Komisi X DPR: Penggunaan Kata Cleansing untuk Pecat Ribuan Guru Honorer Terlalu Sadis

Dede pun menyoroti penggunaan kata "cleansing" untuk kebijakan penataan guru honorer itu. Menurut dia, kebijakan yang dinamai "cleansing" terhadap para guru honorer di DKI Jakarta tersebut kurang humanis.

oleh Tim News diperbarui 19 Jul 2024, 10:03 WIB
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf menilai kebijakan pemecatan guru honorer, seperti yang terjadi di DKI Jakarta, dapat menyebabkan terjadinya persoalan kekurangan guru di sekolah-sekolah. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf menilai kebijakan pemecatan guru honorer, seperti yang terjadi di DKI Jakarta, dapat menyebabkan terjadinya persoalan kekurangan guru di sekolah-sekolah.

"Kebijakan cleansing guru honorer bisa menyebabkan kekurangan guru di sekolah yang pada akhirnya mengganggu proses belajar mengajar," kata Dede dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (19/7/2024).

Pada akhirnya, kata dia melanjutkan, peserta didik menjadi pihak yang dirugikan, terutama di saat mereka baru memasuki tahun ajaran baru sekolah seperti sekarang.

Dede pun menyoroti penggunaan kata "cleansing" untuk kebijakan penataan guru honorer itu. Menurut dia, kebijakan yang dinamai "cleansing" terhadap para guru honorer di DKI Jakarta tersebut kurang humanis.

"Cleansing itu kata yang terlalu sadis, cleansing itu kan pembersihan atau seperti membasmi. Itu tidak boleh," ucap Dede seperti dilansir dari Antara. 

Sebelumnya, Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta telah menyatakan bahwa kebijakan "cleansing" terhadap setidaknya 107 guru honorer dilakukan sebagai Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (TLHP) BPK.

Temuan BPK menyebut bahwa peta kebutuhan guru honorer tidak sesuai dengan Permendikbud serta ketentuan sebagai penerima honor.

Adapun para guru honorer ini digaji dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Disdik DKI juga menyampaikan pihak sekolah mengangkat guru honorer tanpa rekomendasi dari Disdik sehingga melanggar aturan.

 


Tindak Lanjut Temuan BPK

Sejumlah guru honorer Kategori 2 beristigosah saat menggelar aksi di depan gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (23/7). Aksi tersebut untuk mendukung proses penyelesaian atau penentuan nasib para honorer K2 yang sedang dirapatkan. (Liputan6.com/JohanTallo)

Mengenai hal tersebut, Dede meminta agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai mitra Komisi X DPR agar menjadi fasilitator terhadap pihak-pihak terkait.

“Kemendikbudristek harus segera mengklarifikasi dengan Dinas Pendidikan Jakarta. Dari informasi yang saya terima, ini adalah Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK,” ucapnya.

Dede juga meminta pihak-pihak terkait agar segera duduk bersama untuk mencari solusi bagi nasib guru honorer yang mengalami "cleansing", termasuk pemda dan BPK.

Dede mengingatkan sekali pun mereka berstatus honorer, para guru itu telah mengabdi bagi pendidikan anak selama bertahun-tahun.

Sebelumnya, Dinas Pendidikan (Disdik) Jakarta mengatakan, ada 4.000 guru honorer yang akan terdampak kebijakan pembersihan atau cleansing di Jakarta. Ribuan guru honorer itu akan kehilangan pekerjaannya mulai tahun ajaran 2024-2025.

 


Tidak Sesuai Undang-Undang

Pengangkatan guru honorer itu disebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Di mana status guru honorer harus sudah tidak ada sampai Desember 2024.

Menurut Budi, data ribuan guru honorer di Jakarta itu didapat dari penambahan yang terakumulasi sejak 2016. Kepala sekolah juga telah dilarang mengangkat guru honorer sejak 2017.

"Kita sudah kasih tahu dari 2017, kita kasih tahu jangan mengangkat guru honorer, dan akhirnya temuan BPK kan 2023. Kita sampaikan ada UU ASN juga mereka kan digaji juga tidak manusiawi, karena tidak ada aturan ketentuan itu," ucap Budi.

 

Infografis Ironi Pemecatan Ratusan Guru Honorer Jakarta Terkena Cleansing. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya