Langkah pemerintah untuk mengambil alih PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dari Nippon Asahan Aluminium Co. Ltd pada 31 Oktober 2013 masih terganjal perbedaan nilai buku aset. Saat ini pemerintah masih terus melakukan proses negosiasi harga akuisisi 100% saham Inalum.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa mengaku proses renegosiasi dengan pihak Jepang masih berlangsung karena ada perbedaan dari audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Perbedaan ini yang harus di verifikasi. Namun kami tidak mengurungkan niat agar 100% saham Inalum beralih ke Indonesia pada 31 Oktober ini," tukas dia di Jakarta, Selasa (16/4/2013) malam.
Dalam hal ini, BPKP telah memberikan laporan hasil audit nilai buku Inalum, mengingat perusahaan yang bergerak di bidang peleburan aluminium itu merupakan aset negara.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Perindustrian, MS Hidayat mengatakan, selisih nilai audit BPKP dan Jepang sekitar US$ 140 juta. "Kalau kami ambil alih, itu ada selisih sekitar US$ 140 juta. Nilai buku itulah yang sedang ingin dinegosiasikan lagi supaya seperti nilai kami," terangnya.
Perbedaan nilai buku tersebut, kata dia, mengacu pada revaluasi aset Inalum pada 1998 yang dimiliki Jepang. Sedangkan pemerintah Indonesia hanya memegang nilai buku sebelum revaluasi.
"Revaluasi yang dulu kami lakukan di tahun 1998 tidak disertai setoran, karena hanya meng-update nilai supaya Inalum bisa jalan sehat karena ketika itu sedang krisis. Kami mau menghindari adanya deadlock atau ke arbitrase, karena kalau ke arbitrase memang tidak ada keberatan, tapi waktunya jadi lama," jelasnya.
Namun Hidayat memastikan anggaran APBN Rp 7 triliun yang dialokasikan untuk akuisisi Inalum tidak akan berubah. "Dana Rp 7 triliun masih cukup, kalau lebih tentu dikembalikan," ucap dia.
Paska seluruh saham jatuh ke tangan Indonesia, Inalum akan terlahir sebagai BUMN baru. Hal tersebut dibenarkan Menteri BUMN, Dahlan Iskan.
"Kalau 100% saham Inalum sudah jadi milik Indonesia, otomatis menjadi BUMN. Karena perusahaan Inalum itu sudah ada sejak lama, tapi statusnya saja yang menjadi baru," pungkasnya. (Fik/Ndw)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa mengaku proses renegosiasi dengan pihak Jepang masih berlangsung karena ada perbedaan dari audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Perbedaan ini yang harus di verifikasi. Namun kami tidak mengurungkan niat agar 100% saham Inalum beralih ke Indonesia pada 31 Oktober ini," tukas dia di Jakarta, Selasa (16/4/2013) malam.
Dalam hal ini, BPKP telah memberikan laporan hasil audit nilai buku Inalum, mengingat perusahaan yang bergerak di bidang peleburan aluminium itu merupakan aset negara.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Perindustrian, MS Hidayat mengatakan, selisih nilai audit BPKP dan Jepang sekitar US$ 140 juta. "Kalau kami ambil alih, itu ada selisih sekitar US$ 140 juta. Nilai buku itulah yang sedang ingin dinegosiasikan lagi supaya seperti nilai kami," terangnya.
Perbedaan nilai buku tersebut, kata dia, mengacu pada revaluasi aset Inalum pada 1998 yang dimiliki Jepang. Sedangkan pemerintah Indonesia hanya memegang nilai buku sebelum revaluasi.
"Revaluasi yang dulu kami lakukan di tahun 1998 tidak disertai setoran, karena hanya meng-update nilai supaya Inalum bisa jalan sehat karena ketika itu sedang krisis. Kami mau menghindari adanya deadlock atau ke arbitrase, karena kalau ke arbitrase memang tidak ada keberatan, tapi waktunya jadi lama," jelasnya.
Namun Hidayat memastikan anggaran APBN Rp 7 triliun yang dialokasikan untuk akuisisi Inalum tidak akan berubah. "Dana Rp 7 triliun masih cukup, kalau lebih tentu dikembalikan," ucap dia.
Paska seluruh saham jatuh ke tangan Indonesia, Inalum akan terlahir sebagai BUMN baru. Hal tersebut dibenarkan Menteri BUMN, Dahlan Iskan.
"Kalau 100% saham Inalum sudah jadi milik Indonesia, otomatis menjadi BUMN. Karena perusahaan Inalum itu sudah ada sejak lama, tapi statusnya saja yang menjadi baru," pungkasnya. (Fik/Ndw)