Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini, pernyataan Kepala BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), dokter Hasto Wardoyo, viral di media sosial.
"Saya berharap adik-adik perempuan nanti punya anak rata-rata satu perempuan. Kalau di desa ada 1.000 perempuan maka harus ada 1.000 bayi perempuan lahir. Hal itu diperlukan agar suatu desa tidak zero growth bahkan minus growth, lama-lama habis orangnya," kata dokter Hasto saat menyambangi Universitas Negeri Semarang (UNNES), Rabu, 26 Juni 2024.
Advertisement
Pernyataan ini memicu berbagai komentar dari netizen. Banyak yang mengira bahwa memiliki satu anak perempuan adalah aturan yang wajib dilaksanakan.
Menanggapi isu viral tersebut, dokter Hasto menjelaskan bahwa tujuan dari satu perempuan melahirkan rata-rata satu anak perempuan adalah agar pertumbuhan penduduk seimbang (PTS) tetap terjaga.
"Rata-rata perempuan punyak anak sudah tidak dua kalau di daerah tertentu seperti Bali, DKI, DI Yogyakarta (karena TFR sudah di bawah 2,1). Sebetulnya, rata-rata perempuan punya dua anak itu penting," kata Hasto di Yogyakarta pada Sabtu, 6 Juli 2024.
Dokter Hasto menegaskan bahwa yang dimaksud adalah 'rata-rata' satu anak perempuan, bukan mewajibkan setiap perempuan melahirkan satu anak perempuan. "Kalau depan rumah punya anak perempuannya dua, belakang rumah nggak punya anak perempuan no problem. Jangan dipelintir ya, tapi rata-rata," tambahnya.
Upaya Jaga Pertumbuhan Penduduk Tetap Seimbang
Menurut Dokter Hasto, mengupayakan jumlah perempuan seimbang adalah salah satu cara menjaga pertumbuhan penduduk seimbang.
"Di kampung ada perempuan 10. Mestinya besok pada generasi berikutnya minimal juga ada perempuan 10. Tapi, rata-rata kan ini. Karena tugas kita menjaga agar pertumbuhan penduduk seimbang."
Ia juga mengungkap ancaman minus growth di beberapa kota dengan TFR di bawah 2,1.
"Yogya rata-rata melahirkannya sudah di bawah 2. Yogya ini sudah 1,9. Makanya hati-hati daerah-daerah tertentu seperti DKI, Bali, DIY bisa mengalami minus growth," ujarnya.
Hal ini disebabkan rata-rata pendidikan di DI Yogyakarta tinggi, kemudian rata-rata nikah perempuan di DI Yogyakarta sudah di atas 22 tahun. Namun, dia juga terus mengingatkan agar perempuan juga tidak terlalu tua saat melahirkan.
"Perempuan itu usia suburnya setelah umur 35 sudah decline, turun. Telur perempuan kalau sudah 38 tahun itu sudah tinggal 10 persen, ya hati-hati," katanya.
Advertisement
Penurunan Angka Pernikahan dari Tahun ke Tahun
Sebelumnya, pernyataan soal satu pasangan satu anak perempuan disampaikan menyusul adanya penurunan angka pernikahan di Indonesia dari tahun ke tahun.
"Dulu pernikahan setahun 2 juta lebih, sekarang meskipun jumlah usia nikahnya masih cukup besar, tapi hanya sekitar 1,5 sampai 1,7 juta," kata Hasto.
"Di Jawa Tengah sendiri, Angka Kelahiran Total senilai 2,04. Secara nasional saya memiliki tanggung jawab agar penduduk tumbuh seimbang," tambahnya.
Guna menyeimbangkan angka kelahiran itu, Hasto kemudian menyampaikan pernyataan soal satu pasangan diharapkan melahirkan satu anak perempuan.
Akibat Pergeseran Persepsi tentang Nikah
Hasto memaparkan bahwa tujuan pernikahan di Indonesia mayoritas untuk prokreasi, yang artinya untuk mendapatkan keturunan.
"Ada juga yang rekreasi, supaya hubungan suami-istri sah, ada yang 'security' yaitu supaya bisa mendapatkan perlindungan," katanya.
Dia mengatakan bahwa terdapat atau terjadi perubahan persepsi tentang pernikahan saat ini, ketika pernikahan dianggap sebagai tradisi atau budaya yang tidak mesti perlu dilakukan.
Ada beberapa penelitian menemukan bahwa keinginan menikah mengalami penurunan sehingga Total Fertility Rate (TFR) ada di angka 2,18.
Dokter Hasto mengimbau para remaja agar jangan menikah terlalu muda, dengan memaparkan berbagai potensi masalah yang dapat terjadi pada kehamilan usia dini.
Lebih lanjut, dia juga memberikan penyuluhan mengenai organ reproduksi dan proses perkembangan bayi sejak 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). "Siap nikah itu memiliki makna yang dalam, artinya menyiapkan kehamilan," katanya.
Advertisement