Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha Jusuf Hamka bertemu dengan Mantan Menko Polhukam Mahfud Md di Kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2024). Jusuf mengaku, pertemuan dengan Mahfud untuk membahas soal utang.
Advertisement
Usai melakukan pertemuan selama kurang lebih satu setengah jam, Jusuf Hamka mengaku dirinya hanya melakukan konfirmasi terkait surat Mahfud Md yang diserahkan kepada Kementerian Keuangan.
"Saya mengkonfirmasi itu 'Pak Bapak betul enggak bikin surat yang isinya seperti itu menurut media-media saya dengar begitu bocorannya'. 'Oh betul' katanya," kata Jusuf Hamka
"Nah itu saja saya bilang 'Pak saya perlu konfirmasi itu dan bapak kasih time limit bulan Juni', 'betul', karena ini udah bulan Juli kami ditelepon aja belum ibarat hilalnya aja belum kelihatan," sambungnya.
Lebih lanjut, Jusuf ingin mengajukan class action. Dia mengatakan dirinya akan mengajukan gugatan kelompok (class action) terhadap peraturan negara.
"Saya akan menunjuk Pak Hamid Basyaid sebagai lawyer untuk mengajukan class action terhadap peraturan negara yang tidak boleh disita," ujar dia.
Sementara itu, Hamid menilai terdapat aturan mengenai hubungan tidak simetris antara negara dan rakyat. Salah satunya, terkait utang.
"Kalau warga negara punya utang diuber-uber sampai ujung dunia kan sita barangnya di ini segala macam, tapi kalau negara berutang, padahal sama-sama dia subjek hukum, nggak adil jadinya. Jadi kita mau uji judicial review (JR) bahwa jika negara berutang kepada warga negara dan itu banyak sekali," kata Hamid.
Lapor KPK
Selain mengajukan JR, Hamid mengatakan Jusuf Hamka berniat untuk mempertimbangkan lapor ke KPK. Menurutnya, ada banyak kasus negara yang merugikan warga negaranya.
"Iya mau ke KPK juga. Karena ada info dari KPK bahwa itu sudah, sudah memenuhi kualifikasi merugikan keuangan negara," ujarnya.
"Jadi kalau dia berutang, misalnya, dengan kasus Pak Jusuf Hamka dia berutang, lalu putusan pengadilan menyatakan bahwa kalau tidak dibayar, maka setiap bulan didenda dua persen. Anda bayangkan kalau dari Rp 500 miliar saja, misalnya ya, dua persen itu kan artinya Rp 10 miliar per bulan. Ke mana duit itu? Dan kenapa? Kan negara dirugikan karena dia harus bayar. Kalau didiemin terus ya, itu masuk kualifikasi merugikan keuangan negara. Pidana," imbuh dia.
Reporter: Alma Fikhasari
Sumber: Merdeka.com
Advertisement