Soal Rencana Ubah Wantimpres Jadi DPA, Sekjen PDIP: Suara-Suara Kritis Harusnya Didengar

DPR mengusulkan revisi UU Wantimpres terkait dengan perubahan nomenklatur, yang tadinya Dewan Pertimbangan Presiden, akan menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 20 Jul 2024, 20:45 WIB
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bicara soal kemungkinan Presiden Jokowi silaturahmi lebaran dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. (Merdeka.com)

Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto menanggapi rencana DPR yang ingin mengubah Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Hasto berharap tim penyusun undang-undang mendengar aspirasi dari publik. Kritik soal rencana perubahan Wantimpres menjadi DPA salah satunya datang dari Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI, Jusuf Kalla (JK).

"Suara-suara kritis seharusnya didengarkan oleh penyusun undang-undang. Jangan sampai fenomena-fenomena autocratic legalisme itu dibiarkan terjadi," kata Hasto di Gedung DPP PDI Perjuangan, Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat pada Sabtu (20/7/2024).

Hasto mengatakan, dirinya sependapat dengan para pakar, termasuk Jusuf Kalla bahwa DPA ini bukan sekadar nama.

"Ketika menggunakan nama Dewan Pertimbangan Agung, itu seluruh memori kolektif kita terhadap lembaga tersebut harus dilakukan melalui amandemen konstitusi," ujar dia.

Hasto menyebut, Dewan Pertimbangan Presiden bukan hanya sekadar menempatkan orang per orang tertentu, tapi ini mengandung fungsi untuk memberikan pertimbangan pada presiden.

"Apalagi sifatnya yang agung sehingga ada implikasi pada tata pemerintahan negara ketika hal tersebut harus menggunakan nama seperti itu," ucap Sekjen PDIP.

Sementara terkait wacana dimasukkannya nama Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, Hasto menjawab.

"Namanya kan DPA bukan Presidential club. Jadi people club ya itu jauh lebih baik. Jadi enggak ada itu ya, jadi Bu Mega fokus pada tugas beliau ya telah dipercaya oleh presiden selaku Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Ketua Dewan Pengarah BRIN itu tugas yang tidak ringan dan juga sekaligus sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan," katanya menandaskan.


Yusril Sebut Tak Ada Persoalan Mendasar

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengaku belum dapat membayangkan sikap apa yang akan diambil Pengadilan Tinggi perihal perkara putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan Partai Prima menunda Pemilu 2024.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra menilai, tak ada persoalan mendasar mengenai perubahan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam revisi Undang-Undang Wantimpres. 

Mulanya, Yusril menjelaskan sejarah pembentukn Wantimpres pada era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Tahun 2006, dalam posisi sebagai Menteri Sekretaris Negara, saya ditugasi Presiden SBY untuk mewakili Presiden membahas RUU tentang Wantimpres itu dengan DPR hingga selesai. Dalam teks UU Nomor 19 Tahun 2006 itu tercantum tanda tangan pengesahan dari Presiden SBY dan tanda tangan saya selaku Menteri Hukum dan HAM Ad Interim yang mengundangkan UU itu dalam Lembaran Negara," kata Yusril dalam keterangannya, Selasa (16/7/2024).

Menurut Yusril, polemik revisi UU Watimpres tidak substantif. Ia menyebut pembicaraan terkait revisi UU itu ialah soal pergantian nomenklatur dari Wantimpres kemudian kembali menjadi DPA menurutnya bukan hal yang perlu diperdebatkan. 

"Perubahan dalam RUU yang diajukan DPR ini pada hemat saya memang tidak substansial jika dikaitkan hanya dengan nomenklatur dan berapa jumlah serta syarat untuk menjadi anggotanya. Apa yang substansial adalah perubahan kedudukan dewan pertimbangan itu dari semula berada di bawah Presiden sebagaimana disebutkan dalam UU Wantimpres menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya," ujar dia.

 


Perbedaan Substansial Wantimpres dan DPA

Paripurna menyeyujui Revisi UU Wantimpres menjadi usulan inisiatif DPR. (Liputan6.com/Muhammad Radityo Priyasmoro).

Menurut Yusril, DPA diatur dalam Bab IV UUD 1945 sebelum amandemen dan digolongkan sebagai lembaga tinggi negara. Namun, Bab IV yang mengatur DPA dalam konstitusi itu dihapus saat amandemen. Dengan begitu, Wantimpres yang ada saat ini berada di bawah presiden, bukan sebagai lembaga negara.

"Tetapi Pasal 16 yang mengatur tentang DPA dan berada di bawah Bab itu tetap ada namun diubah sehingga berbunyi, 'Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang'. Apa nama dewan pertimbangan yang dibentuk oleh presiden itu, tidak ada nomenklaturnya di dalam UUD 45 hasil amandemen," kata dia.

Yusril menjelaskan, UU Nomor 19 Tahun 2006 menamakannya 'Dewan Pertimbangan Presiden' dan menempatkan lembaga itu di bawah presiden. 

“Itulah tafsir yang berkembang saat itu. Pemikirannya adalah karena DPA sebagai 'lembaga negara' dihapuskan oleh amandemen, maka kedudukan Wantimpres ditempatkan berada di bawah Presiden sebagai lembaga pemerintah," kata dia.

Terkait revisi UU Wantimpres saat ini yang menempatkan DPA sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain, hal itulah perubahan substansial yang membedakan antara Wantimpres dengan DPA.

“Kewenangan presiden membentuk lembaga untuk memberikan pertimbangan dan nasihat kepadanya dengan tegas diberikan oleh Pasal 16 UUD 1945,” pungkasnya.


Jokowi Digadang-gadang Jadi DPA

Presiden Joko Widodo atau Jokowi kunjungan kerja ke Provinsi Jawa Timur pada Jumat, (8/3/2024). Jokowi tampak didampingi Menteri Pertahanan sekaligus calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden).

Sebelumnya, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) digadang-gadang bakal menjadi nomenklatur baru pengganti fungsi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Meski masih dibahas di parlemen soal payung hukumnya, diyakini DPA adalah wadah yang bakal disiapkan untuk menempatkan Jokowi jika sudah lengser agar tetap memiliki pengaruh secara politik di pemerintahan.

Menanggapi hal itu, Bendahara Umum Projo, Panel Barus menegaskan, jika benar demikian maka adalah hal baik bagi Projo. Sebab, Projo tidak ingin Jokowi buru-buru 'pensiun' dari kancah politik nasional.

"Saya ingin sampaikan Projo ada karena ada Pak Jokowi, tidak ada Pak Jokowi tidak ada Projo! Maka terkait rencana DPA, yang pasti posisi Projo akan mendukung apapun langkah politik Pak Jokowi ke depannya," kata Panel saat jumpa pers di Kantor DPP Projo, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (12/7/2024).

Namun Jokowi menegaskan, rencana dirinya untuk pulang ke Solo saat pensiun dari kursi pemerintahan belum berubah. Hal ini menanggapi soal dirinya yang didukung menjadi DPA di era pemerintahan Prabowo-Gibran.

"Sampai saat ini rencana saya masih belum berubah," kata Jokowi saat ditemui di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma Jakarta, Selasa (16/7/2024).

Jokowi pernah menyatakan dirinya akan pulang ke kampung halaman di Solo, Jawa Tengah saat masa jabatan sebagai presiden berakhir pada 20 Oktober 2024.

Infografis Bedanya Wantimpres dengan DPA (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya