Liputan6.com, Jakarta - Jatuh cinta dan kepada sepupu bukanlah hal yang aneh dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang menemukan kenyamanan dan keintiman dalam hubungan keluarga yang dekat.
Tapi, sebelum melangkah lebih jauh, atau menikah, penting untuk merenungkan dan mempertimbangkan berbagai aspek, baik dari sudut pandang agama, sosial, maupun hukum yang berlaku.
Dari sudut pandang agama, khususnya dalam Islam, menikah dengan sepupu tidaklah dilarang. Banyak ulama yang mengizinkan pernikahan antar sepupu dengan berbagai alasan, salah satunya adalah kedekatan hubungan keluarga yang bisa memperkuat tali silaturahmi.
Namun, penting untuk memastikan bahwa keputusan ini didasarkan pada niat yang baik dan bukan hanya hasrat semata. Konsultasi dengan ulama atau tokoh agama setempat bisa menjadi langkah bijak untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.
Dari sisi sosial, menikah dengan sepupu mungkin menimbulkan berbagai reaksi dari keluarga besar dan masyarakat sekitar. Ada yang mendukung karena sudah memahami dan menerima konsep ini, namun ada juga yang mungkin menilai hal ini kurang wajar.
Baca Juga
Advertisement
Simak Video Pilihan Ini:
Syariat Membolehkan Pernikahan dengan Saudara Sepupu
Mengutip muslim.or.id, Nabi Muhammad SAW menganjurkan dan mendorong untuk menikah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يا معشر الشباب! من استطاع منكم الباءة فليتزوج؛ فإنه أغض للبصر، وأحصن للفرج
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.” (HR. Bukhari no. 5065)
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
تزوجوا الودود الولود
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur … ” (HR. Ibnu Hibban no. 4028 dan selainnya, dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah)
Para ulama sepakat bahwa pernikahan hanya sah antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariat. Halangan-halangan syariat adalah hubungan yang ditetapkan oleh syariat sebagai sebab diharamkannya pernikahan antara laki-laki dan perempuan, baik secara permanen maupun sementara. Para ulama membahas hal ini dalam bab Al-Muharramat fin Nikah.
Pengharaman ini tentu memiliki banyak hikmah. Di antaranya adalah bahwasanya Islam memerintahkan untuk menyambung silaturahmi dan menjaga hubungan yang menghubungkan individu satu sama lain, serta melindunginya dari permusuhan dan perselisihan. Al-Kasani rahimahullah mengatakan,
إِنَّ نِكَاحَ هَؤُلَاءِ يُفْضِي إِلَى قَطْعِ الرَّحِمِ لأَِنَّ النِّكَاحَ لَا يَخْلُو مِنْ مُبَاسَطَاتٍ تَجْرِي بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ عَادَةً، وَبِسَبَبِهَا تَجْرِي الْخُشُونَةُ بَيْنَهُمَا، وَذَلِكَ يُفْضِي إِلَى قَطْعِ الرَّحِمِ، فَكَانَ النِّكَاحُ سَبَبًا لِقَطْعِ الرَّحِمِ، مُفْضِيًا إِلَيْهِ، وَقَطْعُ الرَّحِمِ حَرَامٌ، وَالْمُفْضِي إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ
Pernikahan dengan orang-orang yang diharamkan dapat menyebabkan putusnya silaturahmi. Karena pernikahan tidak terlepas dari interaksi antara suami istri yang biasanya terjadi, dan karenanya dapat menimbulkan perselisihan di antara mereka, yang pada akhirnya menyebabkan putusnya silaturahmi.
Dengan demikian, pernikahan menjadi sebab putusnya silaturahmi dan mengarah kepadanya. Memutuskan silaturahmi adalah haram, dan sesuatu yang mengarah kepada yang haram juga haram.
Saudara sepupu tidak termasuk mahram, yang dilarang untuk dinikahi.
Advertisement
Siapa yang Disebut Sepupu?
Dalam bahasa kita, misan atau sepupu atau saudara sepupu (kakak maupun adik) adalah saudara senenek dan sekakek atau anak dari paman atau bibi.
Dalam istilah fikih, sepupu biasa disebutkan dengan
بنت العم والعمة والخال والخالة
“Anak perempuan dari paman dan bibi dari pihak bapak, dan paman dan bibi dari pihak ibu (jika kita melihat dari sisi laki-laki).”
Termasuk juga anak perempuan paman ayah, anak perempuan paman kakek, dan semisalnya.
Allah Ta’ala membolehkan menikah dengan saudara sepupu, jika tidak ada halangan dari sisi persusuan. [6]
Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ
“… dan (dengan) anak perempuan dari saudara laki-laki ayahmu dan anak perempuan dari saudara perempuan ayahmu, dan anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak perempuan dari saudara perempuan ibumu …” (QS. Al-Ahzab: 50)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan,
هَذَا عَدْلٌ وَسط بَيْنِ الْإِفْرَاطِ وَالتَّفْرِيطِ؛ فَإِنَّ النَّصَارَى لَا يَتَزَوَّجُونَ الْمَرْأَةَ إِلَّا إِذَا كَانَ الرَّجُلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا سَبْعَةُ أَجْدَادٍ فَصَاعِدًا، وَالْيَهُودُ يَتَزَوَّجُ أَحَدُهُمْ بِنْتَ أَخِيهِ وَبِنْتَ أُخْتِهِ، فَجَاءَتْ هَذِهِ الشَّرِيعَةُ الْكَامِلَةُ الطَّاهِرَةُ بِهَدْمِ إِفْرَاطِ النَّصَارَى، فَأَبَاحَ بِنْتَ الْعَمِّ وَالْعَمَّةِ، وَبِنْتَ الْخَالِ وَالْخَالَةِ، وَتَحْرِيمِ مَا فَرّطت فِيهِ الْيَهُودُ مِنْ إِبَاحَةِ بِنْتِ الْأَخِ وَالْأُخْتِ، وَهَذَا بَشِعٌ فَظِيعٌ
Ini adalah keadilan yang berada di tengah-tengah antara sikap berlebihan dan sikap meremehkan. Orang-orang Nasrani tidak menikahi seorang wanita, kecuali jika ada tujuh generasi atau lebih antara laki-laki dan wanita tersebut.
Sedangkan orang-orang Yahudi, salah satu dari mereka menikahi anak perempuan dari saudara laki-lakinya atau anak perempuan dari saudara perempuannya.
Maka, datanglah syariat (Islam) yang sempurna dan murni ini dengan menghapuskan sikap berlebihan orang-orang Nasrani, sehingga membolehkan (menikahi) anak perempuan dari paman, bibi, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu; serta mengharamkan apa yang dianggap remeh oleh orang-orang Yahudi dalam membolehkan menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan, yang merupakan perkara buruk dan keji.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul