600 Ribu Ton Sampah Hanyut ke Sungai Berujung di Laut, 4 Juta Ton Dibakar Cemari Udara

Kebocoran sampah ke lingkungan antara lain akibat minimnya akses pengelolaan sampah, tingginya produksi plastik kemasan, hingga kurangnya kesadaran memilah sampah sejak rumah tangga.

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 05 Jul 2024, 11:23 WIB
Warga menggunakan perahu untuk memilah sampah plastik di aliran Sungai Citarum, Bandung, Rabu (26/6/2019). Menurut warga di kawasan itu volume sampah kiriman yang kerap menumpuk mulai mengalami penurunan setelah beberapa waktu lalu sempat menutupi permukaan aliran Sungai Citarum (Timur Matahari/AFP)

Liputan6.com, Bandung - Sampah mudah dijumpai dimana-mana. Indonesia sendiri menghasilkan sekitar 53 juta ton sampah setiap tahunnya. Timbulan itu banyak yang tidak terkelola, hanyut ke sungai-sungai, terdampar ke lautan, sebagian besar dibakar lalu mengapung di udara, bahkan tak kasat telah merasuk ke tubuh manusia dan biota lainnya.

Merujuk hasil analisis perhitungan data SIPSN, dinas-dinas terkait, Data Riskesdas 2018, dan Data Kependudukan 2022, yang telah dikerjakan Guru Besar ITB, Prof. Emenda Sembiring, jumlah sampah yang dibuang langsung ke sungai terhitung mencapai 601.225 ton/tahun.

Sementara, sampah yang langsung dibuang ke lingkungan daratan 789.847 ton/tahun, sedangkan sampah yang dibakar diperkirakan mencapai 4.708.417 ton/tahun, hampir 9 persen dari total sampah yang dihasilkan di seluruh Indonesia.

Kebocoran sampah ke lingkungan antara lain akibat minimnya akses pengelolaan sampah, tingginya produksi plastik kemasan, hingga kurangnya kesadaran memilah sampah sejak rumah tangga.

"Rata-rata, akses pengelolaan sampah di seluruh kota kabupaten di Indonesia baru mencapai 39,1 persen. Dengan kota kabupaten yang sudah memenuhi standar pelayanan minimal itu baru mencapai 22 persen," kata Emenda dalam orasi ilmiahnya disimak ulang Liputan6.com lewat siniar, Jumat (5/7/2024).

Guru Besar Bidang Sirkularitas Limbah Padat dan Persampahan Menuju Keberlanjutan di Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB itu mengatakan, kebocoran sampah menjadi masalah serius bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat, semisal ancaman mikroplastik.

"Sampah bisa bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain dan akhirnya akan masuk ke drainase atau badan air, dan ujungnya ke laut," katanya.

Sampah plastik, lanjut Emenda, akan dominan terlihat di lingkungan karena sifatnya yang tahan lama dan persisten. Di lingkungan perairan, dapat terdegradasi berbagai proses termasuk hidrolisis biologis, pengaruh sinar matahari ultraviolet, pengaruh panas, perubahan fisik dan thermo-oksidasi.

"Sampah yang berukuran makro pun berubah menjadi mikro," katanya.

Mikroplastik ini tidak hanya hanyut di sungai, terdampar di lautan, tapi juga terkonsumsi manusia dan biota lainnya. Penelitian Fengqi You dan Xiang Zhao dari Cornell University, Amerika Serikat, tahun ini, menunjukan bahwa orang Indonesia rata-rata menelan sebanyak 52 juta partikel mikroplastik setiap bulan, tertinggi di dunia.

"Intake mikroplastik di diet parkapita di Indonesia tertinggi di dunia 15 gram/bulan, kurang lebih 52,5 juta partikel mikroplastik," disampaikan Emenda. "Semakin kecil ukuran mikroplastik semakin mudah partikel plastik ini diuptake (diserap) oleh manusia dan biota," imbuhnya.

 


Plastik dan Ekonomi Sirkular

Para ilmuwan berupaya menyisihkan mikroplastik lewat sejumlah penelitian dan pengembangan sarana-sarana inovatif. Misalnya, kata Emenda, memanfaatkan mikroorganisme seperti bakteri atau jamur yang bisa "mengunyah" mikroplastik sebagai sumber substrat atau karbon untuk pertumbuhannya.

Namun, upaya-upaya demikian dinilai masih terbatas. "Upaya penyisihan saja ternyata tidak cukup," tegas Emenda.

Upaya makro yang harus dilakukan dalam pengelolaan sampah, katanya, ialah meminimalisasi sampah terbuang dengan menerapkan paradigma ekonomi sirkular.

"Menitikberatkan sampah limbah produk samping dan cacat produksi, yang dihasilkan oleh konsumsi produk, dikembalikan ke proses produksi dan menghasilakn produk sejenis atau produk baru," katanya.

Masyarakat harus meningkatkan kesadaran untuk memilah sampah agar bisa didaurulang. Pemerintah harus meningkatkan dan mengiplementasikan kebijakan dan pendanaan secara serius terkait penanganan sampah. Sementara industri selaku pihak produsen pun mesti urun andil dalam mengurangi sampah yang dihasilkannya.

"Ekonomi sirkular sudah tertuang pada UU Pengelolaan Sampah dan produk turunannya. Produsen berkewajiban mengurangi sampah sampai 30 persen berdasarkan jumlah timbulan," katanya.

Lewat paradigma ekonomi sirkular, akumulasi plastik yang saat ini tercecer di lingkungan mesti dianggap sebagai sumber material.

"Sehingga kita bisa berpikir dan mencari terobosan untuk bisa memanfaatkan sumber material itu untuk kesejahteraan manusia dan konservasi lingkungan," kata Emenda.

Emenda beranggapan, plastik masih akan digunakan pada masa yang akan datang, tetapi masyarakat dan negara harus bisa mengendalikan penggunakan plastik sekaligus berinovasi mencari alternatif yang lebih ramah lingkungan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya