Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengatakan, rencana penerapan hambatan perdagangan berupa Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk produk keramik, telah memacu dua investor untuk membangun pabrik keramik baru di Indonesia.
Ketua Umum Asaki Edy Suyanto mengatakan, pabrik keramik baru tersebut milik dua perusahaan, yakni PT Superior Porcelain Sukses dengan kapasitas 21,6 juta meter persegi yang berlokasi di Subang, serta PT Rumah Keramik Indonesia dengan kapasitas 20 juta meter persegi yang berlokasi di Batang.
Advertisement
"Adapun total kapasitas baru dua investor tersebut sebesar 41,6 juta meter persegi telah menelan biaya investasi kurang lebih Rp3 triliun yang dapat menyerap tenaga kerja hingga 10.000 karyawan," katanya dikutip dari Antara, Kamis (25/7/2024).
Menurut dia, pihaknya menyambut baik transformasi kedua pabrik baru tersebut yang sebelumnya adalah trader dan importir keramik. Dipastikan investasi baru yang akan beroperasi di kuartal III 2024 itu akan meningkatkan volume kapasitas produksi keramik homogenous tile menjadi 250 juta meter persegi per tahun yang saat ini tercatat 207 juta meter persegi per tahun.
Ia mengatakan, dampak positif dari BMAD tidak hanya sekedar menyelamatkan industri keramik saja, namun juga terbukti telah berhasil menjadi daya tarik bagi investasi baru, sehingga konsumen dalam negeri bisa menikmati banyak pilihan produk keramik yang berkualitas dan inovatif dengan harga yang wajar dan terjangkau.
Lebih lanjut, Presiden Direktur PT Superior Porcelain Sukses Billy Law menyampaikan, dorongan membangun pabrik di Indonesia sudah ada sejak satu tahun lalu yang dipicu adanya rencana Pemerintah Indonesia untuk menerapkan anti dumping terhadap produk keramik impor dari China.
"Pada saat mengurus perizinan kami diberi keyakinan bahwa pemerintah Indonesia pasti akan melindungi industri dalam negeri dari serbuan impor untuk menciptakan iklim investasi yang baik di Indonesia," kata dia.
Kena Tambahan Bea Masuk, Keramik Impor Potensi Melonjak
Sebelumnya, Ekonom yang tergabung dalam Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti rencana pemerintah yang bersiap mengenakan tambahan bea masuk untuk sejumlah barang impor. Salah satunya bea masuk anti dumping (BMAD) untuk impor keramik.
Rencana penerapan kebijakan bea masuk anti dumping ini muncul setelah Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) merekomendasikan BMAD atas impor ubin keramik yang berasal dari China, dengan pengenaan tarif maksimal sebesar 199,98 persen.
Direktur Kolaborasi Internasional INDEF Imaduddin Abdullah menilai, kebijakan BMAD yang berlebihan dan tanpa dukungan data yang kuat justru akan kontraproduktif terhadap upaya membangun industri dalam negeri yang kompetitif dan mampu bersaing di level global.
Menurut dia, berbagai studi telah menunjukkan bea masuk yang diterapkan secara berlebihan tidak efektif karena dapat menghasilkan trade diversion. Sehingga impor akan tetap meningkat dari negara-negara yang tidak dikenakan BMAD.
"Selain itu, pengenaan BMAD yang berlebihan akan berdampak pada kenaikan harga di tingkat konsumen, yang pada akhirnya akan menggerus kesejahteraan konsumen," ujar Imaduddin dalam keterangan tertulis INDEF yang diberikan kepada Liputan6.com, Rabu (17/7/2024).
"Kasus pemberian BMAD terhadap produk impor dari China oleh AS tidak menurunkan angka impor keramik itu sendiri. Justru terjadi kenaikan impor dari India dan Vietnam," dia menambahkan.
Sementara Kepala Center of Industry, Trade, and Investment INDEF Andry Satrio Nugroho menyebut hasil analisis KADI untuk merekomendasi BMAD tidak kuat, sekaligus tidak memiliki urgensi karena beberapa sebab.
Lantaran, ia mengatakan, data yang ditampilkan dalam laporan KADI menunjukkan tren impor ubin keramik turun 9,55 persen, dengan impor dari China turun 0,56 persen.
Advertisement
Tren Kapasitas Terpasang
Di saat yang bersamaan, penjualan oleh perusahaan dalam negeri pemohon naik 0,12 persen dan 22,19 persen. Di sisi lain, industri keramik domestik juga sedang dalam tahap ekspansi, dengan produksi meningkat 4,52 persen dan cashflow tumbuh positif.
Sementara tren kapasitas terpasang meningkat 15,74 persen, bahkan melebihi tren penjualan dalam negeri meningkat 12,02 persen.
"Berbagai data yang ditampilkan dalam laporan KADI justru menunjukkan industri keramik belum dalam tahap injury," imbuh Andry.
Andry juga mempertanyakan hasil investigasi dan pengenaan BMAD yang mengalami perubahan dari hasil Mei dengan BMAD 6,61-155,48 persen, sementara hasil KADI 100,12-199,88 persen.
"Perubahan besaran angka ini perlu dipertanyakan dan KADI seharusnya dapat memberikan penjelasan yang transparan," pungkas dia.