Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa hari terakhir, pemberhentian Dekan FK Unair oleh Rektor menjadi topik hangat dan memancing banyak komentar. Ada tiga hal yang ingin saya sampaikan terkait hal ini.
Pertama, saya telah beberapa kali berkomunikasi dengan Prof. Budi Santoso, Dekan FK Unair yang diberhentikan mendadak. Saya memiliki tiga kesan terhadap beliau:
Advertisement
- Prestasi dan Kepemimpinan: Prof. Budi Santoso adalah seorang yang amat mumpuni dan berprestasi dalam tugasnya sebagai Dekan FK Unair dan sebagai Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI).
- Analisis dan Pemahaman: Beliau mampu menyajikan analisis yang mendalam, tajam, dan komprehensif terhadap masalah yang dihadapi dunia kedokteran Indonesia saat ini.
- Pribadi yang Santun: Prof. Budi Santoso adalah pribadi yang santun.
Ketiga hal ini memberi gambaran bahwa pemberhentian tiba-tiba Prof. Budi Santoso sebagai dekan tidak patut terjadi.
Kedua, sebagai insan akademik, saya sangat mendukung prinsip kebebasan mimbar akademik. Sejak menjadi mahasiswa dan pimpinan Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) di akhir 1970-an hingga sekarang menjadi Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, saya selalu menjunjung tinggi prinsip ini.
Saya sangat sejalan dan mengapresiasi pernyataan Kemendikbudristek terkait pencopotan Dekan FK Unair, yang saya baca dari media massa. Dalam pernyataan tersebut, Kemendikbudristek telah berkomunikasi dengan Rektor Unair untuk mengingatkan kewajiban menjunjung tinggi kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik civitas akademika Unair.
Aspek kebebasan mimbar akademik ini juga menunjukkan bahwa Prof Bus tidak selayaknya diberhentikan berdasar apa yang disampaikannya.
Poin Berikutnya tentang Dekan FK Unair Dipecat
Ketiga, walaupun tidak ada penjelasan resmi tentang sebab pasti diberhentikannya Prof Budi Santoso, maka banyak pihak yang menghubungkannya dengan pernyataan Prof Bus tentang dokter asing.
Khusus tentang dokter asing ini, sudah banyak pendapat yang diberikan. Kalau diambil ilustrasi bahwa ada sejumlah Puskesmas di negara kita tidak ada dokternya, maka apakah dokter asing akan didatangkan untuk mengisi puskesmas-puskesmas itu? Dengan sarana dan prasana yang ada serta perlakuan yang sama yang seperti diberikan ke dokter puskesmas WNI?
Hal yang sama juga berlaku untuk ketersediaan dokter spesialis, apakah dokter asing akan ditempatkan di daerah-daerah yang belum ada dokter spesialisnya di berbagai daerah dan si dokter asing akan berhadapan dengan sarana dan prasana yang ada serta perlakuan yang sama yang seperti diberikan ke dokter spesialis WNI?
Belum lagi tentang kemampuan bahasa Indonesia dokter asing itu, dan lain-lain.
Advertisement
Terkait Dokter Asing
Kalau disebutkan ini bagian dari 'transfer of knowledge', sudah sejak puluhan tahun yang lalu selalu berbagai Fakultas Kedokteran kita bekerjasama dengan Universitas luar negeri. Ada dokter luar negeri yang memberi ceramah, kuliah dan pelatihan ke dokter dan mahasiswa kita, dan ada juga dokter kita yang diminta memberi ceramah, kuliah dan memberi pelatihan di luar negeri.
Kalau disebutkan bahwa ada kebutuhan kemampuan dokter spesialis di luar Jawa, misalnya, sehingga perlu mendatangkan dokter yang membedah dari luar negeri, tentu ada berbagai pilihan jalan keluar, baik dengan mendatangkan saja dokter dari daerah lain di Indonesia untuk melakukan pembedahan itu, atau melatih dokter setempat oleh dokter-dokter lain didalam negeri, atau berbagai pendekatan lainnya.
Semoga Prof Budi Santoso mendapat perlakuan yang adil, baik dan memberi manfaat maksimal dalam kinerja dan karya Prof Bus bagi kesehatan anak negeri kita.
Prof Tjandra Yoga Aditama, seorang warga akademik di Indonesia