Liputan6.com, Jakarta Pada 27 Juni lalu, calon presiden petahana dari Partai Demokrat, Joe Biden, dan rivalnya dari Partai Republik Donald Trump bertemu dalam debat capres pertama di Atlanta, Georgia. Kubu Partai Demokrat berharap debat tersebut dapat menjadi "game changer" bagi Joe Biden yang job approval rating-nya hampir selalu di bawah 40%--setara dengan Presiden Jimmy Carter dan George H. W. Bush yang hanya menjabat selama satu periode.
Selain itu, dari April hingga menjelang debat, angka poling rata-rata Biden selalu di bawah Trump dengan selisih -0,1% hingga -2,2% secara nasional. Biden juga kalah cukup signifikan di empat swing states: Georgia, Arizona, Nevada dan North Carolina, namun kompetitif di tiga swing states penentu, yaitu Pennsylvania, Michigan dan Wisconsin. Untuk terpilih kembali di 2024, Biden hanya perlu memenangkan negara bagian kategori Blue States dan Democratic-leaningstates plus swing states Pennsylvania, Michigan dan Wisconsin.
Advertisement
Jalannya debat ternyata jauh di bawah perkiraan. Biden tampil sangat buruk. Selain suara serak yang sulit didengar, Biden tidak mampu menyampaikan kisah suksesnya di periode pertama. Dia juga gagal menyerang Trump yang berperan besar dalam membatalkan undang-undang aborsi Roe v. Wade. Menurut snap poll yang dilakukan CNN, hanya 33% responden yang mengatakan Trump menang dalam debat dan 67% sisanya mengatakan Biden kalah.
Penampilan Buruk di Debat Turunkan Elektabilitas Biden
Penampilan buruk Joe Biden tersebut langsung membuat elektabilitasnya anjlok. Dua hari sebelum debat, data FiveThirtyEight menunjukkan Biden sedikit unggul atas Trump +0.2% secara nasional dan +0,3% di Michigan dan Wisconsin, serta hanya kalah tipis -0,5% di Pennsylvania. Biden tertinggal cukup signifikan di empat swing state lainnya: -3,1% di Arizona, -3,2% di Nevada, -4,8% di Georgia dan -5,7% di North Carolina.
Pada hari Kamis (11/7) atau lebih dari dua minggu setelah debat, menurut data FiveThirtyEight selisih poling rata-rata antara Biden dan Trump anjlok menjadi -2,1% secara nasional dan masuk ke zona merah di Blue Wall yakni -1,5% di Wisconsin, -3,2% di Pennsylvania dan -0,5% di Michigan. Biden semakin terpuruk di swing states lainnya: -4,5% di Arizona, -5,0% di Nevada, -5,3% di Georgia dan -6,3% di North Carolina.
Dengan penurunan angka poling tersebut, menurut proyeksi FiveThirtyEight peluang Biden untuk memenangkan Pilpres AS juga turun dari 51% dengan 271 suara elektoral pada 25 Juni menjadi 49% dengan 266 suara elektoral hari ini. Untuk menang di pilpres AS, seorang capres harus meraih minimal 270 suara elektoral.
Seruan Agar Biden Mundur Menggema
Memburuknya elektabilitas Biden pasca debat capres membuat banyak pihak—media liberal, kolumnis pro-Biden, serta operator politik, dan politisi di kubu Partai Demokrat—menyerukan Biden mundur dari pencalonan.
“To Serve His Country, President Biden Should Leave the Race." Demikian Bunyi editorial media liberal terbesar The New York Times pada 28 Juli. Pada hari yang sama, kolumnis The Times, Thomas Friedman, juga menyerukan agar Biden mundur: "Joe Biden Is a Good Man and a Good President. He Must Bow Out of the Race."
Media liberal lain seperti The Chicago Tribune, The Atlanta Journal-Constitution dan The Boston Globe, serta pengamat atau kolumnis pro-Biden seperti Paul Krugman dari The New York Times, Joe Scarborough dari MSNBC, David Ignatiusdari The Washington Post, David Remnick dari The New Yorker, Mark Leibovich dari The Atlantic dan William Kristol dari The Bulwark juga meminta Biden menyerah.
Tidak ketinggalan, dua petinggi tim kampanye Obama-Biden pada tahun 2008 dan 2012, David Axelrod dan David Plouff, serta mantan penasihat senior Bill Clinton, James Carvilleme minta Biden untuk tidak melanjutkan kampanyenya.
Terakhir, selebriti Holywood yang kerap terlibat dalam penggalangan dana kampanye Partai Demokrat, George Clooney, mendesak Biden untuk mundur dari pencapresan.
Seruan agar Biden mundur dari pencalonan juga semakin santer di kalangan anggota Kongres Partai Demokrat. Hingga hari ini, 16 anggota DPR Partai Demokrat, yaitu Lloyd Doggett dari Texas, Raul Grijalva dari Arizona, Seth Moulton dari Massachusetts, Mike Quigley dari Illinois, Angie Craig dari Minnesota, Adam Smith dari Washington, Mikie Sherrilldari New Jersey, Pat Ryan dari New York, Earl Blumenauedari Oregon, Hillary Scholten dari Michigan, Brad Schneiderdari Illinois, Ed Case dari Hawaii, Greg Stanton dari Arizona, Jim Himes dari Connecticut, Scott Peters dari California dan Eric Sorensen dari Illiois. Selain itu, Senator Peter Welch dari Vermont menjadi senator Partai Demokrat yang meminta Biden mundur.
Kalangan Elit Partai Tetap Mendukung Biden
Di sisi lain, mantan Presiden Barack Obama menganggap penampilan buruk di debat sebagai hal yang biasa dan menekankan bahwa dalam pemilihan presiden tahun 2024 terdapat dua pilihan calon presiden yang sangat kontras: Biden yang sepanjang hidupnya berjuang untuk orang banyak dan Trump yang hanya peduli dengan dirinya sendiri.
Presiden AS ke-44 ini juga gagal dalam debat capres pertamamenjelang pemilihan presiden pada 6 November 2012. Poling Gallup pasca-debat menunjukkan bahwa Obama kalah dari Mitt Romney dengan perbandingan 20% vs. 70%, tetapi kemudian ia berhasil mengalahkan capres Partai Republik dengan perolehan suara elektoral yang signifikan: 332 vs. 206.
Seperti Obama, mantan Presiden Bill Clinton dalam akun X-nya mengatakan bahwa ia tidak mempedulikan opini pada pengamat politik mengenai rating debat. Menurut Clinton, fakta dan sejarah akan menjadi penentu sambil menyebutkan bahwa Biden telah menunjukkan kepemimpinan yang solid dan berhasil menciptakan stabilitas ekonomi pasca-pandemi, mencapai rekor angka lapangan kerja baru, membuat kemajuan dalam mengatasi krisis iklim dan menekan angka inflasi tetap rendah.
Tidak ketinggalan, para petinggi Partai Demokrat di Kongres AS, seperti pemimpin mayoritas Senat AS Chuck Schumer, pemimpin minoritas DPR AS Hakeem Jeffries dan mantan ketua DPR Nancy Pelosi, kompak mendukung Biden.
Tidak hanya itu, tokoh-tokoh anggota Partai Demokrat dari kalangan Kulit Hitam—salah satu faksi pendukung Biden yang paling loyal—seperti James E. Clyburn dari South Carolina, Frederica Wilson dari Florida, Maxine Waters dari California, dan Joyce Beatty dari Ohio, menyatakan 100% mendukung Biden.
Advertisement
Biden Mundur Dari Pencalonan Akan Munculkan Masalah Baru
Derasnya arus dukungan kalangan elit partai terhadap Biden membuatnya semakin bersikukuh untuk tetap maju dalam pilpres pada tanggal 3 November 2024. Biden bahkan menyerukan agar para pengkritiknya secara resmi mengajukan tantangan di Konvensi Nasional Partai Demokrat di Chicago pada 19-22 Agustus mendatang.
Namun, perlawanan di konvensi akan sulit melengserkan Biden yang telah mendapatkan 3.894 pledge delegates, jauh di atas angka minimal 2.258. Embel-embel "pledge" yang berarti “sumpah” memastikan bahwa delegate yang telah diraih oleh Biden di primary tidak akan mengalihkan dukungan di Konvensi, kecuali jika Biden sendiri meminta mereka untuk mengalihkan dukungan.
Bahkan jika Biden memutuskan untuk mundur dari pencalonan, jalan bagi Partai Demokrat untuk menemukan capres baru tidak akan berjalan mulus. Sebaliknya, mundurnya Biden berpotensi menciptakan chaos di Konvensi.
Pertama, cawapres 2024 Kamala Harris tidak otomatis akan menggantikan Biden menjadi capres, meskipun tokoh Kulit Hitam paling berpengaruh dan kingmaker pilpres 2024, James E. Clyburn menyatakan akan mendukung Harris di Konvensi jika Biden mundur. Padahal hampir tidak ada poling pilpres yang menunjukkan Harris unggul atas Trump. Favorability rating Harris juga lebih rendah dari Biden, yaitu 38,3% vs. 39,4% menurut data terbaru RealClearPolitics.
Kedua, kandidat alternatif selain Harris yang akan bersaing di Konvensi akan sangat banyak. Akibatnya, sangat sulit bagi satu kandidat untuk meraih dukungan 2.258 delegasi dalam Konvensi yang hanya berlangsung selama empat hari tersebut.
Ketiga, menurut AP, jika Biden mundur dari pencalonan, kelompok-kelompok konservatif pro-Partai Republik siap mengajukan gugatan hukum di seluruh AS, mempertanyakan legalitas calon presiden Partai Demokrat selain Biden dalam surat suara.
Biden Akan Kalah Menurut ‘Peramal’ Berbasis Poling
Jadi pencalonan resmi Biden dalam pilpres pada tanggal 3 November 2024 sepertinya tidak dapat dihindari. Bagi kubu Partai Demokrat, ini merupakan bencana karena hampir semua ‘peramal’ pilpres berbasis poling memprediksi bahwa Biden akan kalah.
Selain FiveThirtyEight yang memproyeksikan bahwa Biden akan kalah tipis oleh Trump dengan skor 266 vs. 272 suara elektoral, RealClearPolitics memprediksi Biden akan kalah telak dengan skor 226 vs. 312. Menurut Decision Desk HQ – The Hill, Biden akan kalah di 252 vs. 280. Sementara itu, The Economist meramalkan bahwa Biden akan kalah dengan skor 228 vs. 310. Terakhir, Polymarket yang mengklaim sebagai “The World’s Largest Prediction Market,” meramalkan Biden akan terpuruk dengan skor 226 vs. 312 yang sama dengan prediksi RealClearPolitics.
Biden Akan Menang Menurut ‘Peramal’ Kampus
Di tengah kekhawatiran kubu Partai Demokrat, tiga ‘peramal’ hasil pilpres dari kalangan kampus yang mengacu pada sejarah dan indikator ekonomi--Helmut Norpoth, profesor ilmu politik dari Stony Brook University, Ray Fair, profesor ekonomi dari Yale University, dan Allan Lichtman, profesor sejarah dari American University—seperti dilansir Newsweek meyakini Biden akan unggul di pilpres kali ini.
Ramalan Norpoth, Fair dan Lichtman layak diperhitungkan karena ketika hampir semua prediksi berbasis poling menyatakan Hillary Clinton akan mengalahkan Trump dengan mudah di 2016, mereka bertiga secara akurat meramalkan Trump akan menang.
The Primary Model dari Norpoth yang mengacu pada hasil primary meramalkan bahwa Biden memiliki peluang 75% untuk memenangkan suara elektoral. Sementara model Fair yang mengacu pada indikator-indikator ekonomi meramalkan bahwa Biden akan sukses meraih 51,7% suara populer, tanpa menyebutkan jumlah suara elektoral yang akan diperoleh. Menurut model "13 keys to the White House" yang sukses meramalkan 9 dari 10 pilpres terdahulu, Lichtman meyakini Biden adalah kandidat terbaik bagi Partai Demokrat dalam pilpres kali ini. Ia juga menganggap bahwa seruan agar Biden mundur dari pencalonan adalah sebuah kesalahan besar karena akan menghilangkan salah satu faktor kunci dalam modelnya yakni incumbency.
Lichtman menganggap poling tidak begitu berfedah dalam memprediksi hasil pemilu, sehingga tidak ada manfaatnya juga mengikuti saran buruk para analis dan peramal hasil pilpres berbasis poling yang gagal memprediksi kemenangan Trump di 2016.
Perkembangan Terbaru
Tapi konferensi pers terkait NATO Summit di Washington pada Kamis malam (12/7) waktu AS yang saat itu Biden beberapa kali keseleo lidah seperti menyebut “President Volodymyr Zelensky” dengan “Presiden Putin” dan “Vice President Kamala Harris” dengan “Vice President Trump”membuat semakin banyak petinggi Partai Demokrat dan orang-orang di lingkaran dalam Biden yang ragu dengan kans Biden di pilpres dan khawatir hal ini mengubur harapan mereka meraih mayoritas di DPR dan mempertahkankan mayoritas di Senat.
CBS News pada Kamis malam (11/7) waktu AS melaporkan bahwa puluhan anggota DPR Partai Demokrat diperkirakan akan membuat pernyataan meminta Biden untuk mundur dari pencalonan dalam 48 jam ke depan.
“A week is a long time in politics,” kata Harold Wilson, Perdana Menteri Inggris era 1960-an. Jadi politik AS, terutama di kubu Partai Demokrat, menjelang pilpres AS nampaknya masih sangat cair, termasuk adanya kemungkinan Biden akan meminta hampir 4.000 pledge delegates yang sudah diraih untuk mengalihkan dukungan.
Lalu bagaimana nasib ‘ramalan’ Lichtman dkk.? Dalam sejumlah interview, Lichtman mengaku baru akan membuat ramalan final hasil pilpres pada bulan Agustus nanti.
So, stay tuned!
Advertisement