Liputan6.com, Jakarta - Apakah kebaya boleh dimodifikasi? Iya. Tapi, apakah perlu diredefinisi sesuai perubahan yang ada? Desainer kebaya Lenny Agustin dengan mantap menyatakan tidak. Kebaya punya pakem, dan itulah akar yang dipegangnya saat merancang kebaya.
"Mulai 90an, kebaya terdeviasi dengan kata-kata sakti 'kebaya modern'. Maka, melegalkan segala perubahan yang cukup besar pada konstruksi pola kebaya sebelum era kemerdekaan. Indikasinya dari kuatnya pemakaian bahan tulle yang melekat di badan, ditempeli bahan french lace sehingga pengembangan selanjutnya, hal tersebut dipahami oleh generasi muda sebagai ciri-ciri utama kebaya," ujarnya secara tertulis kepada Tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 19 Juli 2024.
Advertisement
"Padahal, bahan kebaya bukanlah ciri utama. Ciri utama tetap pada konstruksi pola kebaya," ia menegaskan.
Kegelisahannya akan 'melencengnya kebaya modern' dan minimnya akan pemahaman generasi muda atau pola kebaya klasik mendorongnya menciptakan komunitas bernama Funky Kebaya. Itu menjadi salah satu wadahnya untuk kembali memperkenalkan 'akar kebaya'.
Meski berpegang pada pakem, bukan berarti ia menolak pengembangan. Menurut Lenny, kebaya boleh dikembangkan dari sisi pemakaian bahan, detail, padu padan, dan sedikit perubahan konstruksi panjang pendeknya kebaya dan lengan.
"Mengapa? Karena kita ingin menjaga bentuk kebaya yang menjadi kekhasan hingga bisa disebut kebaya, namun kebaya juga harus memiliki semangat modern seperti saat kemunculannya di Nusantara. Kebaya harus selalu relevan dengan kekinian," ia menjelaskan.
Pemahaman senada juga diyakini Rahmi Hidayati, pendiri Perempuan Berkebaya Indonesia. Berakar dari pakem kebaya, ia memodifikasi bahan dari yang biasanya sifon menjadi bahan kaus. Tujuannya agar nyaman dipakai beraktivitas sehari-hari, termasuk naik gunung dan mendayung di laut.
Apa Itu Pakem Kebaya?
Menurut Rahmi, mengutip disertasi mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), kebaya memiliki sejarah panjang di Nusantara, kemunculannya diperkirakan pada abad 15-16, seiring masuknya Islam. Busana itu ada untuk menutupi aurat perempuan yang sebelumnya hanya bertelanjang dada atau pakai kemben saja.
Sesuai fungsinya untuk menutup aurat, kebaya dibuat menutupi lengan dan bahu. Kain yang dipakai dijahit dengan bukaan depan, yang menjadi salah satu pakem pola kebaya. Pakem pola kebaya berikutnya adalah sisi kiri dan kanan simetris.
Pola kebaya yang pakem juga berlekuk, tapi tidak selalu harus ketat. Panjangnya bisa disesuaikan. Ada yang panjang seperti kebaya labuh ala masyarakat Melayu atau kebaya basiba di Sumatera Barat yang panjangnya sampai semata kaki. Tetapi, ada pula yang pendek seperti kebaya encim atau kebaya kutu baru.
"Kalau orang yang memakai baju, dia bilang kebaya padahal tidak sesuai dengan pakem kebaya, itu yang salah. Kebaya ada pakemnya, sejarahnya begitu... Kita perlu kasih tahu," ujar Rahmi, dalam kesempatan berbeda.
"Kalau mau pelestarian budaya berkebaya, itu yang kita lestarikan... Kalau tetap mau pake baju begitu, ya enggak apa-apa. Tapi, jangan bilang itu kebaya, karena memang bukan kebaya," imbuhnya.
Advertisement
Buka Ruang Modifikasi Tanpa Melupakan Akar
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid menyebut perubahan adalah pertanda positif sebagai bentuk evolusi budaya. Hal itu menunjukkan kemampuan kita untuk merangkul masa lalu sambil bergerak maju ke masa depan.
Tapi, ia mengingatkan bahwa setiap warisan budaya mempunyai akarnya masing-masing, begitu pula dengan kebaya. Ia tidak sepakat dengan meredefinisi kebaya, tetapi haruslah seperti akarnya. Namun, ruang pengembangannya perlu diupayakan agar berkontribusi kepada peningkatan ketahanan budaya, jati diri bangsa, serta kesejahteraan masyarakat.
"Ketika masyarakat bergerak menuju modernitas, modifikasi kekayaan budaya dan tradisi menjadi penting demi menjadikan budaya tetap relevan bagi generasi selanjutnya, termasuk kebaya. Karena itu, penting untuk mengakomodasi perkembangan desain kebaya saat ini dan memberi ruang ekspresi yang luas. Tentu saja, modifikasi yang dilakukan harus tetap mempertahankan unsur budaya di dalamnya," katanya dalam wawancara tertulis.
Lagipula, kebaya terbukti resilien. Hilmar menjabarkan bahwa kebaya sepanjang sejarahnya berkembang sesuai zamannya. Dimulai dari kebaya sebagai pakaian sehari-hari, kemudian menjadi lebih berwarna karena pengaruh Eropa yang memperkenalkan renda dan brokat. Di masa kemerdekaan, kebaya akhirnya menjadi simbol perjuangan dan nasionalisme.
Membumikan Kebaya, Menyentuh Generasi Muda
Generasi selanjutnya jadi kunci untuk melestarikan kebaya. Karena itu, mereka semestinya didekatkan dengan kebaya dengan membuka ruang ekspresi tanpa melupakan akarnya. Bahkan, kebaya bisa didorong jadi tren fesyen yang lekat dengan keseharian, bukan hanya pada acara-acara tertentu.
"Dengan adanya kebaya yang lebih fleksibel, hal ini bisa menjadikan kebaya sebagai pilihan busana yang nyaman dan tetap sesuai dengan nilai budaya Indonesia. Dengan begitu, keberadaannya tetap relevan dan terus hidup di tengah dinamika perkembangan zaman," ucap Hilmar.
Sementara, Lenny menyebut kebaya kutubaru menjadi model kebaya favorit anak muda saat ini. Alasannya, mudah dipadupadankan dan lebih mudah bergerak.
Di sisi lain, Rahmi mendorong agar berbagai model kebaya Nusantara dipopulerkan pada anak muda, tidak hanya pada satu model. Dengan begitu, masyarakat bisa lebih mengenal dan memiliki banyak opsi gaya sesuai kesukaan dan kebutuhan. "Kalau ngomong warisan, para generasi muda yang tahu sejarahnya, nanti jadi ikut cinta. Akhirnya, mereka bisa ajarkan kebaya ke anak-anak mereka juga," ujarnya.
Sosialisasi, ujar dia, juga semestinya tidak terbatas pada perempuan, tetapi juga laki-laki. Kaum adam bisa membantu melestarikannya dengan cara membelikan busana tersebut untuk orang-orang terdekatnya. "Saat anaknya ulang tahun, bapaknya bisa kan kasih hadiah kebaya," imbuh Rahmi.
Advertisement