Jusuf Hamka: Anak Buya Hamka Banyak, tapi yang Dikasih Nama Hamka Cuma Saya

Kepada Liputan6.com Jusuf bercerita tentang sosok pasangan serta gagasannya jika berhasil masuk ke Balai Kota Jakarta.

oleh Rinaldo diperbarui 25 Jul 2024, 17:03 WIB
Pengusaha Jusuf Hamka. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Dikenal sebagai politisi Partai Golkar, Jusuf Hamka selama ini lebih banyak bermain di belakang layer. Misalnya menjadi bendahara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin pada Pilpres 2019. Selebihnya, pria yang karib disapa Babah Alun ini lebih banyak dikenal sebagai pengusaha ketimbang politisi.

Namun, semuanya berubah pada Kamis 18 Juli lalu, ketika Partai Golkar memberi surat instruksi kepada Jusuf Hamka untuk maju sebagai bakal calon gubernur atau bakal calon wakil gubernur di Pilkada Jakarta 2024. Jusuf Hamka sendiri menyatakan siap menjalankan tugas yang diberikan.

Mohammad Jusuf Hamka lahir 5 Desember 1957 sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara dengan nama Jauw A Loen atau Alun Joseph. Jusuf tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Tionghoa yang cukup terpelajar. Ayahnya Dr. Joseph Suhaimi, S.H (Jauw To Tjiang) adalah dosen Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta sedangkan ibunya Suwanti Suhaimi (Siaw Po Swan) adalah seorang guru.

Jusuf menghabiskan masa kecilnya di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat. Sepulang sekolah dia seringkali berjualan berkeliling seiring kondisi hidup yang pas-pasan ketika itu. Semua jenis makanan, mulai dari es mambo sampai dengan kacang-kacangan yang dibungkus menggunakan plastik pernah dijual Jusuf di sekitar Masjid Istiqlal.

Untuk urusan pendidikan, Jusuf agaknya punya ketertarikan di banyak bidang. Lihat saja, Jusuf merupakan alumnus Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945. Dia juga menyelesaikan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Bisnis Administrasi di Columbia College (Kanada) hingga Administrasi Negara di FISIP Universitas Jayabaya.

Pada tahun 1981, dalam usia baru 23 tahun, Jusuf membuat keputusan untuk memeluk agama Islam. Di bawah bimbingan Buya Hamka, Jusuf mengucapkan dua kalimat syahadat dan namanya diganti Buya Hamka menjadi Jusuf Hamka serta diangkat sebagai anak oleh ulama besar itu.

Jusuf menjadi mualaf tanpa penolakan dari keluarga. Bahkan, waktu menjalankan puasa pertama, sang ibu yang membelikan penggorengan baru buatnya memasak. Sementara, saat menunaikan ibadah haji pada 1984, ibu angkatnya Nelly Adam Malik memberikan uang sebesar 3000 Riyal untuk biaya perjalanan Jusuf ke Tanah Suci.

Sebagai pengusaha, Jusuf kerap disebut sebagai Raja Jalan Tol lantaran sebagian besar usahanya bergerak dibidang infrastruktur lewat PT Citra Marga Nusaphala Persada sebagai pemegang saham mayoritas. Kendati, bidang usaha yang digarap serta menjadi ladang bisnis Jusuf sebenarnya sangat beragam.

Namun, Jusuf memang dikenal karena perusahaannya mengelola beberapa ruas jalan tol, seperti Tol Ir. Wiyoto Wiyono Cawang-Tanjung Priok, Tol Depok–Antasari, Tol Bogor Outer Ring Road, Tol Soreang–PasirKoja, Tol Waru–Juanda, dan Tol Cisumdawu.

Dengan semua usaha itu, wajar kalau Jusuf disebut bergelimang harta. Hanya saja, hal itu tak tampak dalam kesehariannya. Publik tak pernah melihatnya pamer di media sosial, justru sebaliknya Jusuf selalu menampilkan kesederhanaan. Dirinya memiliki motto yang ditulis di media sosial, yakni 'banyak duit jangan sombong, enggak banyak duit jangan bohong, enggak punya duit jangan nyolong'.

Pada 2008, Jusuf juga sempat menjadi sorotan karena menjual nasi kuning beserta lauk pauknya dengan harga Rp 3.000 per porsi. Nasi kuning tersebut dijual di sebuah tenda bernama Warung Nasi Kuning Podjok Halal. Usaha yang dimaksudkan untuk membantu kaum miskin ini masih berlangsung hingga sekarang di banyak tempat.

Dia juga menyerahkan 10 hektare tanah miliknya sebagai lokasi pemakaman jenazah pasien Covid-19.

Menikah dengan Lena Burhanudin, Jusuf yang dikaruniai tiga orang anak, yaitu Fitria Yusuf, Feisal Hamka, dan Farid Hamka itu menegaskan sudah menyiapkan sejumlah program untuk warga Jakarta. Kepada Liputan6.com Jusuf bercerita tentang sosok pasangan serta gagasannya jika berhasil masuk ke Balai Kota Jakarta.

Ditemui di Kantor DPP Partai Golkar pada Kamis sore pekan lalu, berikut petikan wawancara Jusuf Hamka dengan Sheila Octarina dalam program Bincang Liputan6.

 


Dari Nasi Kuning Menuju Pilkada Jakarta

Pengusaha Jusuf Hamka. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Kita sekarang sedang berada di DPP Partai Golkar, memangnya tadi Babah Alun ada acara apa?

Iya, saya baru saja menerima surat, surat cinta.

Kalau boleh tahu apa isinya?

Surat penugasan. Jadi surat yang menginstruksikan kepada saya untuk menjadi bakal calon Gubernur DKI Jakarta atau bakal calon Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Penunjukan diri Babah Alun untuk maju di Pilkada Jakarta pasti sudah dibicarakan sebelumnya, prosesnya seperti apa?

Prosesnya saat saya makan siang tanggal 11 Juli di kantor Pak Airlangga. Ditanya kira-kira mengurai jalan di Jakarta bagaimana? Saya ceritakan, mengurai jalan Jakarta ya harus berani, kita harus banyak memproduksi jalan, bikin jalan-jalan baru. Jangan hanya mobilnya kita produksi tapi jalannya kurang.

Bagaimana caranya? Ya bikin dari utara ke selatan. Glodok sampai Blok M kalau perlu bikin jalan arteri di atas, kalau perlu dibuat jalan tol yang punya jalan tolnya adalah BUMD, ya kan? Jadi orang-orang kaya lewat di jalan tol yang bayar, orang yang enggak punya ya di bawah, kita bagi saja seperti itu.

Berarti itu adalah salah satu program nanti untuk mengatasi kemacetan Jakarta?

Iya, yang berbayar untuk orang kaya, yang gratis untuk rakyat, kan gitu. Nanti pajak-pajak mobil juga, pajak-pajak mobil yang orang kaya kita tingkatkan. Yang di bawah berapa CC kita malah subsidi kalau perlu, kita ringankan supaya warga juga bisa menikmati.

Nah, Babah Alun sendiri kesiapannya maju di Pilkada Jakarta sudah sejauh mana?

Saya juga belum tahu, saya enggak pernah ikut pilkada, jujur. Ini sesuatu yang baru buat saya. Tapi ya bismillah saja, kun fayakun. Nawaitu-nya baik, pasti ada jalannya.

Kalau arahan dari Bapak Airlangga Hartarto sendiri seperti apa?

Beliau cuma bilang, selama ini saya kan dikenal sebagai juragan nasi kuning untuk kaum duafa, terutama ojol-ojol tuh suka makan di tempat saya. Dia bilang, tolong perbanyak nasi kuning, bantu rakyat supaya rakyat bisa ringan bebannya dan tidak kelaparan.

Saya bilang insyaaallah, Pak. Kalau bisa mulai dari seluruh kecamatan ada warung nasi kuning Babah Alun. Nanti kalau ternyata kurang, di seluruh kelurahan ada warung nasi kuning Babah Alun. Di situ kita jual cuma Rp3.000, tapi kita beli dari UMKM setempat dengan harga Rp10.000. Kita enggak boleh masak atau kita katering, enggak boleh.

Kita bagi UMKM setempat, di kantor kelurahan situ sekitar ada 5 warung, kita gilir senin warung A warung pertama, selasa warung kedua. Kita gilir saja bagi-bagi rezekinya, ya kan.

Karena buat saya kalau kita memberikan makanan yang dari luar, warung UMKM-nya enggak kedapatan, tapi kaum duafanya yang dapat. Saya mau dua-duanya dapat, UMKM-nya kita bantu supaya dia juga makmur, terus warga-warganya juga supaya sejahtera bisa makan yang murah gitu.

Bisa makan murah dan juga enak ya?

Oh, sehat yang pasti. Itu ada lauknya paling enggak ikan, ayam, daging atau telur. Dan itu rata-rata kayak saya biasa beli Rp10.000 saja itu nasi, lauknya bisa ayam sepotong, atau ikan, atau telur, atau daging. Terus pakai tempe orek, pakai bihun sama sayur. Dengan teh panas lagi itu. Kita jual Rp3.000.

Nah cuma, di kami tidak boleh dibungkus, harus makan di tempat. Kenapa kami enggak memberikan gratis? Karena kalau kami gratis, yang enggak membutuhkan ikut makan, pertama. Ikut mengambil lah yang enggak membutuhkan, ya kan? Terus kalau saya kasih gratis berarti itu sedekahnya saya monopoli, sehingga pahalanya berkahnya saya monopoli.

Tapi kalau saya kasih Rp3.000, mereka yang biasa makan Rp10.000, mereka bayar Rp3.000, mereka masih punya Rp7.000 kan? Begitu mereka melihat saudaranya masih ada yang di bawah mereka, mereka bisa ikut sedekah Rp3.000, mereka masih bisa hemat lagi Rp4.000. Jadi sedekah di antara kita, untuk kita, dan bersama kita bisa sedekah semuanya.

Ini saya belajar waktu di depan kantor Palang Merah Indonesia DKI, Kramat Raya 47. Saya juga enggak tahu sebelumnya kenapa saya ngomong Rp3.000 karena memang terlontar saja. Mungkin Allah yang bilang Rp3.000 saja, gitu.

Waktu itu Babah Alun yang langsung melayani pelanggan nasi kuning?

Iya. Suatu hari saya melayani di sana, ada tukang parkir makan saya layani. Terus 5 menit kemudian, tukang parkir itu kembali dengan seorang kakek-kakek renta, yang pakai tongkat. Semacam kayak pengemis, gitu. Terus dia tenteng, dia kasih duit ke saya. Saya mau sedekah buat Bapak ini, tolong siapkan nasi buat Bapak ini Rp3.000. Oh ya saya bilang, baik.

Terus saya di situ berpikir, oh iya angka Rp3.000 rupanya rahasia Allah supaya saudara kita yang lain juga bisa ikut bersedekah walaupun dia terima sedekah. Jadi dari kita, untuk kita semua ikut saling sedekah semuanya.

Dan saya selalu tekankan kepada rekan-rekan saya yang melayani nasi kuning tetap harus beli dari UMKM setempat, warteg-warteg setempat. Jadi mereka enggak mati dagangannya karena bersaing sama kita. Mereka juga bisa hidup karena begini, kalau mereka berkompetisi sama kita, kita mau mencari barokah, mereka mau cari uang sekolah buat anak-anaknya.

Kalau mereka kita bawa katering dari luar, yang biasanya makan di tempat mereka enggak makan lagi, makannya di tempat kami. Nah, akhirnya mereka dagangannya mati, bisa sepi. Yang ada bukan barokah dari kita bawa katering bukan barokah, yang ada sumpah serapah dari UMKM-UMKM itu kan.

Karena bisa dibilang mencuri pelanggan dengan menetapkan harga murah ya?

Nah itu, oleh sebab itu beli dong dari mereka dan saya suka suruh mereka yang jagain. Kalian jagain berapa porsi habisnya, subsidinya saya bayar begitu selesai. Karena apa? Satu, saya mau terjamin higienis, tidak ada orang sakit perut. Kedua, jangan diprovokasi sama orang bahwa barangnya tidak halal, makanannya tidak halal, itu yang saya harus cegah.

 


Antara Kaesang, Anies dan Ahok

Pengusaha Jusuf Hamka. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Selain Partai Golkar apakah ada partai politik lain yang menyatakan dukungan ke Babah Alun maju di Pilkada Jakarta?

Enggak ada. Tapi saya komunikasi sama teman-teman, banyak ya teman-teman di partai-partai lain. Tetapi saya tidak pernah ada minta dukungan atau mereka mau mendukung, karena ini sesuatu yang baru dan ini menurut saya sesuatu yang tiba-tiba, not by planning gitu.

Makanya saya bilang, aneh hidup saya ini, penuh miracle. Orang yang mau mengantre bayar pun mau ini. Saya kalau boleh saya enggak mau ini, tapi saya dikasih. Ya sudah, saya selalu percaya ini langit yang atur, kata Pak Airlangga. Jadi langit yang atur, ya Allah sudah menghendaki ya sudah terima saja, kun fayakun gitu.

Bagaimana Babah Alun melihat Pilkada Jakarta yang selalu berlangsung sengit dan panas, seperti Pilkada 2017?

Saya pikir ini kan suatu proses. Kalau 2017 ini proses pembelajaran, kita sudah belajar dengan cost yang tinggi, dengan perjuangan yang tinggi, dan kita tentunya enggak mau kembali seperti itu. Ya, menurut saya selama pilkada itu diadakan dengan jujur, adil, gitu ya dan juga orang-orang yang ikut bertanding bisa memakai kata-kata yang baik, adu program bukan caci maki, saya pikir semuanya akan baik-baik saja ya.

Ibaratnya dulu kalau Kakek saya bilang, onta buta saja enggak masuk lubang dua kali, masa kita mau masuk lubang dua kali?

Oke, kalau boleh memilih dari Babah Alun sendiri ketika maju nanti ingin dipasangkan dengan siapa?

Kan saya sudah dipasangin sama Mas Kaesang, katanya. Tapi asal Mas Kaesangnya mau. Kalau Mas Kaesangnya enggak mau ya, saya kan kunci Inggris. Tahu enggak kunci Inggris tuh? Ke baut yang mana saja saya masuk. Dipasangkan sama Mas Anies bisa, sama Pak Ahok saya bisa, enggak ada masalah untuk jadi wakil-wakilnya Pak Anies atau Pak Ahok.

Kalau saya misalnya diminta penugasan jadi gubernur, saya juga bisa dipasangkan sama siapa? Budi Djiwandono bisa, Budiman Sudjatmiko bisa, Maruarar Sirait juga bisa, Ahmad Sahroni juga bisa. Gampang kok.

Mau sama kiai, Wakil Ketua Umum PBNU Habib Hilal bisa. Sama kiai nasionalis Ustaz Das'ad Latif juga bisa. Enggak ada masalah, kita teman baik semua. Malah saya bilang, ayo siapa yang mau ikut? Saya siapa yang berani maju bersama untuk kebaikan dan kita enggak cawe-cawe, kita pengabdian dan kita buat legacy, bukan cari kekayaan di sini, ayo sama-sama. Itu saja.

Kalau masih mau cari kekayaan, jangan. Kasihan. Rakyat sudah banyak penderitaannya. APBD ini cukup besar, harus segera dikembalikan untuk kemaslahatan masyarakat.

Berarti bisa dibilang fleksibel ya ketika nanti dipasangkan sama siapa pun?

Oke, karena saya orangnya selalu bisa menyesuaikan diri. Kemana saja saya berteman, saya berteman mau ke atas bisa, mau ke bawah enggak ada masalah. Lihat saja hidup saya enggak ada pengawalan, enggak ada ajudan, enggak ada asisten, jalan ke mana saja sendiri santai. Karena prinsip saya, saya tidak mau banyak musuh. Satu musuh kebanyakan, seribu teman kekurangan.

Dan prinsip saya, kalau ketemu orang marah sama saya, saya enggak salah, saya minta maaf saja, selesai kan? Terus kalau orang marah-marah sama saya karena saya salah, saya minta ampun. Kalau perlu saya gendong dia, minta ampun ya. Selesai kan? Ngapain diperpanjang? Atau sok-sokan ngapain lo marahin gue, gitu? Enggak begitu, hidup damai-damai saja, banyak musuh enggak enak.

Kalau sama Habib Rizieq hubungan Babah Alun bagaimana?

Alhamdulillah saya juga baik sama Habib Rizieq. Saya hormat dan Beliau juga banyak memberikan ilmu-ilmu agama kepada saya. Selain Habib Hilal, Habib Rizieq, Ustaz Das'ad Latif, ya guru-guru saya ini alhamdulillah banyak. Dulu Buya Hamka, Kiai Haji Dahlan AS dan lain semuanya. Jadi makanya enggak sulitlah buat saya beradaptasi.

 


Jadilah Pengusaha, Jangan Jadi ASN

Pengusaha Jusuf Hamka. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Bagaimana Babah Alun melihat IKN yang menjadi ibu kota negara menggantikan Jakarta?

Enggak ada masalah. Saya sempat lama di IKN, 30 tahun. Saya itu besar dan dewasa di Samarinda, di hulu Samarinda lagi. Kurang lebih 3 hari 3 malam kalau naik kelotok.

Dan saya pikir itu kota yang indah, IKN juga indah, dan enggak ada masalah kalau ibu kota pindah ke sana berarti di sini kan bukan ibu kota, tapi saya akan buat Jakarta menjadi kota idaman, kota masa depan yang tidak macet lagi, tidak banjir lagi dan warganya sejahtera.

Dan juga jangan lupa, nanti kalau ibu kota pindah ke sana, yang paling kita harus bereskan adalah polusi udara. Kita selalu bicara stunting, stunting. Kita lupa, anak kita sering batuk pilek itu karena apa? ISPA, Infeksi Saluran Pernapasan Akut.

Bagaimana menyiasatinya? Ya itu, green energy. Semuanya kita mulai pakai mobil-mobil listrik, motor-motor listrik. Semua emisi kendaraan-kendaraan umum yang berbahan bakar emisinya jelek, kita semua buat ketat kita kontrol. Karena ini kan polusi, ini menyangkut kesehatan masyarakat.

Kita enggak tahu berapa duit BPJS yang dikeluarkan itu, ratusan triliun, itu karena penyakit-penyakit ISPA. Dan polusi kita sudah gawat, sudah paling tinggi di dunia polusi kita, jadi makanya tingkat kesehatan masyarakat harus diperbaiki.

Dengan pindahnya ibu kota ke IKN mungkin kemacetan dan polusi akan berkurang ya?

Insyaallah berkurang karena pabrik-pabrik yang di dalam Jakarta juga akan kita atur. Cerobong-cerobong, dia punya boiler-boiler, nah kita akan suruh periksa semuanya. Karena itu warga yang tidak mengerti, yang tinggal di sekitar pabrik, itu pabrik tidak boleh lagi di daerah permukiman.

Pabrik harus dipindahkan ke daerah industri. Kalau permukiman kasihan warga-warga setempat yang tidak mengerti menjaga kesehatan itu kena asap-asap itu, itu kan penyakit, mereka enggak tahu. Jadi mereka kita akan beri penyuluhan-penyuluhan yang lebih baiklah gitu.

Sebagai pengusaha yang sukses mungkin untuk meningkatkan ekonomi masyarakat nanti Babah Alun punya program kalau terpilih?

Saya ingin semua masyarakat jangan berpikir jadi ASN atau pegawai negeri, jadilah pengusaha. Karena sumber daya alam kita banyak. Negeri kita yang gemah ripah loh jinawi ini harus dikelola oleh kita sendiri. Makanya kalau nanti insyaallah di Jakarta misalnya nih, ayo masyarakat buat koperasi. Kita galakkan koperasi, kita besarkan mereka sama-sama, ya kan?

Terus kalau ada misalnya ketemu perikanan yang di Laut Jawa sini, yang di dekat Pulau Seribu gitu, kita berikan kesempatan masyarakat kita. Jangan sampai kita selalu mengandalkan orang-orang asing.

Nah, makanya saya bilang kita harus perbanyak sekolah-sekolah, kita harus perbanyak rumah sakit. Kenapa? Kalau sekolah-sekolah supaya warganya pintar, rumah sakit supaya warganya sehat. Kalau dia pintar, sehat, enggak akan membebani anggaran negara lagi.

Dan kalau dia pintar, dia cerdas, dia akan bisa jadi pengusaha-pengusaha yang handal. Kalau enggak, dia selalu berpikir, ah sudahlah, mendingan jadi pegawai negeri saja, gajinya pasti. Jam 8 masuk kantor, jam 5 pulang, ada uang pension lagi, sudah nikmati pensiun.

Dan enggak boleh lagi berpikir pension, sebab saya sangat kasihan sekali warga-warga kita umur 55 sudah pensiun padahal mereka masih energik. Mereka masih efektif tenaga dan pikirannya. Contonya saya, saya 67 tahun, saya masih bisa. Bahkan kalau saya enggak ada kegiatan, saya kayak lumpuh, otak saya lumpuh, kaki saya bisa lumpuh.

Jadi dengan ada kegiatan, saya enggak pernah tidur siang kecuali badan enggak enak. Saya pagi bangun salat Subuh langsung sampai malam jam 10 atau 11 baru istirahat. Pagi sudah bangun lagi, ya kan? Yang penting jaga makan, olahraga seimbang, otak juga dijaga, mulut dijaga, ya sudah semuanya jadi sehatlah pokoknya.

 


Jadi Anak Ideologis Buya Hamka

Pengusaha Jusuf Hamka. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Boleh diceritakan awal mula Babah Alun dapat nama Hamka?

Oh iya, saya waktu itu masuk Islam di Al-Azhar. Kemudian Buya Hamka rupanya tertarik kepada saya untuk menyebarkan syiar Islam di kalangan teman-teman Tionghoa. Kan saya biasa banyak belajar ke rumah Buya.

Suatu hari itu di bulan Maret kalau enggak salah, sebelum Buya sakit, Buya bilang, 'Sup, kamu datang ya nanti'. Waktu itu Senin saya dipanggil, saya ingat saya dari BP7 waktu itu Sekolah Penghayatan Pancasila di Pejambon.

Saya dapat telepon dari sekretaris saya. Waktu itu belum ada handphone, pakai pager Starko. Terus saya telepon dari telepon mobil yang masih warna oranye ke kantor saya, oh dibilang benar dicari Buya Hamka, disuruh datang.

Jadi dari BP7, dulu belum macet langsung ke Sisingamangaraja situ di Jalan Raden Patah 3 Nomor 1 kalau enggak salah. Saya ke rumah Beliau, terus Beliau bilang itu hari Senin, 'Kamis kamu datang ya?'. Kemana Buya? 'Di aula Al-Azhar di sebelah, ada syukuran'.

Tahu-tahu waktu syukuran di sana Beliau mengumumkan saya sebagai anak ideologisnya Buya Hamka dan diberi nama Hamka. Ya, alhamdulillah. Anak Buya Hamka banyak, cuma yang dikasih pakai nama Hamka saya doang. Ya itu rezeki anak saleh.

Pasti ada sebab lainnya dari hanya sekadar rezeki anak saleh?

Jadi kalau saya berasa ini adalah berkat the power of sadaqah. Kita kagak minta, kita kagak nyari, dikasih. Yang minta, yang nunggu, yang nyari, yang mau bayar banyak tapi kagak dikasih. Hebat kan? Menurut saya Golkar adalah partai masa depan. Dia berani meletakkan satu dasar yang baik tanpa mahar, terus tanpa membedakan etnis, ini luar biasa.

Saya juga akan bilang kepada warga Jakarta bahwa saya tidak akan menyuap kalian dengan iming-iming supaya kalian memilih saya, tapi saya akan jamin kesejahteraan kalian sebagaimana selama ini walaupun dengan scope kecil, warung nasi kuning saya selama ini, ini sudah ada 20.

Jadi kita buka dan itu banyak saudara-saudara kita ojek online semua menikmati semua dan itu kita akan buat di seluruh kelurahan. Mula-mula mungkin kita akan kecamatan dulu, nanti kita akan sampai ke kelurahan, dan kalau APBD enggak ada dananya, don't worry, saya bisa ngecrek kepada teman-teman saya pengusaha dan saya juga minta CSR dari perusahaan saya. Saya ngecrek, enggak malu kok. Saya bilang Bos bantu buat warga, rakyat, pasti mau.

Artinya banyak pengusaha lain yang juga ingin membantu kegiatan Babah Alun di bidang sosial?

Banyak kok pengusaha-pengusaha itu yang suka menelepon saya, dia bilang bagaimana nih, katanya saya mau bantuin nasi kuning. Saya bilang jangan, sedekah saya belum selesai, entar dulu. Ikut dong, katanya. Itu padahal mau ikut, saya bilang nanti dulu.

Jadi alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak mencari sumbangan dari siapa-siapa, untuk warung nasi kuning saya sudah punya 20 warung. Dan yang lucu, yang melakukan, melayani nasi kuning saya teman-teman yang non-muslim. Melayani saudara-saudara kita yang muslim makan.

Ada yang kelenteng, ada yang gereja, ada yang tokoh-tokoh Tionghoa, ada yang di Cianjur, ada yang di Bekasi, ada yang di Jakarta, ada yang di PIK, ada yang di Bekasi semua itu. Nah kalau saya bilang selalu sama teman-teman, kalau kita muslim, kita kasih makan orang muslim bagus. Tapi kalau kita muslim kita kasih makan orang yang non-muslim hebat, gitu.

Sama juga sebaliknya. Orang-orang non-muslim bisa melayani yang muslim makan, wah hebat. Kalau dia orang nasrani kasih makan orang nasrani bagus, tapi kalau dia kasih yang berbeda agama itu hebat. Karena apa? Hatinya memang benar-benar cinta kasih, karena agama kan mengajarkan cinta kasih.

Kalau saya percaya, sebagai muslim saya diajarkan Islam itu rahmatan lil alamin, bukan rahmatan lil muslimin. Oleh sebab itu, walaupun saya berbeda agama dengan teman-teman saya, dengan saudara-saudara saya, saya harus memberikan rahmat buat mereka semua. Bukan berarti mereka tidak muslim saya enggak boleh membagi rahmat kepada mereka. Justru Islam rahmatan lil alamin harus bagi, bukan rahmatan lil muslimin nih.

Sekarang boleh diceritakan bagaimana awalnya Babah Alun merintis karier di dunia bisnis hingga bisa sesukses sekarang?

Begini, pertama kita harus tahu tujuan hidup kita dulu. Makanya saya bilang kepada generasi muda, jangan berpikir jadi pegawai negeri atau pegawai orang, selalu berpikir mau jadi orang kaya. Soal prosesnya menjadi pegawai orang atau pegawai negeri, fine, enggak apa-apa, cari modal dulu, ya kan?

Tapi setelah duitnya ada, harus berani. Jangan kita punya khayalan kita biarkan berputar di kepala. Mimpi-mimpi kita harus diimplementasikan, realisasikan, jangan cuma di kepala. Wah, kita berkhayal begini-begini tapi enggak jalan-jalan. Berkhayal, eksekusi, berkhayal, eksekusi. Gagal ulang lagi, gagal ulang lagi, gitu saja. Pasti ketemu jalannya.

Apakah saya ini salah satu orang yang sangat beruntung? Tapi saya pikir semua orang juga bisa. Saya juga jatuh bangun, jatuh bangun. Waktu itu modal habis, tapi bisa bangkit lagi. Menurut saya ya semua bukan kepintaran saya. Jadi semua pasti ada gerak Allah.

Saya berkali-kali jatuh, bahkan dulu waktu mulai usaha saya memang hemat sekali, dapat duit sepuluh perak yang saya belanjakan seperak, ibaratnya gitu. Dapat duit seratus perak, yang saya belanjain paling lima perak, yang lain ditabung. Saya selalu berpikir kalau lagi krisis ini kita ada tabungan, gitu.

Ternyata ya alhamdulillah pada saat krisis harga barang semua properti turun, turun, turun semua enggak ada yang beli, daya beli enggak ada. Nah, saya pas ada tabungan, saya tinggal beli. Terus enggak lama ditunggu 4-5 tahun naik, saya jual. Jadi ya ini tinggal ketepatan waktu, ketepatan waktu juga bukan karena kita hebat feeling kita.

Saya mungkin mengaji enggak pintar, tapi saya percaya ada satu surat, surat Al-Fatihah. Saya baca saja terus sampai seratus kali, seribu kali saya baca, terus secara tidak langsung saya hampir tidur tuh kalau baca itu tuh mengantuk, setengah ngantuk-ngantuk itu tuh terus kayak ada sesuatu yang memberi pikiran saya, oh jalan keluarnya begini, jalan keluarnya begini, begini, begini. Jadi besoknya saya akan coba pakai cara-cara itu. Ternyata ketemu tuh, dapat jalan keluarnya.

Nah, saya percaya itu karena Allah. Allah memberikan itu karena memang Dia mau, Dia pilih orang yang Dia mau. Dan saya percaya juga itu adalah bagian the power of sedekah. Makanya kita berbuat baik saja deh, jangan culas, jangan curang.

Ya Allah kasih rezeki juga bagi-bagi deh, jangan diumpetin di kantong saja, iya kan? Pasti Allah tambah. Kalau diumpetin di kantong enggak nambah-nambah lagi, Allah enggak kasih.

Jadi semakin sering atau semakin banyak kita memberi, juga semakin banyak kita mendapat?

Sebentar dulu, enggak begitu matematikanya. Makin sering memberi, tapi kita enggak pernah kerja ya habis juga dong. Juga bukan kayak nanti saya bilang nih saya kasih motor, besok lo dapat Kijang, enggak begitu matematikanya.

Yang penting begini, feeling kita saja. Kita lihat duit kita, rezeki kita ada berapa? Enggak usah sok-sokan lebih besar pasak daripada tiang, jangan. Kita mestinya, oh kita memberi orang bantuan misalnya sejuta enggak akan buat kita susah, ya kan? Enggak buat kita jadi kelaparan atau jadi meminjam sama orang, kasih sejuta.

Tapi kalau buat kita saja susah, kasih seratus ribu atau kasih sepuluh ribu seikhlasnya. Kalau orang bilang, kok kasihnya kecil amat, eh Tuhan tidak menilai kita gede kecilnya memberikan, tapi dinilai ikhlasnya.

Kalau memberi dalam jumlah besar supaya Tuhan nanti kasih kita gede, Tuhan marah karena itu jual beli sama Tuhan, enggak boleh. Jadi kasih ikhlas saja, jangan berharap dibalas, dibalas alhamdulillah, enggak dibalas wa syukurillah.

 


Cerita Disunat dan Jadi Mualaf

Pengusaha Jusuf Hamka. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Kemudian, bagaimana ceritanya sampai Babah Alun hijrah dan menjadi mualaf?

Nah, itu juga saya kayak mimpi saja itu. Jadi saya memang sejak kecil teman-teman saya itu muslim semua. Saya kalau mau pergi main bareng suka orangtuanya bilang, eh salat dulu. Saya suka nanya salat apa sih? Kadang kala pagi-pagi saya mau ajak dia jalan-jalan ke Monas, lari pagi gitu. Ibunya bilang, enggak, enggak, nanti habis salat Subuh, katanya.

Kita nungguin di rumahnya, apa sih? Sambil jalan olahraga sama teman-teman, saya tanya salat itu apa? Kata teman saya, itu salat kita menghadap Tuhan, terima kasih sama Tuhan bahwa hari ini kita sudah dikasih hidup lagi, dikasih napas lagi.

Itu kan waktu masih anak-anak umur 10 tahunlah. Tapi seiring berjalannya waktu saya kembali tugas di Samarinda. Di Samarinda itu teman-teman saya orang Kutai, orang Bugis, orang Madura. Jadi waktu itu Samarinda itu sepi. Begitu jam 5 sore sudah enggak ada kehidupan di sana. Jadi kalau malam yang ada hana warga Madura dan Bugis yang dagang batu cincin.

Saya suka nongkrong di situ dan mereka muslim semua. Kadang kala pas begitu jam Isya, mereka bilang, eh tungguin ya dagangan gue, katanya. Gue mau salat Isya. Saya juga banyak tanya, apa sih lu kok harus salat-salat begitu tertib banget. Dia ceritakan, tapi ya enggak masuk juga.

Masih belum memahami esensinya ya?

Iya. Tapi belakangan terus teman-teman saya yang Tionghoa di sana mengajak yuk sunat, sunat yuk katanya. Sunat? Ngapain sunat? Bersih-bersih, katanya. Saya pergi sunat. Saya sunat di rumah sakit umum di mantrinya. Jadi disunat saya, disunat saya di sana.

Terus karena temannya lingkungan Islam, suatu hari saya merasa kayaknya gue pengen kenal Islam lebih jauh deh. Orang Islam tuh disiplin banget ya. Jam-jam tertentu dia harus stop, dia tinggalkan semua, dia terima kasih sama Tuhannya saya bilang, tapi kapan ya?

Suatu hari saya baca majalah, ada orang masuk Islam. Di mana? Di Al-Azhar. Mendadak itu kayak dapat hidayah. Sudah ah, gue mau masuk Islam hari ini. Saya dating ke Al-Azhar, ketemu Buya Hamka. Saya bilang mau masuk Islam bagaimana? Saya bertanya. Siapa yang mau masuk Islam? Saya. Oh gampang, dua kalimat syahadat saja, katanya.

Oh ya sudah, saya bilang besok-besok saya balik lagi. Jangan, katanya. Enggak boleh pulang kamu, katanya. Kenapa? Kalau kamu sudah mau masuk Islam, harus masuk Islam sekarang. Loh, kok maksa? Saya bilang. Bukan maksa, Nak, katanya. Kamu harus masuk Islam karena itu tanggung jawab Buya, katanya.

Kalau kamu pulang dari sini terus kamu meninggal sebagai orang yang bukan Islam, padahal kamu sudah mau masuk Islam, dosanya Buya yang tanggung, katanya. Oh begitu aturannya? Saya bilang. Iya, katanya. Saya bilang saya mau belajar dulu, saya kagak mengerti Buya. Sudah ikuti Buya saja, katanya.

Akhirnya Babah Alun dipandu mengucapkan dua kalimat syahadat?

Akhirnya ikutin, salaman sama Buya. Bismillahirahmanirahim, asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah. Dah kamu muslim, gitu. Sudah, nanti belajar mengaji apa semua belajar, salat, apa semua. Nanti bukunya Buya kasih.

Jadi kalau Allah sudah berkehendak, hidayah sudah datang, sudah enggak ada yang sulit semuanya. Makanya saya bilang bisnis juga kalau Allah sudah berkehendak, rezeki sudah Allah mau berikan, sudah enggak ada yang sulit. Makanya hati harus bersih dan jangan memilah-milah berkawan. Saya berkawan sama siapa saja. Orang kaya, orang kecil, semua berteman.

Babah Alun juga giat membangun masjid di jalan tol, itu idenya datang dari mana?

Saya memang berniat membangun 10 masjid. Tapi ketika ditanya teman-teman waktu itu kira-kira mau bangun masjid berapa, nih mulut disentil Allah kali, 1.000 kata yang keluarnya. Saya bilang ya sudah, berarti kehendak Allah mau 1.000 masjid. Alhamdulillah, sudah delapan sih, baru delapan masjid yang sudah dibangun.

Jadi sebenarnya niat bikin masjid itu bukan apa-apa, karena pertama kebutuhan, terutama buat kantor-kantor saya itu harus ada tempat ibadah, iya kan? Khususnya saudara-saudara kita yang kebetulan karyawan saya mayoritas muslim, jadi saya harus berikan tempat ibadah.

Nah, terus saya bikin arsitekturnya yang oriental look, Chinese look. Orang tanya, kenapa begitu? Bangunannya kayak klenteng. Enggak, saya bilang ini buat syiar supaya orang-orang Tionghoa tahu bahwa Islam itu dengan orang-orang Tionghoa tidak ada masalah. Kan orang-orang Tionghoa selama ini selalu berpikir Islam itu keras, Islam itu lambangnya pedang, katanya.

Saya bilang enggak, coba saja lihat, saya muslim dan Islam itu sama orang China sebenarnya enggak ada masalah karena kalau enggak salah ya, dalam Islam ada kalimat yang bunyinya begini, utlubul ilma walau bissiin, yang artinya tuntutlah ilmu itu walaupun sampai ke negeri China.

Saya diajarkan sama guru saya, dan ternyata di situ kan jelas Rasulullah mengatakan itu, katanya. Jadi bahwa Rasulullah di zamannya saja tidak ada masalah sama China.

Nah, jadi kalau menurut saya sih, apa yang ada saat ini sebenarnya bukan karena kepandaian saya. Tapi saya selalu belajar dari guru-guru saya, terutama Buya Hamka itu selalu menekankan kalau kamu mau menjadi manusia harus yang beruntung.

Beruntung bagimana? Hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin. Hari esok harus lebih baik daripada hari ini. Kalau hari ini lebih jelek daripada hari kemarin, berarti kamu orang yang rugi. Nah, untuk jadi orang yang beruntung bagaimana? Saya dibilangin lagi, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang paling bermanfaat buat orang lain. Jadi kalau enggak salah ayatnya tuh, khairunnas anfa'uhum linnas.

 


Meski Tionghoa, Tanah Air Indonesia

Pengusaha Jusuf Hamka. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Silakan sampaikan pesan-pesan Babah Alun untuk generasi muda kita agar tetap menjaga toleransi dan kerukunan jelang Pilkada Jakarta 2024?

Ya, teman-teman terutama adik-adikku dari generasi muda. Sudah enggak zamannya lagi kita karena berbeda suku, berbeda agama, kita jadi bermusuhan. Kita semua makhluk Tuhan dan supaya diketahui teman-teman, saya punya menantu dari Nusantara sampai mancanegara.

Menantu saya yang pertama yang perempuan, anak laki-laki saya kawin sama orang Lahat, mantu perempuan saya orang Lahat. Kemudian anak perempuan saya kawin sama suaminya yang orang Irak. Jadi dari Nusantara sampai mancanegara dan kami rukun, enggak ada masalah.

Sudah enggak zamannya lagi kita bicara soal ras. Kita semua anak bangsa adalah ciptaan Allah, ya kan? Kalau sama hewan kita bisa sayang, masa sama saudara sesama manusia kita harus saling benci? Marilah kita bersatu, tidak lagi ada istilah pribumi dan non-pribumi.

Kita semua satu bangsa, satu Tanah Air. Percayalah saudara-saudaraku. Kami misalnya, dari Tionghoa kembali ke China, kami enggak diakui, ya kan? Kasihan sekali nasib kami. Jadi kami selalu mengaku setiap kami cobalah di imigrasi di luar negeri misalnya contoh di Singapura, what is your nationality? Kita enggak bilang oh I'm Chinese-Indonesian, enggak. I'm Indonesian.

Coba kita lihat pemain bulutangkis kalau menang, semacam Rudi Hartono, apa dia bilang dia keturunan Tionghoa? Enggak. Dan kita tepuk tangan, Indonesia! Indonesia! Indonesia!

Tapi kalau ada koruptor yang orang Tionghoa, kalian menghujat semua orang-orang Tionghoa, sedihlah, banyaklah teman-teman Tionghoa yang baik-baik, yang cinta Tanah Air. Yuk kita sama-sama rukun bergandengan tangan membangun negeri tercinta, pasti kita bisa ya. Jangan pernah ragu ya.

Saya Tionghoa, saya cinta Indonesia dan saya enggak pernah punya dua tanah air. I love Indonesia, saya hidup dari Indonesia, saya besar di Indonesia, saya akan mati sebagai orang Indonesia. Hidup Indonesia.***

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya