Liputan6.com, Jakarta - Act for Farmed Animals Indonesia, menawarkan program makanan ‘Nutrisi Esok Hari (NEH)’ yang kaya nutrisi nabati secara gratis, untuk mengurangi ketergantungan makanan yang bersumber dari protein hewani.
Organisasi gabungan Animal Friends Jogja dan NGP internasional Sinergia Animal itu, terus mengkampanyekan pilihan makanan yang berkelanjutan untuk mengurangi jejak karbon dalam perubahan iklim global.
Advertisement
Yohana Sadeli, pengelola program nutrisi esok hari mengatakan, perubahan iklim seperti meningkatnya suhu, cuaca ekstrem, dan perubahan pola curah hujan, menimbulkan tantangan besar bagi negara seperti Indonesia, terhadap ketahanan pangan.
“Untuk menghadapi tantangan itu, program nutrisi esok hari, menawarkan menu makanan alternatif kaya nutrisi nabati dalam mengurangi jejak karbon,” ujar dia, Kamis (4/7/2024).
Untuk membumikan program itu ujar dia, lembaganya getol mengampanyekan program di institusi publik, mulai sekolah, universitas, dan komunitas.
“Kami juga memberikan pendampingan ahli gizi profesional secara gratis untuk mengganti produk makanan berbasis hewani ke alternatif nabati,” kata dia.
Sejak didirikannya 2021 lalu, program tersebut terus berkembang dan telah mendapatkan dukungan di 15 institusi publik di Indonesia.
“Saat ini, nutrisi esok hari berpotensi mengubah 300 ribu jenis makanan yang disajikan menjadi 100 persen berbasis nabati setiap tahunnya,” ujar dia.
Lebih Murah
Selain manfaat bagi lingkungan dan kesehatan, kehadiran program nutrisi esok hari, ujar dia, mampu menekan biaya yang harus dikeluarkan masyarakat, dalam memenuhi kebutuhan makanan mereka.
“Mulai tahun ini, program nutrisi esok hari juga memperluas programnya untuk Posyandu dan usaha katering dengan menyajikan makanan lezat kaya protein nabati,” papar dia.
Beberapa contoh dari penerima program ini adalah Dreama Kitchen dan Rella’s Kitchen. Keduanya merupakan usaha katering dan Kader Posyandu di Jepitu dan Kemadang, dua kecamatan di Kabupaten Gunungkidul.
Yohana menambahkan, dalam kajian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai perubahan iklim di awal 2024 menyatakan, cuaca ekstrem dan bencana iklim mempengaruhi siklus tanaman dan pertanian, yang berpotensi naiknya harga dan meningkatnya kelaparan.
“Kita bergantung pada sistem pangan yang tidak memadai dan terlalu bergantung pada protein hewani, penghasil emisi utama CO2 dan gas rumah kaca dalam produksi pangan,” kata dia.
Selain itu, laporan Komisi EAT-Lancet menyatakan, sistem pangan yang selaras dengan tujuan lingkungan dan gizi terdiri dari lebih dari 90 persen makanan berbasis nabati.
“Kami menginisiasi salah satu diskusi penting untuk isu krisis iklim, peningkatan kesadaran mengenai dampak pilihan pangan serta memfasilitasi perubahan yang kita perlukan di lembaga nasional kita,” ujar dia bangga.
Untuk menekan kerusakan lingkungan akibat naiknya emisi gas karbon, pihaknya mendorong kalangan swasta dan pemerintah daerah di Indonesia, turut serta dalam kampanye ini.
“Kami mengambil inspirasi dari kota Cali dan Chaparral, keduanya di Colombia, yang sudah menjalankan program kami di sana,” ujar dia.
Advertisement