse (KLY), Wenseslaus Manggut. (Liputan6.com/Helmi Fitriansyah)

Chief Content Officer Kapan Lagi Youniverse Wenseslaus Manggut menambahkan, RUU Penyiaran sepatutnya kembali pada filosofi dari revisi itu sendiri. Hasil komunikasinya dengan pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), bahwa filosofinya adalah level of playing field yang sama antara televisi, platform, hingga publisher.

"Level of playing field yang sama adalah apakah regulasi yang general itu berlaku untuk semua. Apakah regulasi periklanan itu mengikat publisher, teman-teman televisi, juga mengikat teman-teman platform," ujar Wens.

Wens memberikan contoh sederhana seperti iklan rokok. Saat di televisi ataupun publisher, sangatlah ketat, apalagi dengan adanya adegan merokok.

"Apakah ada larangan yang sama di platform. Karena kalau di platform boleh orang sambil merokok. Apakah televisi atau publisher yang dilarang atau dibatasi Undang-Undang Pornografi, teman-teman platform juga tunduk dengan regulasi yang sama. Nah itu kan aturan yang bersifat umum, bukan aturan spesialis yang mengatur Undang-Undang Pers. Apakah teman-teman pers yang tunduk pada Undang-Undang Perlindungan Data, platform juga tunduk undang-undang yang sama," tuturnya.

Wens menilai, akan sangat bagus apabila RUU Penyiaran sesuai dengan filosofi level of playing field yang sama, yakni semua tunduk pada regulasi yang umum di masyarakat. Buntutnya, hal itu tempatnya bukan di revisi UU Penyiaran.

"Karena Undang-Undang Penyiaran itu sangat khusus dia. Yang paling pas, ya buat saja seperti digital service act-nya Eropa, adalah perlindungan. Kalau di revisi Undang-Undang Penyiaran, kesannya adalah kita mau melindungi televisi, kita mau melindungi publisher," terang Wens.

"Padahal ya, dan itu yang membuat kita jadinya ramai karena agains dengan teman-teman platform, di influencer, di podcast. Padahal yang mau diatur adalah playing field yang sama. Kalau mau playing field yang sama itu ya atur platformnya itu," sambungnya.

Sebab itu, kata Wens, yang paling bagus tentu dibuatnya digital service act yang pada intinya fokus ke perlindungan publik.

"Jadi kalau Undang-Undang Pers itu proteksi terhadap publisher. Undang-Undang Penyiaran mungkin ada unsur proteksi terhadap penyiarannya. Digital service act perlindungan publik, salah satunya data. Dia boleh men-collect semua jenis data si platform. Kalau digital service act kan enggak bisa, dibatasi. Harus ada persetujuan user, enggak otomatis,” ujar Wens.

"Apakah dia masih powerfull secara jualan, rasanya sih enggak. Jadi yang bagus menurut saya, sekian banyak poin yang menjadi kontroversi di revisi itu, dikeluarkan saja, diatur sebagaimana sejumlah negara lain mengaturnya. Dalam regulasi platform," Wens menandaskan.

 

Infografis Jokowi dan Keluarga Dilaporkan Kolusi-Nepotisme ke KPK. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya