Buntut Panjang Penutupan Tempat Ibadah Ahmadiyah di Garut

Kalau sudah dijual mana buktinya, sebelumnya memang sudah kedua kalinya diperbaharui, ternyata bukan untuk rumah namun tetap untuk tempat peribadatan

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 07 Jul 2024, 05:00 WIB
Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) Garut yang terdiri dari Polres, Kejaksaan, MUI, FKUB, Bakesbangpol, saat memberikan penjelasan mengenai penyegalan masjid Ahmadiyah. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut - Penyegelan masjid Ahmadiyah yang dilakukan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Garut, Jawa Barat, di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Garut, berbuntut panjang.

Pemerintah Daerah (Pemda) Garut melalui Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) Garut yang terdiri dari Polres, Kejaksaan, MUI, FKUB, Bakesbangpol, menyatakan penyegelan itu sesuai aturan untuk menghindari konflik horizontal antar warga.

“Tidak ada dukungan masyarakat, pada 2021 juga sempat dilakukan upaya yang sama (penyegelan), karena berpotensi mengganggu ketentraman dan ketertiban umum,” ujar Kepala Satpol PP Garut Usep Basuki Eko, kepada wartawan di Kantor Bakesbangpol Garut, Jumat (5/7/2024) petang.

Menurutnya, penyegelan masjid Ahmadiyah sudah sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP),  sebab keberadaan sarana ibadah jemaah Ahmadiyah itu, berpotensi mengganggu ketertiban masyarakat.

“Memang sempat berhenti, tapi kemarin-kemarin sebelum ada penyegelan sudah kembali digunakan, alasannya tempat sudah dijualbelikan dengan tujuan kepemilikan rumah,” papar dia.

Namun setelah ditelusuri, pengakuan dan klaim itu hingga kini belum disertai bukti kepemilikan yang sah, termasuk perubahan kepemilikan bangunan yang bukan ditujukan untuk sarana peribadahan.

“Kalau sudah dijual mana buktinya, sebelumnya memang sudah kedua kalinya diperbaharui, ternyata bukan untuk rumah namun tetap untuk tempat peribadatan,” kata dia.

Saat ini pemda Garut tengah menelusuri kepemilikan asli mengenai bangunan masjid Ahmadiyah itu, sebagai dasar mereka untuk melakukan tindakan selanjutnya.

“Kalau ternyata sudah jelas bangunan itu bukan untuk tempat ibadah, bisa saya itu bangunan dirobohkan apalagi ini menimbulkan kegaduhan,” kata dia.

Ketua MUI Garut KH Sirojul Munir menyatakan persoalan ahmadiyah memang bukan persoalan biasa, namun sudah termasuk ranah global dengan upaya penyelesaian yang tidak mudah.

“Masalah Ahmadiyah ini adalah masalah dunia, di negara manapun di dunia jika ada kelompok jemaah Ahmadiyah, di negara itu pasti ramai (konflik), tidak ada negara yang sukses dalam menangani Ahmadi (sebutan jemaah ahmadiyah),” kata dia.

Menurutnya, penyelesaian ahmadiyah harus melibatkan semua pihak, dengan pola pembinaan berkelanjutan untuk menyadarkan keyakinan beragama yang benar sesuai dengan tuntunan agama.

“Kami dari MUI sering melakukan pembinaan terhadap mereka, tapi mereka sering melakukan penolakan, selama saya menjadi ketua MUI dua periode, hanya ada yang 5 keluarga yang insaf,” ujar dia.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Mengutuk Keras Penyegelan

Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) Garut yang terdiri dari Polres, Kejaksaan, MUI, FKUB, Bakesbangpol, saat memberikan penjelasan mengenai penyegalan masjid Ahmadiyah. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Untuk menghindari konflik serupa di kemudian hari, Ceng Munir panggilan akrabnya ketua MUI Garut, berharap pemimpin Ahmadiyah dunia menyatakan lebih fair menyatakan jika mereka bukan bagian dari agama Islam.

“Jemaah Ahmadi bukan Islam, Ahmadi ini jika ditelusuri sudah masuk penistaan agama Islam, harusnya ditindak secara hukum, tetapi ini kan bukan kewenangan Pemda Garut,” ujar dia menegaskan.

Koordinator Solidaritas Jaringan Antarumat Beragama (SAJAJAR) Usama Ahmad Rizal mengutuk dan menolak keras penyegelan masjid ahmadiyah di Kecamatan Cilawu itu, karena bertentangan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri 2008.

“Dalam SKB 3 menteri itu isinya tidak ada larangan pembangunan masjid dan pelarangan kegiatan Ahmadiyah,” kata dia.

Menurutnya, keberadaan jemaah ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Garut sudah ada sejak tahun 1970-an dan hidup berdampingan secara damai dengan warga lainnya.

“Penutupan tersebut juga tidak disertai pemberitahuan, surat tugas penyegelan, dan dilakukan pada malam hari,” ujar dia.

Dengan upaya itu, dia menilai Pemda Garut melalui Satpol PP telah melakukan tindakan diskriminatif dan inkonstitusional, di tengah usaha pemerintah pusat melawan intoleransi dan radikalisasi beragama melalui sikap moderasi beragama.

“Kondisi ini sungguh telah mencederai nilai-nilai toleransi, dan menandakan, bahwa negara masih menjadi penghalang atas kebebasan beragama,” kata dia.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya