Liputan6.com, Jakarta - Pada bulan Muharram ini, umat Islam dianjurkan untuk berpuasa, khususnya pada 10 hari pertama. Puasa Muharram termasuk salah satu puasa utama setelah puasa Ramadan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.
Namun, terdapat hari-hari utama yang disunnahkan untuk berpuasa yakni hari Tasu’a (tanggal 9 Muharram) dan hari Asyura (tanggal 10 Muharram).
Berpuasa di bulan Muharram memiliki keutamaan luar biasa di antaranya adalah dapat menghapus dosa satu tahun lalu. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW:
"Sangat disunnahkan puasa hari Asyura karena Nabi Muhammad saw berkata, 'Saya menganggap Allah akan menghapus dosa satu tahun yang lalu sebelum Asyura tahun ini'."
Baca Juga
Advertisement
Namun, terkadang ketika seseorang sedang berpuasa sunnah kemudian mendapatkan suguhan atau tawaran makanan dan minuman dari orang lain yang tidak mengetahui bahwa ia sedang berpuasa.
Keadaan tersebut membuatnya dilema, apakah membatalkan puasa atau tetap melanjutkannya? Bagaimana sebaiknya sikap yang perlu ditunjukkan saat berada dalam kondisi demikian?
Saksikan Video Pilihan ini:
Sikap Bijak ketika Ditawari Makanan saat Berpuasa
Mengutip dari laman NU Online, dalam menghadapi keadaan demikian, apabila ada kekhawatiran menyinggung perasaan orang lain yang memberikan makanan, maka lebih utama membatalkan puasa dengan menyantap hidangan yang disediakan. Dengan begitu, ia mendapatkan pahala yang dilakukannya.
Namun apabila tidak ada kekhawatiran menyinggung perasaan orang yang memberi makanan maka lebih baik tetap melanjutkan puasa dan mengatakan secara halus bahwa ia sedang berpuasa. Syekh Zainuddin Al Malibari menjelaskan dalam kitab Fathul Mu’in.
disunnahkan membatalkan puasa dengan makan ketika berpuasa sunnah meskipun puasa yang sangat dianjurkan karena untuk melegakan hati orang yang memberi makan, hal tersebut dilakukan ketika sulit untuk menahan meskipun sudah dipenghujung hari karena ada perintah untuk membatalkan puasa dan ia mendapatkan pahala yang ia lakukan, dan sunnah mengqodhoi di hari lain. Apabila ia tidak merasa sulit menahan maka tidak disunnah membatalkan puasa dan hal itu lebih utama. Imam Ghozali berkata, saat membatalkan puasa disunnahkan niat membahagiakan hati orang lain.
Hal ini hanya berlaku untuk puasa sedangkan puasa wajib baik Ramadan, qadha’ atau nadzar maka wajib melanjutkan puasanya.
Sebenarnya dalam puasa sunnah syarat dan rukunnya sama dengan puasa fardhu (wajib), tetapi untuk puasa sunnah, ada kelonggaran dibandingkan dengan puasa wajib seperti tidak diwajibkan niat di malam hari. Hal ini dijelaskan Syekk Ibrahim Al-Bajuri :
وأما إن كان نفلا فلا يشترط فيه التبييت بل تصح نيته قبل الزوال إن لم يسبقها مناف للصوم على المعتمد.
Artinya: "Apabila puasa tersebut sunnah maka tidak disyaratkan untuk niat di malam hari bahkan niat puasa tetap sah ketika dilakukan sebelum bergesernya matahari atau waktu istiwa dengan syarat belum melakukan perkara yang membatalkan puasa. (Hasyiyah Ibrahim Al-Bajuri. Juz 2. Hal 408. Darul Minhaj).
Advertisement