Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi bersama Kementerian Perekonomian resmi membentuk Satgas Supervisi Harga Tiket Angkutan Penerbangan Nasional yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Perhubungan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Kementerian Keuangan, dan Kementerian Hukum dan HAM. Satgas tersebut menargetkan bisa menekan harga tiket pesawat domestik yang dikeluhkan mahal oleh para konsumen.
Menparekraf Sandiaga Uno menyatakan bahwa satgas sudah mulai bekerja. Ia juga menyebut ada sembilan langkah diharapkan menjadi terobosan untuk mengatasi persoalan harga tiket pesawat. "Dari sembilan langkah itu, biaya avtur, biaya suku cadang, perizinan, PPn, pajar penumpang, jadi ada beberapa komponen," kata dia dalam The Weekly Brief with Sandi Uno di Jakarta, Senin, 22 Juli 2024.
Advertisement
Komponen itu, sambungnya, sangat berpengaruh terhadap harga. Menurut Sandi, dengan mengelola sejumlah komponen biaya, pihaknya meyakini harga tiket pesawat domestik bisa diturunkan sekitar 10 persen.
"Kalau semuanya bisa kita lakukan yang quick win, yang cepat, perkiraan dua tiga bulan ke depan, dan sebelum bulan Oktober, akhir pemerintahan bisa turun," ujarnya.
Sebelumnya, ditemui di sela pemutaran film Uang Panai 2 di Jakarta, Minggu, 21 Juli 2024, Sandi menekankan bahwa penyebab utama harga tiket pesawat domestik lebih mahal adalah terkait persoalan permintaan dan suplai yang tidak seimbang. "Mobilitas domestik tinggi sementara ketersediaan kursi terbatas, sehingga hukum supply and demand (berlaku)... Di samping itu dipicu tingginya biaya operasional, avtur, ada beberapa komponen pajak," katanya.
Dorong Perjalanan di Low Season
Di sisi lain, Sandiaga meminta agar masyarakat memaksimalkan perjalanan wisata di periode low season. Hal itu untuk menyiasati harga tiket pesawat yang tinggi. "Garuda kemarin sudah bilang, kalau mau tiket yang harganya lebih terjangkau, mereka juga melakukan beberapa promo," ucapnya.
Sementara itu, mengutip kanal Bisnis Liputan6.com, Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) menyebut iklim usaha penerbangan saat ini tidak sehat. Hal ini dikarenakan monopoli dalam bisnis penerbangan, sehingga terjadi pengaturan harga oleh satu pihak dan tidak terjadi persaingan usaha yang sehat.
Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja mengatakan, beberapa monopoli yang saat ini terjadi di antaranya monopoli penyedia avtur di bandara, monopoli pengelolaan bandara oleh pemerintah baik melalui BUMN maupun BLU dan UPBU Kementerian Perhubungan, serta monopoli operasional penerbangan dari maskapai atau group maskapai tertentu.
Menurutnya, agar tercipta iklim usaha dan persaingan usaha yang sehat, monopoli tersebut harus diminimalisir atau dihilangkan. Salah satu contoh meminimalisir monopoli operasional penerbangan adalah pengelolaan slot penerbangan yang lebih baik.
Advertisement
Alasan Biaya Penerbangan Tinggi Menurut INACA
Melansir Antara, Denon menyatakan saat ini biaya penerbangan sangat tinggi, melebihi tarif tiket yang telah ditetapkan oleh pemerintah sejak 2019. Akibatnya, maskapai rugi dan mengoperasikan penerbangan untuk sekedar dapat hidup dan tidak dapat mengembangkan usahanya.
"Biaya tinggi yang berasal dari operasional maupun non-operasional penerbangan harus dikurangi atau dihilangkan," katanya.
Ia mengungkapkan, salah satu komponen biaya tinggi dari operasional penerbangan adalah harga avtur yang lebih tinggi dibanding negara tetangga, adanya antrean pesawat di darat untuk terbang dan di udara untuk mendarat yang berpotensi boros bahan bakar, biaya kebandarudaraan dan layanan navigasi penerbangan, dan lain-lain. Sedangkan, biaya tinggi dari non-operasional penerbangan adalah berbagai pajak dan bea masuk yang diterapkan secara berganda.
"Saat ini pajak dikenakan mulai dari pajak untuk avtur, pajak dan bea untuk pesawat dan sparepart seperti bea masuk, PPh impor, PPN dan PPN BM spareparts, sampai dengan PPN untuk tiket pesawat. Dengan demikian terjadi pajak ganda. Padahal di negara lain pajak dan bea tersebut tidak ada,” kata Denon.
Dolar dan Layanan Bandara Jadi Sorotan
Denon juga mengatakan bahwa sebagian besar biaya penerbangan terpengaruh, langsung maupun tidak langsung, oleh kurs dolar AS. Semakin kuat nilai tukar dolar AS terhadap rupiah, biaya penerbangan akan ikut naik. "Hal ini juga harus diantisipasi dan dicarikan jalan keluarnya bersama," ujar Denon.
Ia juga menyoroti biaya layanan kebandarudaraan bagi penumpang (Passenger Service Charge/ PSC) yang dimasukkan dalam komponen harga tiket sehingga membuat harga tiket pesawat terlihat lebih tinggi. "Penumpang tidak mengetahui bahwa PSC itu bukan untuk maskapai tetapi untuk pengelola bandara. Namun karena berada dalam satu komponen, maka penumpang menganggap itu adalah bagian tiket pesawat dari maskapai," ujar Denon.
Ia berharap upaya pemerintah dengan membentuk satgas akan membuat maskapai mendapat margin keuntungan dari operasionalnya. "Sehingga maskapai dapat menyelenggarakan operasional penerbangan dengan baik," imbuhnya.
Sementara itu, Kemenparekraf mengumumkan tiga maskapai akan membuka layanan penerbangan internasional mulai Agustus 2024. Adyatama Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif Ahli Utama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Nia Niscaya menyebutkan ketiga maskapai itu adalah Batik Air Malaysia yang melayani penerbangan dari Kuala Lumpur ke empat kota di Indonesia; Super Air Jet yang melayani penerbangan dari Kuala Lumpur ke Aceh; dan Jeju Air yang akan melayani rute Incheon- Denpasar.
Advertisement