Liputan6.com, Jakarta- Di era informasi yang melimpah seperti saat ini, akses terhadap pengetahuan dan pendidikan menjadi sangat penting. Diharapkan, semakin tinggi akademi seseorang, semakin terampil mereka dalam memilah dan memilih informasi yang benar. Namun, kenyataannya hal tersebut tidak terjadi.
Pendidikan bukanlah jaminan kebebasan dari hoaks, banyak individu berpendidikan tinggi masih mudah terjebak dalam informasi yang menyesatkan dan keliru.
Advertisement
Fenomena ini memunculkan pertanyaan, mengapa pendidikan tinggi tidak selalu menjadi jaminan kebebasan dari hoaks? Tentu ada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa latar belakang pendidikan tidak menjadi jaminan seseorang terbebas dari paparan hoaks.
1. Kecenderungan Kognitif Manusia:
- Keterbatasan Kognitif: Otak manusia memiliki keterbatasan dalam memproses informasi, sehingga cenderung mencari jalan pintas untuk memahami dunia. Hal ini membuka peluang bagi hoaks yang mudah dicerna dan diingat, meskipun sebenarnya tidak akurat.
- Bias Konfirmasi: Kita cenderung mencari informasi yang menguatkan keyakinan yang sudah ada, bahkan jika informasi tersebut salah. Fenomena ini menyebabkan resistensi terhadap informasi yang bertentangan dengan pandangan kita, meskipun informasi tersebut akurat.
- Efek Halo: Keterampilan dan keahlian dalam satu bidang tidak selalu menjamin kemampuan berpikir kritis dalam bidang lain. Misalnya, seorang ahli fisika mungkin rentan terhadap hoaks di bidang kesehatan karena ia tidak memiliki pengetahuan mendalam di bidang tersebut.
2. Peran Media Sosial:
- Algoritma dan Filter Bubble: Algoritma media sosial cenderung menyajikan konten yang sejalan dengan preferensi pengguna, sehingga menciptakan gelembung informasi yang hanya berisi informasi yang sesuai dengan pandangan pengguna. Hal ini menghambat paparan terhadap informasi yang berbeda dan memperkuat bias konfirmasi.
- Informasi yang Beredar Cepat: Hoaks dapat menyebar dengan cepat melalui media sosial, bahkan sebelum fakta yang sebenarnya terungkap. Hal ini membuat sulit untuk memisahkan informasi yang benar dan palsu.
- Kurangnya Verifikasi: Pengguna media sosial sering kali tidak melakukan verifikasi terhadap informasi yang didapat, sehingga mudah tertipu oleh konten yang tidak akurat.
Faktor Berikutnya
3. Kurangnya Literasi Digital:
- Kemampuan Memahami Informasi: Literasi digital yang rendah menyebabkan kesulitan dalam memahami bentuk informasi digital, seperti video, gambar, dan teks yang terstruktur kompleks. Hal ini membuat individu rentan terhadap manipulasi informasi melalui teknik visual dan narasi yang memanipulatif.
- Keterampilan Evaluasi Informasi: Keterampilan mengevaluasi sumber informasi, seperti memeriksa kredibilitas sumber, mengecek fakta, dan memahami bahasa digital, merupakan elemen kunci dalam melawan hoaks. Sayangnya, keterampilan ini belum sepenuhnya diajarkan di sistem pendidikan formal.
4. Faktor Psikologis:
- Kebutuhan Validasi: Individu yang merasa tidak aman atau tidak berdaya cenderung mencari informasi yang menguatkan keyakinan mereka, meskipun informasi tersebut tidak akurat. Hoaks dapat memberikan rasa kepuasan dan validasi, meskipun hanya bersifat sementara.
- Kecemasan dan Ketakutan: Hoaks seringkali memanfaatkan kecemasan dan ketakutan masyarakat untuk menarik perhatian dan menyebar. Hal ini membuat orang lebih mudah percaya dengan informasi yang menakutkan, meskipun informasi tersebut tidak berdasar.
5. Peran Lembaga Pendidikan:
- Kurikulum yang Terbatas: Kurikulum pendidikan formal seringkali kurang memberikan ruang untuk pengembangan literasi digital dan keterampilan berpikir kritis dalam menghadapi informasi yang melimpah.
- Metode Pengajaran yang Tradisional: Metode pengajaran yang terlalu berfokus pada menghafal fakta dan teori dapat menghambat pengembangan kemampuan berpikir kritis dan analitis.
Advertisement
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.
Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.