Pertamina Klaim Bisa Produksi Biodiesel B100, Tapi Harganya Belum Murah

PT Pertamina New Energy and Renewable Energy (Pertamina NRE) mengklaim sudah bisa memproduksi biodiesel B100

oleh Arief Aszhari diperbarui 05 Jul 2024, 06:09 WIB
Petugas memegang nozzle saat melakukan pengisian bahan bakar jenis Biosolar pada kendaraan di salah satu SPBU Pertamina di Jakarta, Rabu (17/2/2021). Kementerian ESDM mencatat, pada tahun 2020 realisasi pemanfaatan biodiesel mencapai 8,46 juta kiloliter (kl). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus mendorong penggunaan bahan bakar alternatif, yang memang sudah tidak lagi menggunakan bahan minyak bumi. Salah satu yang terus dikembangkan, adalah biodiesel, yang disebut B40.

Namun, salah satu perusahaan BUMN yaitu Pertamina, melalui PT Pertamina New Energy and Renewable Energy (Pertamina NRE) mengklaim sudah bisa memproduksi biodiesel B100 atau yang benar-benar 100 persen minyak sawit.

Menurut Head of CCUS Development Program Pertamina NRE, Bayu Probowo, saat ini memang bahan bakar biodiesel B100 ini belum bisa dijual, karena belum mencapai harga keekonomian atau masih cukup mahal. Dengan begitu, produksi biodiesel masih mencapai 35 persen dengan campuran minyak sawit.

"Biodiesel kita B35 sudah world highest recorded for blending. Biasanya di tempat lain hanya 10 sampai 15 persen, tapi kita sudah sampai ke 35 persen," jelas Bayu, di gelaran Green Economy Expo, di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (4/7/2024).

Lanjut Bayu, teknologi blending Pertamina sendiri, memang sudah bisa 100 persen. Namun, untuk bisa dijual memang harus mencapai skala ekonomi harga.

Selain itu, Pertamina juga tengah mengembangkan bajan bakar alternatif lainnya, selain biodiesel yaitu green hydrogen.

"Green hidrogen kita punya beberapa inisiatif baik hidrogen (power) generation maupun hidrogen utilization. Kita juga punya beberapa inisiatif lain seperti green metanol di geothermal dan lain-lain," tukasnya.

Sebelumnya, memang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sempat mengutarakan, jika pengaplikasian bahan bakar hidrogen untuk sektor transportasi, akan dimulai pada 2030. Pemanfaatannya, akan lebih luas mencakup kendaraan hidrogen (fuel cell atau bahan bakar sintetis), pembangkitan listrik, sebagai penyimpanan energi, dan melakukan dekarbonisasi.

 


Hidrogen Masa Depan

Hal senada juga diutarakan salah satu pabrikan otomotif yang berbisnis di Indonesia, yaitu Toyota yang menilai hidrogen hijau menjadi potensi baru sumber energi bersih yang hanya mengeluarkan uap air, dan tidak meninggalkan residu di udara atau menambah emisi karbon gas rumah kaca, karenanya sangat mendukung pencapain target dekarbonisasi.

Nandi Julyanto Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) saat membuka Seminar Nasional di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta mengatakan, pemanfaatan multi teknologi dari berbagai sumber energi yang berfokus pada reduksi emisi, menjadi suatu keniscayaan untuk mengejar target NZE demi masa depan hijau bagi seluruh generasi.

"Sebagai bagian dari solusi transportasi masyarakat Indonesia, publik advokasi melalui aktivitas seminar nasional ini akan memaparkan tantangan sosial-ekonomi dan transformasi digital dalam pengembangan energi alternatif di sektor transportasi menuju NZE 2060 di Indonesia yang memfokuskan pada teknologi hidrogen," jelas Nandi.

Pemanfaatan hidrogen ini juga sejalan dengan misi dekarbonisasi sektor manufaktur yang ditargetkan Kementerian Perindustrian RI pada tahun 2050 atau sepuluh tahun lebih dini dari target yang dicanangkan.


Infografis Mobil Kepresidenan

Mobil Kepresidenan di Indonesia

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya