Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI, Laksda Kresno Buntoro mengusulkan untuk menghapus larangan prajurit TNI terlibat dalam bisnis. Sebagaimana sebelumnya, aturan itu diatur dalam Pasal 39 huruf c Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
Menanggapi hal itu, Koalisi Masyarakat Sipil memandang usulan Kababinkum TNI itu merupakan pandangan keliru dan mencerminkan kemunduran upaya reformasi di tubuh TNI.
Advertisement
“Militer dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk perang. Hal itu merupakan raison d’etre (hakikat) militer di negara manapun. Tugas dan fungsi militer untuk menghadapi perang/pertahanan merupakan tugas yang mulia dan merupakan kebanggaan penuh bagi seorang prajurit. Karena itu prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya, bukan berbisnis,” kata Andi Muhammad Rezaldy selaku Kepala Divisi Hukum KontraS mewakili masyarakat sipil, seperti dikutip Rabu (17/7/2024).
Andi menegaskan, militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik. Sebab hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara.
“Rencana menghapuskan larangan bisnis dalam UU TNI bukan hanya akan berdampak pada lemahnya profesionalisme militer tetapi juga akan berpengaruh pada lemahnya usaha militer menjaga pertahanan negara dan kedaulatan negara karena bertambahnya tugas yang jauh dari dimensi pertahanan dan keamanan,” wanti Andi.
Andi mencatat, militer diberikan anggaran yang besar triliunan rupiah untuk belanja alat utama sistem (Alutsista) seperti pesawat tempur, tank, kapal selam, kapal perang, helikopter dan sebagainya yang sepenuhnya ditujukkan untuk menyiapkan kapabilitas mereka untuk berperang. Artinya, bukan kemudian dilakukan untuk tujuan berbisnis dan berpolitik.
“Karena itu rencana revisi usulan mencabut larangan berbisnis dalam UU TNI adalah sesuatu yang berbahaya dalam pembangunan profesionalisme militer itu sendiri,” tegas dia.
Pengalaman Historis Masa Orde Baru
Selain itu, lanjut Andi, dimasukkannya Pasal larangan berbisnis dalam batang tubuh UU TNI adalah karena pengalaman historis masa Orde Baru. Kala itu, tugas dan fungsi militer yang terlibat dalam politik dan bisnis telah mengganggu–bahkan mengacaukan– profesionalisme militer sendiri masa itu.
Tidak hanya itu, dampak lainnya adalah mengancam kehidupan demokrasi dan kebebasan sipil. Karena itu ketika reformasi 1998 bergulir, militer dikembalikan ke fungsi aslinya untuk pertahanan negara.
“Oleh karena itu DPR dan Pemerintah harus segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang kontroversial ini karena hanya akan memundurkan jalanya reformasi tubuh TNI,” minta Andi.
Andi berkesimpulan, sudah sepatutnya, yang dilakukan negara bukanlah merevisi UU TNI dengan mencabut larangan berbisnis bagi prajurit TNI, tetapi memastikan kesejahteraan prajurit terjamin dengan dukungan anggaran negara dan bukan memberikan ruang Prajurit TNI untuk berbisnis.
“Praktek ini terbukti menyebabkan profesionalisme prajurit menjadi rusak seperti era Orde Baru. Selain itu, militer harus jelas alokasi anggaran pertahanannya untuk memastikan alutsista yang modern dan kesejahteraan prajurit,” dia menandasi.
Sebagai informasi, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari sejumlah kelompok. Mereka adalah Imparsial, KontraS, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Amnesty International Indonesia, Forum de Facto, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Pos Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, AlDP.
Advertisement