Jokowi Teken UU KIA, KemenPPPA Segera Susun Peraturan Turunannya

KemenPPPA akan segera menyusun peraturan turunan UU KIA berkolaborasi dengan kementerian/lembaga lain.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 06 Jul 2024, 11:45 WIB
Jokowi Teken UU KIA, KemenPPPA Segera Susun Peraturan Turunannya. (Dok Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI).

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA).

UU ini diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 2024, setelah sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui disahkannya RUU KIA pada 4 Juni 2024.

Menanggapi hal ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyambut baik disahkannya UU KIA. Selanjutnya, KemenPPPA sebagai leading sector akan segera menyusun peraturan turunan berkolaborasi dengan kementerian/lembaga lain.

“Diundangkannya RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan menjadi komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak bagi para ibu dan anak-anak Indonesia,” kata Bintang dalam keterangan resmi yang dipublikasi pada Jumat, 5 Juli 2024.

“Sebagai bentuk komitmen dalam mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak, pemerintah akan segera menyusun peraturan turunan yang terdiri dari tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan satu Peraturan Presiden,” jelas Bintang.

Dia menambahkan, KemenPPPA sebagai kementerian yang mengampu isu perempuan dan anak berupaya mendorong sinergi multi pihak mulai dari level pemerintahan, dunia usaha, organisasi, hingga masyarakat. Baik perempuan maupun laki-laki, untuk sama-sama berkontribusi dalam pengasuhan dan mewujudkan generasi emas 2045.


Tingkatkan Kesejahteraan Ibu

Bintang menyampaikan, kondisi ibu saat mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, mendidik maupun saat mengangkat anak merupakan hal yang tidak bisa dijalani sendiri. Ibu membutuhkan perhatian dari berbagai pihak.

“Melalui undang-undang ini diharapkan kesejahteraan ibu dan anak meliputi faktor fisik, psikis, sosial, ekonomi dan spiritual dapat diupayakan.”

Bintang pun menyampaikan komitmen pemerintah untuk dapat mengimplementasikan UU KIA Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan dengan melaksanakan dialog bersama organisasi masyarakat di antaranya Serikat Buruh Perempuan.


Atur Hak Ibu, Anak, dan Kewajiban Ayah

Aspirasi dari pekerja perempuan sangat diperlukan untuk menyusun peraturan turunan yang tidak hanya berpihak pada perempuan, tapi juga memastikan hak-hak para ibu pekerja bisa diterapkan di lingkungan kerja, keluarga dan masyarakat.

“Secara substansial UU ini telah menjamin hak-hak anak pada fase seribu hari pertama kehidupan, sekaligus menetapkan kewajiban ayah, ibu dan keluarga.”

Sementara itu, ibu juga memerlukan ruang agar tetap berdaya selama anak dalam fase seribu hari pertama kehidupan. Karenanya suami wajib memberikan kesehatan, gizi, dukungan pemberian air susu ibu dan memastikan istri dan anak mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi.

Meringankan beban ibu dan terciptanya lingkungan yang ramah ibu dan anak, baik di keluarga, di tempat kerja maupun di ruang publik, merupakan prasyarat penting kesejahteraan ibu dan anak.

“Karena pada hakikatnya kesejahteraan ibu dan anak merupakan tanggung jawab bersama,” ucap Bintang.


Atur Soal Cuti 6 Bulan

Salah satu isi UU KIA yang banyak disorot yakni mengatur tentang cuti melahirkan selama 6 bulan bagi perempuan pekerja.

Ketua Panja Pemerintah dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) KIA, Lenny N Rosalin menegaskan bahwa cuti melahirkan 6 bulan disebutkan rinci dalam Pasal 4 ayat 3 RUU KIA. Cuti melahirkan 6 bulan diberikan dengan ketentuan khusus.

“Cuti melahirkan paling singkat tiga bulan pertama. Ini yang utama bahwa setiap pekerja perempuan yang melahirkan berhak mendapatkan cuti 3 bulan, karena kondisi sebenarnya masih ada perusahaan yang belum memberikan hak ini,” kata Lenny dalam keterangan lain.

“Rincian yang kedua, cuti tambahan diberikan paling lama tiga bulan berikutnya dengan catatan yaitu jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter,” tambahnya.

Kondisi khusus sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (3) meliputi ibu yang mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, komplikasi pasca persalinan, dan keguguran.

Kondisi khusus juga termasuk jika anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan gangguan kesehatan atau komplikasi.

“Jadi cuti tambahan atau khusus bisa diberikan bukan hanya apabila ada kondisi khusus pada ibu, tapi juga jika anak yang dilahirkan mengalami masalah atau gangguan kesehatan,” terang Lenny.

Infografis peranan penting orang tua dalam pengasuhan anak (parenting) Source: Kementerian Sosial Reublik Indonesia

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya