Liputan6.com, Jakarta - Pencurian listrik oleh penambang kripto ilegal di Malaysia menimbulkan kerugian hingga sekitar USD 727 juta atau Rp 11,6 triliun. Pencurian ini terjadi pada periode 2018 hingga 2023. Kasus pencurian listrik ini diungkapkan oleh Wakil Menteri Transisi Energi dan Transformasi Air Malaysia, Akmal Nasrullah Mohd Nasir.
Melansir News.bitcoin.com, Minggu (12/7/2024) Nasir mengklaim bahwa pencurian listrik untuk tujuan penambangan kripto yang semakin meningkat tidak hanya merugikan perusahaan listrik tetapi juga masyarakat umum.
Advertisement
Laporan Malaymail menyebut, Nasir membuat klaim ini di Balakong, di mana para pejabat menghancurkan perangkat listrik yang disita tanpa sertifikat keamanan dari Komisi Energi.
Pada acara tersebut, Nasir memperingatkan penambang kripto ilegal bahwa perusahaan utilitas listrik memiliki metode untuk mendeteksi aktivitas penambangan yang tidak berizin.
"Pencurian listrik oleh mereka yang menambang mata uang kripto terjadi karena mereka yakin aktivitas ini tidak dapat dideteksi karena tidak adanya meteran di tempat mereka. Namun, perusahaan pemasok energi memiliki berbagai metode untuk mendeteksi konsumsi energi yang tidak biasa di suatu wilayah," ungkap Nasir.
Nasir juga dikabarkan menyaksikan langsung pemusnahan peralatan sitaan tersebut, dan mencatat bahwa sebanyak 2.022 perangkat senilai kurang lebih USD 470.000 dimusnahkan.
Perangkat tersebut termasuk mesin penambangan Bitcoin tanpa sertifikasi Komisi Energi Malaysia, yang disita pada Oktober 2022.
Dia lebih lanjut mengatakan, pemusnahan alat-alat tersebut oleh wakil jaksa penuntut umum dilakukan berdasarkan Pasal 406A dan 407 KUHAP.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Kerugian Kripto Akibat Transaksi Ilegal Deepfake Diramal Sentuh Rp 408 Triliun
Sebelumnya, kerugian mata uang kripto akibat transaksi ilegal terkait deepfake tampaknya meningkat selama tahun 2024.
Dikutip dari News.bitcoin.com, Jumat 28 Juni 2024 laporan Bitget Research mengungkapkan bahwa kerugian dari transaksi kripto di dunia deepfake diperkirakan mencapai USD 25 miliar atau sekitar Rp.408,9 triliun.
Selama kuartal I tahun total kerugian yang disebabkan oleh deepfake mencapai USD 6,28 miliar (Rp.102,6 triliun), hampir setengah dari kerugian sebesar USD 13,81 miliar (Rp.225,7 triliun) sepanjang tahun 2022.
Meskipun kerugian terkait deepfake menurun pada tahun 2023, laporan tersebut menyoroti bahwa jumlah transaksi ilegal yang melibatkan teknologi deepfake tetap konsisten di setiap kuartal.
Menariknya, studi ini juga mengungkapkan korelasi antara transaksi ilegal terkait deepfake dan fluktuasi Indeks Keserakahan dan Ketakutan Bitcoin.
Ditemukan juga bahwa, selama pasar bullish, insiden penggunaan teknologi deepfake untuk tujuan kriminal cenderung meningkat.
Misalnya, jumlah kejahatan kripto yang melibatkan deepfake melonjak pada kuartal I 2024, bertepatan dengan periode ketika Bitcoin (BTC) mencapai titik tertinggi baru sepanjang masa.
Menanggapi temuan dalam studi tersebut, CEO di Bitget, Gracy Chen menggarisbawahi pentingnya meningkatkan kesadaran tentang deepfake dalam industri kripto.
Mendidik pengguna dan menerapkan kerangka hukum dan keamanan siber yang komprehensif secara global merupakan langkah penting dalam memerangi penjahat yang mengeksploitasi taktik ini, jelasnya.
"Deepfake kini mulai memasuki sektor kripto dan tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya tanpa pendidikan dan kesadaran yang tepat. Kewaspadaan pengguna dan kemampuan mereka untuk membedakan penipuan dan penipuan dari penawaran nyata masih merupakan garis pertahanan paling efektif terhadap kejahatan tersebut sampai kerangka hukum dan keamanan siber yang komprehensif diterapkan pada skala global,” kata Chen.
Advertisement
Aset Kripto Rp.32,7 Miliar Disita dari Jaringan Penipuan Online Global
Organisasi Polisi Kriminal Internasional (Interpol) mengumumkan bahwa Operation First Light, sebuah inisiatif global yang melibatkan 61 negara, telah mengamankan sejumlah jaringan penipuan online.
Operasi tersebut berhasil membekukan 6.745 rekening bank, menyita aset senilai USD 257 juta (Rp.4.2 triliun), mencegat sekitar mata uang fiat senilai USD 135 juta (Rp.2,2 triliun) dan mata uang kripto sebesar USD 2 juta (Rp.32,7 miliar).
"Menargetkan phishing, penipuan investasi, situs belanja online palsu, penipuan layanan perjodoAhan dan peniruan identitas, Operation First Light 2024 berhasil menangkap 3,950 tersangka dan mengidentifikasi 14,643 kemungkinan tersangka lainnya di seluruh dunia," ungkap Interpol dalam keterangannya, dikutip Jumat (28/6/2024).
Selain itu, Interpol juga menyita aset senilai lebih dari USD 120 juta, termasuk real estate, kendaraan mewah, perhiasan kelas atas, dan barang berharga lainnya.