Industri Tekstil Pakistan Alami Kemerosotan, Kebijakan Pemerintah Jadi Sorotan

Sektor penting bagi ekonomi Pakistan ini telah dirusak oleh krisis likuiditas, kekurangan energi, dan pajak yang lebih tinggi pada manufaktur.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 07 Jul 2024, 12:57 WIB
Ilustrasi benang tekstil. (Unsplash/Héctor J. Rivas)

Liputan6.com, Islamabad - Sektor tekstil Pakistan yang menjadi sumber devisa negara sedang mengalami kemerosotan, kata pihak industri tersebut, yang menyalahkan kebijakan dan keputusan pemerintah Islamabad.

Industri tekstil yang mendukung penciptaan lapangan kerja yang signifikan dan mendukung ekonomi nasional sedang dalam kesulitan karena penurunan ekspor dalam beberapa tahun terakhir.

Sektor penting bagi ekonomi Pakistan ini telah dirusak oleh krisis likuiditas, kekurangan energi, dan pajak yang lebih tinggi pada manufaktur.

Asosiasi Pabrik Tekstil Seluruh Pakistan (APTMA) telah menentang kenaikan pajak terbaru dengan mengatakan bahwa hal itu akan menjadi "sangat regresif" yang dapat menyebabkan runtuhnya sektor dan ekspornya.

"Anggaran tersebut didasarkan pada kebijakan pajak yang sangat regresif," katanya, dikutip dari laman islamkhabar, Sabtu (6/7/2024).

Mencari langkah-langkah untuk menghindari runtuhnya sektor tekstil, APTMA mengatakan "Kegagalan untuk melakukannya akan memiliki implikasi yang sangat buruk tidak hanya bagi industri tekstil tetapi juga bagi seluruh ekonomi dan masyarakat Pakistan."

Sektor tekstil Pakistan telah menghadapi beberapa masalah pada tingkat produksi dan ekspor.

Ekspor tekstil turun 15 persen pada tahun 2022-23, yang menyebabkan kerugian sebesar USD 2,8 miliar. Situasinya tampaknya tidak membaik, karena ekspor turun 5 persen pada paruh pertama tahun 2023-24.

Awal tahun 2024 juga tidak menjanjikan. Ekspor pada bulan Februari turun 3,31 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Krisis likuiditas berdampak negatif pada sektor tekstil, yang mengakibatkan penurunan ekspor. APTMA mengatakan, pajak berlebih akan menghilangkan insentif yang diterima tekstil untuk kegiatan berorientasi ekspor serta menguras semua likuiditas dari industri bermargin rendah dan bervolume tinggi. Krisis likuiditas telah menyebabkan pabrik menunda pembayaran kepada karyawan dan petani kapas.


Kekurangan Energi dan Tarif Tinggi

Ilustrasi fast fashion. (Foto: Unsplash/Becca McHaffie)

Kekurangan energi dan tarif tinggi merupakan kekhawatiran utama yang disuarakan oleh industri tekstil di Pakistan. Industri tersebut telah menuntut penurunan tarif listrik untuk menghindari penutupan pabrik dan kehilangan pekerjaan.

Tarif listrik mengalami peningkatan hingga 115 persen dalam enam bulan terakhir. APTMA mengatakan, biaya listrik yang lebih tinggi telah menyebabkan penutupan 50 pabrik pemintalan, 10 pabrik pengolahan, dan ratusan unit penenunan.

Bencana ekonomi sudah di depan mata jika biaya listrik tidak diturunkan, kata Shahid Sattar, sekretaris jenderal APTMA.

"Jika tidak diatasi, kenaikan biaya energi yang terus berlanjut tidak hanya akan memperparah krisis di sektor-sektor utama seperti tekstil, tetapi juga membahayakan stabilitas ekonomi Pakistan secara lebih luas," katanya.

"Jika biaya input meningkat melampaui ambang batas yang mendorong total biaya produksi di atas harga internasional, sektor tersebut tidak dapat bersaing di pasar internasional dan keluar dari bisnis."

Pendapatan sektor tekstil di Pakistan menurun sebesar 24 persen pada tahun 2022-2023 karena biaya pembiayaan yang lebih tinggi, kapas yang mahal, dan meningkatnya tarif energi.

Karena produksi yang lebih rendah, harga kapas di Pakistan telah melonjak, yang berdampak negatif pada industri tekstil. Harga kapas naik sebesar 27 persen awal tahun ini. Kondisi cuaca yang buruk, banjir yang disebabkan oleh hujan lebat, dan penurunan produksi yang diakibatkannya merupakan alasan utama kenaikan harga kapas.

Para ahli dan pengusaha yang terkait dengan bisnis tekstil di Pakistan menyalahkan pemerintah Islamabad atas kelalaian dan sikap apatisnya terhadap kondisi kritis sektor tersebut.


Upaya Mencari Solusi

Komunitas baju Nairobi gunakan limbah pakaian bekas untuk inspirasi bajunya untuk dijual di pasar Gikomba Afrika Timur. (Ilustrasi: Pixabay/Alan Frijns).

Pakar energi Dr Shahbaz Khan mengatakan bahwa mencari solusi dari birokrasi adalah "kekeliruan besar", yang menurutnya tidak memiliki pengetahuan mendalam dan membutuhkan pengalaman kepemimpinan perusahaan.

"Kelalaian selama puluhan tahun yang disertai dengan kenaikan harga gas alam dan listrik secara eksponensial selama 18 bulan terakhir tampaknya akhirnya membuat industri ini berada dalam kesulitan," katanya.

Ketidakmampuan industri tekstil Pakistan untuk beradaptasi dengan transisi global dari serat alami ke serat buatan telah memperburuk keadaan, kata analis ekonomi Muhammad Sheroz Khan Lodhi.

Ia menyalahkan pemerintah karena gagal membimbing industri menuju model tekstil berkelanjutan yang berpusat pada inovasi.

“Jelas terlihat bahwa industri tekstil, salah satu andalan ekonomi Pakistan, terjerat dalam kelalaian dan sikap apatis dari pihak berwenang yang seharusnya menjadi sekutu terkuatnya,” kata Lodhi.

Infografis Beli Gas Subsidi LPG 3 Kg Wajib Pakai KTP Mulai 1 Januari 2024 (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya