Mengatasi Perilaku Negatif Pada Anak Laki-Laki, Pengaruh Maskulinitas Beracun

Maskulinitas beracun, atau toxic masculinity, adalah konsep yang merujuk pada norma-norma dan ekspektasi sosial yang merugikan terkait dengan apa yang dianggap sebagai perilaku maskulin.

oleh Mochamad Rizal Ahba Ohorella diperbarui 08 Agu 2024, 13:40 WIB
Ilustrasi anak stres. Photo by Xavier Mouton Photographie on Unsplash

Liputan6.com, Jakarta Maskulinitas beracun, atau toxic masculinity, adalah konsep yang merujuk pada norma-norma dan ekspektasi sosial yang merugikan terkait dengan apa yang dianggap sebagai perilaku maskulin. Ketika anak laki-laki tumbuh dalam lingkungan yang mempromosikan maskulinitas beracun, mereka bisa mengembangkan perilaku negatif yang berdampak pada kesehatan emosional dan hubungan interpersonal mereka. Misalnya, penekanan pada kekuatan fisik, pengekangan emosi, dan kebutuhan untuk selalu dominan dapat mengarahkan anak laki-laki untuk menunjukkan perilaku agresif, mengabaikan empati, dan berjuang dengan komunikasi yang sehat.

Mengatasi perilaku negatif yang muncul akibat maskulinitas beracun memerlukan pendekatan yang holistik dan sadar. Orang tua, pendidik, dan masyarakat perlu memahami dampak dari norma-norma beracun ini dan bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan emosional yang sehat bagi anak laki-laki.

Pendekatan ini melibatkan pengenalan dan pengajaran tentang pentingnya mengekspresikan emosi dengan cara yang sehat, mengedepankan empati dan kolaborasi, serta merangkul peran gender yang lebih inklusif dan fleksibel. Artikel ini akan membahas strategi dan langkah-langkah praktis untuk mengatasi perilaku negatif yang mungkin timbul akibat maskulinitas beracun pada anak laki-laki.

Dengan memahami dan menerapkan metode yang tepat, diharapkan dapat membantu anak laki-laki tumbuh menjadi individu yang lebih sehat secara emosional dan memiliki keterampilan interpersonal yang positif. Langkah-langkah ini bertujuan untuk membentuk generasi yang lebih empatik, terbuka, dan mampu berkontribusi pada hubungan yang lebih harmonis dan masyarakat yang lebih inklusif seperti yang dihimpun Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (8/8/2024).


1. Penahanan Emosi

Saat seorang anak laki-laki menangis, ia seringkali dianggap lemah. (Foto: Pexels/Pixabay)

Anak laki-laki yang terpapar pada norma maskulinitas yang beracun sering kali diajarkan untuk menekan atau menyembunyikan emosi mereka. Mereka mungkin merasa bahwa mengekspresikan kesedihan, ketakutan, atau kelemahan dianggap tidak maskulin. Akibatnya, mereka dapat mengalami kesulitan dalam mengelola emosi, mengarah pada masalah kesehatan mental seperti kecemasan atau depresi, dan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.


2. Agresi dan Kekerasan

Pandangan sempit tentang maskulinitas membuat anak laki-laki tidak dapat mengeksplorasi minatnya dengan bebas.

Tuntutan untuk selalu menunjukkan kekuatan fisik atau dominasi sering kali mendorong anak laki-laki untuk mengadopsi perilaku agresif. Mereka mungkin merasa bahwa kekerasan adalah cara yang sah untuk menyelesaikan konflik atau menunjukkan kekuatan mereka. Ini dapat menyebabkan masalah hubungan sosial, seperti konflik yang sering terjadi dengan teman sebaya, atau perilaku kekerasan di rumah dan sekolah.


3. Ketidakmampuan Berkolaborasi

Ilustrasi anak stres. Foto: Ade Nasihudin (4/9/2020).

Maskulinitas yang beracun sering kali mempromosikan independensi ekstrem dan kompetisi yang tidak sehat. Anak laki-laki mungkin belajar untuk meremehkan pentingnya kerja sama dan kolaborasi, yang dapat mengakibatkan kesulitan dalam bekerja dalam tim atau membangun hubungan yang sehat dengan orang lain. Ini juga dapat mempengaruhi kinerja mereka dalam lingkungan akademis atau profesional di masa depan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya