Liputan6.com, Jakarta - Ghibah adalah perilaku membicarakan kejelekan atau aib orang lain. Perlu disadari, bahwa perbuatan ghibah merupakan dosa yang berkaitan dengan hak Allah.
Menyebutkan aib seseorang sama halnya dengan mempermalukannya. Segalabentuk perbuatan berkesan buruk tentang seseorang dan membiarkan orang lain juga beranggapan demikian maka termasuk dalam kategori ghibah.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ.
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang". (QS. Al-Hujurat:12)
Oleh karena itu, bagi pelaku ghibah dituntut untuk bertaubat serta bertekad agar tidak mengulanginya kembali. Sehingga untuk menggugurkan dosa ini, ada syarat lain yang harus dipenuhi agar taubatnya diterima dengan sempurna.
Baca Juga
Advertisement
Saksikan Video Pilihan ini:
Perselisihan Pendapat Ulama Perihal Kafarah Ghibah
Mengutip dari laman muslim.or.id, terdapat beberapa syarat tambahan untuk menyempurnakan taubat dari dosa ghibah. Pendapat pertama mengatakan seorang yang menghibahi saudaranya tebusannya cukup dengan memohonkan ampunan untuk orang yang dighibahi. Mereka berdalil dengan hadis,
كفارة الغيبة أن تستغفر لمن اغتبته
“Tebusan ghibah adalah engkau memintakan ampun untuk orang yang engkau ghibahi.”
Hikmah dari permohonan ampun untuk orang yang di-ghibah-i ini adalah, sebagai bentuk tebusan untuk menutup kezaliman yang telah ia lakukan kepada orang yang dighibahi. Jadi tidak perlu mengabarkan ghibahnya untuk meminta kehalalan kepada orang yang di-ghibah-i.
Pendapat ini dipegang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, murid beliau Ibnul Qayyim, Ibnu Muflih, as-Safarini dan yang lainnya. Bahkan Ibnu Muflih menukilkan dari Ibnu Taimiyyah bahwa pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Mereka menguatkan pendapat ini dengan tiga alasan:
- Mengabarkan ghibah kepada orang yang di-ghibah-i akan menimbulkan dampak negatif (mafsadah) yang tak dapat dipungkiri, yaitu akan menambah sakit perasaannya. Karena celaan yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang dicela lebih menyakitkan ketimbang celaan yang dilakukan dengan sepengetahuan orang yang dicela. Dia mengira orang yang selama ini dekat dengannya dan berada di sekelilingnya, ternyata dia telah merobek-robek kehormatannya di balik selimut.
- Mengabarkan ghibah kepada orang yang di-ghibah-i akan menimbulkan permusuhan. Karena jiwa manusia sering kali tidak bisa bersikap obyektif dan adil dalam menyikapi hal seperti ini.
- Mengabarkan ghibah kepada orang yang dighibahi akan memupuskan rasa kasih sayang diantara keduanya. Yang terjadi justru semakin menjauhjan hubungan silaturahim.Tak diragukan lagi, dampak kerusakan yang timbul dari mengabarkan ghibah ini, lebih buruk daripada pengaruh negatif perbuatan ghibah itu sendiri. Ini menyelisi tujuan syari’at (maqasid asy-syari’ah) yang bertujuan untuk menyatukan hati, memupuk rasa saling menyayangi dan persahabatan. Padahal diantara prinsip yang berlaku dalam syari’at Islam adalah,
تعطيل المفاسد وتقليلها لا على تحصيلها وتكميلها
“Mencegah kerusakan atau keburukan secara merata, atau memperkecil dampaknya. Bukan menimbulkan kerusakan atau menyempurnakan kerusakan” .
Advertisement
Pendapat Selanjutnya
Pendapat kedua menyatakan, memohonkan ampunan saja tidak cukup. Akan tetapi harus ada usaha meminta kehalalan kepada orang yang dighibahi, agar taubatnya diterima di sisi Allah.
Dan bagi pihak yang di-ghibah-i, seyogyanya untuk memaafkan saudaranya yang meminta kehalalan karena telah menggunjingnya. Agar ia mendapatkan pahala memaafkan kesalahan orang lain dan keridoan Allah terhadap orang-orang yang pemaaf.
Pendapat ini dipegang oleh Abu Hanifah, Syafi’i, Malik dan riwayat dari Imam Ahmad (ketika membahas permasalahan qadzaf (tuduhan palsu); apakah diharuskan menceritakan tuduhannya kepada orang yang telah dituduh, dalam rangka meminta kehalalannya, atau tidak perlu diceritakan).
Ulama yang menguatkan (merajihkan) pendapat ini adalah al-Ghazali, Qurtubi, Imam Nawawi dan ulama-ulama lainnya yang sependapat dengan mereka. Mereka berdalil dengan hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, yang mana beliau mengatakan, ”Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari kiamat yang tidak akan bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih maka akan diambil seukiran kezaliman yang ia perbuat. Bila tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudia dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 2449)
Dari hadis ini mereka menyimpulkan, ghibah adalah dosa yang berkaitan dengan hak manusia. Maka dosa tersebut tidak bisa gugur kecuali dengan meminta kehalalan dari orang yang telah ia zalimi.
Mereka menganalogikan (meng-qiyas-kan) masalah ini dengan permasalahan hak harta benda. Dimana bila seorang merusak harta benda milik orang lain atau mengambil tanpa hak, maka bentuk taubatnya adalah dengan menggantinya atau mengembalikannya kepada tuannya.
Mengenai hadis yang dijadikan argumen pendapat pertama,
“Tebusan ghibah adalah engkau memintakan ampun untuk orang yang engkau ghibahi.”
Mereka menilai bahwa, hadis ini maudhu‘ (palsu), dan matan-nya (pesan yang disampaikan dalam hadis) tidak benar. Karena dosa ghibah itu berkaitan dengan hak anak Adam. Sehingga untuk menggugurkan dosanya harus meminta kehalalan kepada orang dizalimi.
Pendapat yang Rajih (Kuat)
Setelah pemaparan dua pendapat ulama di atas beserta argumen yang mereka utarakan, maka pendapat yang nampaknya lebih rajih-wal’ilmu ‘indallah-menurut keterbatasan ilmu kami adalah pendapat kedua; yang menyatakan wajibnya meminta kehalalan kepada orang yang dighibahi.
Terlebih bila orang yang dighibahi dikenal pemaaf dan berdada lapang. Terkadang orang yang mengghibahi tidak bermaksud menghinakan, namun hanya saja dia tergelincir ketika berbicara atau mengobrol. Intinya, yang perlu dipahami bersama bahwa ini adalah konsekensi asal dari tebusan ghibah, yaitu meminta kehalalan kepada orang yang di-ghibah-i.
Adapun bila orang yang dighibahi dikenal tidak pemaaf dan menurut prasangka kuatnya dia tidak akan memaafkan. Bahkan akan menambah kebencian dan permusuhan. Atau bila dia mengabarkan secara global perihal ghibah yang dia lakukan, yang bersangkutan akan meminta penjelasan secara rinci; yang mana bila ia tahu hal tersebut akan membuatnya semakin benci dan marah, maka dalam kondisi ini cukup dengan mendoakan kebaikan untuknya. Serta menyebutkan kebaikan-kebaikannya di hadapan orang-orang. Dan beristighfar kepada Allah atas dosa ghibah yang telah ia lakukan.
Wallahu a’lam
Advertisement