Liputan6.com, Jakarta Polemik impor beras menuai sorotan usai direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi disebut dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Adapun yang bersangkutan dilaporkan atas dugaan penggelembungan harga (mark up) impor beras, dan tertahannya beras impor di Tanjung Priok atau demurrage.
Advertisement
Terkait hal ini, Anggota Komisi IV DPR Fraksi Partai Demokrat Suhardi Duka mengatakan, jika memang diperlukan panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki itu maka harus didukung.
"Pansus setuju kalau memang kuat dugaan mark up," kata Suhardi kepada awak media di Jakarta, Selasa (9/7/2024).
Senada dengan itu, Anggota Komisi IV DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Andi Akmal Pasluddin juga mengatakan hal yang sama terkait usulan pembentukan Pansus tersebut.
"Sangat mendukung usulan (Pansus skandal mark up impor beras) tersebut," jelas dia saat dikonfirmasi terpisah.
Menurut dia, apabila dugaan itu terbukti maka akan menyakiti hati rakyat. "Karena apabila benar sangat melukai hati petani dan rakyat Indonesia," katanya.
Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi buka suara setelah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Laporan itu disampaikan ke KPK atas dugaan penggelembungan harga (mark up) impor beras, dan tertahannya beras impor di Tanjung Priok atau demurrage.
Menurut dia, demurrage bukan isu baru yang kerap disematkan kepada Bulog. Dalam kondisi tertentu, kata Bayu, keterlambatan bongkar muat adalah hal yang tidak bisa dihindarkan sebagai bagian dari risiko handling impor beras.
Jadi misalnya dijadwalkan 5 hari, menjadi 7 hari. Mungkin karena hujan, arus pelabuhan penuh, buruhnya tidak ada karena hari libur, dan sebqgainya. Dalam mitigasi risiko importasi, demurrage itu biaya yang sudah harus diperhitungkan dalam kegiatan ekspor impor," jelasnya dalam keterangan tertulis, Kamis (4/7/2024).
Bos Bulog Kasih Penjelasan
"Adanya biaya demurrage menjadi bagian konsekuensi logis dari kegiatan eskpor impor. Kami selalu berusaha meminimumkan biaya demurrage dan itu sepenuhnya menjadi bagian dari biaya yang masuk dalam perhitungan pembiayaan perusahaan pengimpor atau pengekspor," tegas Bayu.
Saat ini, Bulog masih memperhitungkan total biaya demurrage yang harus dibayarkan, termasuk dengan melakukan negosiasi ke pihak Pelindo, pertanggungan pihak asuransi serta pihak jalur pengiriman.
"Perkiraan demurrage yang akan dibayarkan dibandingkan dengan nilai produk yang diimpor tidak lebih dari 3 persen," imbuh Bayu Krisnamurthi.
Terkait isu mark up impor beras berkenaan dengan penawaran dari perusahaan Vietnam bernama Tan Long Group, ternyata entitas yang bersangkutan pernah mendaftarkan dirinya menjadi salah satu mitra dari Perum Bulog pada kegiatan impor, namun tidak pernah memberikan penawaran harga ke Bulog.
"Perusahaan Tan Long Vietnam yang diberitakan memberikan penawaran beras, sebenarnya tidak pernah mengajukan penawaran harga sejak bidding tahun 2024 dibuka. Jadi tidak memiliki keterikatan kontrak impor dengan kami pada tahun ini," kata Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Mokhamad Suyamto.
Saat ini, Bulog mendapatkan penugasan untuk mengimpor beras dari Kementerian Perdagangan (Kemendagri) sebesar 3,6 juta ton pada 2024. Pada periode Januari-Mei 2024, jumlah impor sudah mencapai 2,2 juta ton.
Advertisement
Alasan Indonesia Harus Impor Beras
Indonesia, sebagai negara agraris, memiliki sejarah panjang dalam produksi dan konsumsi beras. Namun, meskipun memiliki potensi besar dalam pertanian, Indonesia masih harus mengimpor beras dari negara lain. Hal ini sering menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat: mengapa negara yang dahulu pernah berhasil melakukan swasembada beras harus melakukan impor saat ini?
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras di Indonesia mengalami fluktuasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti krisis iklim, makin berkurangnya lahan pertanian dan kondisi tanah serta akses pengairan. Produksi padi pada periode Januari-April 2024 turun 17,54% dibandingkan periode yang sama tahun lalu saat mencapai 22,55 juta ton.
Bustanul Arifin selaku Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) berpendapat adanya perubahan iklim, berkurangnya lahan pertanian dan penurunan faktor produksi lainnya seringkali menghambat pencapaian target produksi. Oleh karena itu dibutuhkan sumber penyediaan lain sebagai solusi untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan beras di pasar.
Tingkat konsumsi beras per kapita di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan dengan negara lain. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat menyebabkan permintaan beras terus meningkat. Untuk mengatasi kesenjangan antara produksi dan konsumsi tersebut, impor beras diperlukan agar tidak terjadi kelangkaan yang dapat memicu kenaikan harga secara drastis.
Bayu Krishanmurti, Direktur Utama Perum Bulog, mengatakan impor beras dilakukan secara bertahap, tetap mengutamakan penyerapan gabah dan beras dalam negeri serta memperhatikan neraca perberasan nasional yang ada.
"Target kami tahun ini adalah menyerap sebesar 900 ribu ton beras melebihi target pemerintah,” ucapnya.