Liputan6.com, Jakarta - Penipuan berkedok giveaway kembali marak terjadi. Kali ini, nama Raffi Ahmad yang dicatut untuk melancarkan aksi penipuan.
Menurut Pengamat Keamanan Siber sekaligus pendiri Vaksincom Alfons Tanujaya, aksi penipuan kali ini dilancarkan dengan membuat grup yang mengaku sebagai layanan pelanggan dari giveaway Raffi Ahmad.
Advertisement
Pengaturan grup ini sengaja dibuat agar peserta di dalamnya hanya bisa menerima pesan, tapi tidak bisa mengirim. Kemudian, para peserta di dalamnya diimingi giveaway dengan total hadiah Rp 50 juta.
"Lalu dia kasih quiz yang mudah sekali. Siapa nama Presiden pertama Indonesia?" tutur Alfons dalam keterangan resmi yang diterima Tekno Liputan6.com, Rabu (17/7/2024).
Alfons menuturkan pelaku broadcast ini memiliki daftar lengkap nomor telepon salah satu provider yang dijadikan anggota dalam grup tersebut.
Ia menduga, data tersebut didapatkan dari 1,3 miliar data SIM yang bocor di September 2022 atau sumber lain.
"Jika diteliti lebih jauh, pemerintah baik Kominfo maupun kepolisian bisa meminta kepada WhatsApp untuk memberikan informasi lengkap atas aksi yang dilakukan oleh nomor penipu ini, dan melakukan mitigasi yang diperlukan," tuturnya menjelaskan.
Setelah korban penipuan menjawab kuis tersebut dan menghubungi nomor yang diberi, penipu akan meminta data diri mereka. Ada nama, alamat, nomor rekening bank, serta nama bank.
Setelahnya, penipu akan mengirimkan bukti transfer palsu yang menunjukkan transfer Rp 50 juta ke rekening korban. Namun, penipu akan mengatakan kalau transfer itu pending dan membutuhkan biaya validasi untuk mengaktifkannya.
"Padahal di bank tidak ada yang namanya transfer pending karena menunggu biaya validasi. Semuanya ini pinter-pinternya penipu saja," ujarnya menjelaskan.
Tidak hanya itu, pelaku juga memberikan empat video yang sudah direkayasa untuk meyakinkan korban penipuan.
Video yang kemungkinan besar dibuat dengan AI itu berupa testimoni dari orang-orang yang disebut sudah menerima giveaway.
Modus Penipuan
Yang menarik, menurut Alfons, korban bisa melakukan negosiasi biaya giveaway ini. Jadi, ketika korban mengaku tidak memiliki uang sebanyak yang diminta oleh penipu, ia bisa meminta keringanan sesuai uang yang dimiliki.
Setelah sepakat, penipu akan memberikan nomor rekening bank untuk dilakukan pengiriman uang. Dalam hal ini, Alfons berharap, pihak berwenang bisa menindaklanjuti rekening tersebut dan menangkap pelaku penipuan.
Lantas, bagaimana cara menghindari penipuan ini? Menurut Alfons, masyarakat jangan pernah transfer atau kirim uang dengan alasan apa pun yang tidak jelas.
Selain itu, ia juga meminta agar operator seluler dari nomor telepon yang ada dalam grup bisa diselidiki. Sebab, nomor yang ditampilkan berurutan.
"Jadi, mereka kemungkinan besar memiliki database nomor telepon dari provider yang bersangkutan. Providernya tolong diselidiki bagaimana nomor ini bisa bocor dan cocokkan dengan kebocoran database nomor telepon 1,3 miliar yang terjadi kemarin," tuturnya.
Advertisement
Pentingnya Edukasi Keamanan Siber Sejak Dini di Kalangan Pelajar
Di era digital saat ini, keamanan siber menjadi semakin penting, terutama bagi para pelajar yang aktif menggunakan internet dan media sosial.
Dengan memahami pentingnya keamanan siber, para pelajar dapat menggunakan teknologi dengan lebih aman dan bertanggung jawab, serta terhindar dari berbagai risiko serangan siber yang dapat merugikan mereka, seperti pencurian data pribadi.
Untuk meningkatkan kesadaran pelajar dalam menjaga data pribadi di dunia maya, Yayasan Pendidikan Telkom (YPT) menggelar webinar bertajuk "Cyber Security Awareness".
Webinar ini diikuti 655 siswa dari 5 SMK di bawah naungan YPT, yaitu SMK Telkom Malang, SMK Telkom Jakarta, SMK Telkom Purwokerto, SMK Telkom Banjarbaru, dan SMK Telkom Sidoarjo.
Webinar ini merupakan bagian dari rangkaian pelatihan serupa yang dilakukan secara onsite di Kampus Telkom Makassar dan SMK Telkom Malang.
Materi pelatihan difokuskan pada pendalaman data pribadi di seluruh platform media sosial, mulai dari kategori data pribadi hingga modus operandi para pelaku kejahatan siber.
Ketua Pelaksana Kegiatan, Aris Puji Santoso, mengatakan para pemateri menjelaskan mengenai social engineering, praktik manipulasi psikologis yang digunakan untuk mendapatkan informasi sensitif atau akses ke sistem yang terlarang.
"Modus ini seringkali memanfaatkan kelemahan psikologis manusia untuk mencapai tujuannya," kata Aris melalui keterangannya, Kamis (11/7/2024).
Ia menilai pelatihan ini sangat bermanfaat bagi siswa untuk lebih bijak dalam bermedia sosial dan memahami pentingnya melindungi data pribadi.