Liputan6.com, Jakarta - Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, punya pandangan berbeda dalam persoalan tertentu. Salah satu yang sering jadi perbincangan di masyarakat adalah tahlilan.
Bagi Nahdliyin (warga NU), menggelar tahlilan ketika ada muslim yang meninggal dunia adalah hal yang biasa dilakukan. Tahlilan adalah acara untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia. Digelar selama 7 hari, kemudian lanjut 40 hari sampai 100 hari.
Berbeda dengan Muhammadiyah. Acara tahlilan untuk orang meninggal di Muhammadiyah jarang ditemukan. Apakah tahlilan menjadi salah satu perbuatan bid’ah sehingga tidak diamalkan?
Baca Juga
Advertisement
Ulama kharismatik Muhammadiyah, Ustadz Adi Hidayat (UAH) mengungkapkan, ternyata pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan tidak mempermasalahkan perkara tahlilan.
Lalu mengapa tahlilan tidak menjadi amalan yang sering dilakukan saat ada orang meninggal?
Saksikan Video Pilihan Ini:
Penyebab Tak Ada Tahlilan di Muhammadiyah
Setelah ditelusuri, UAH menyebut yang menjadi persoalan tahlilan bukan hukum fikihnya, melainkan fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat.
“Ada kasus di kalangan masyarakat ingin menyelenggarakan tahlilan ternyata tak punya materi, sehingga dia harus berutang kepada tetangganya untuk mewujudkan tahlilan itu,” ungkap UAH, dikutip dari tayangan YouTube PAN Jatim, Sabtu (13/7/2024).
Berdasarkan kasus tersebut, maka keluarlah pertimbangan jika tidak mempunyai uang jangan memaksakan untuk mengadakan tahlilan, apalagi uang yang digunakan untuk selamatan orang meninggal itu dari hasil pinjam.
“Bukan masalah tahlilannya. Cuma babnya belum selesai. Kalau memang tak punya uang kenapa Anda tak pinjami atau berikan saja, kan tuntas babnya,” kata UAH.
Advertisement
Kalangan Elite Muhammadiyah Tak Persoalkan Tahlilan
UAH mengatakan, persoalan tahlilan khususnya di kalangan elite Muhammadiyah sudah selesai. Namun, informasi yang sampai ke masyarakat seolah tidak boleh menyelenggarakan tahlilan bagi warga Muhammadiyah.
“Saya kira, turunan-turunan informasi dari atas itu yang di kalangan elite sudah selesai, (tapi) ke bawahnya itu tak sama,” tutur UAH.
UAH mencontohkan kasus lain yaitu qunut. UAH mengatakan, Muhammadiyah tak mempersoalkan qunut. Bahkan, Majelis Tarjih pun tidak memfatwakan qunut itu bid’ah.
“Faktanya, ketika imam qunut, yang di belakang mengaminkan. Ketika imam yang di depan pun tak qunut, yang di belakang tak usah sujud sahwi,” jelas UAH.
“Jadi, tatanan konsep di atas sudah selesai. Nah, apa yang menyebabkan (informasi-informasi) ke bawahnya itu tidak tuntas?” tanya UAH.
“Saya kira belum tampilnya dan disemarakkannya dakwah-dakwah seperti Gus Baha, Gus Qoyyum. Di Muhammadiyah ada kami (UAH), ada teman-teman yang lain. Nah, saya mungkin sarankan di semua turunan ke PWM, PWNU, sampai ke bawah, itu yang difasilitasi untuk muncul,” jelasnya.