Liputan6.com, Jakarta Paparan senyawa Bisfenol A (BPA) menjadi perhatian nasional hingga global karena dapat memicu berbagai gangguan kesehatan serius, mulai dari gangguan hormonal hingga kanker. Bahan kimia BPA telah digunakan selama lebih dari 40 tahun dalam pembuatan plastik polikarbonat (PC) untuk produk konsumen, termasuk kemasan makanan dan minuman. Salah satu yang paling signifikan secara intensitas dan risiko adalah galon air minum yang digunakan ulang.
Berdasarkan kajian resiko Bisfenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan perubahan aturan terkait label pangan olahan. Di peraturan terbaru yang ditetapkan pada 1 April 2024, BPOM mewajibkan pencantuman potensi bahaya BPA pada air minum dalam kemasan yang menggunakan kemasan polikarbonat, bahan yang biasa digunakan oleh galon guna ulang.
Advertisement
Sebelumnya, BPOM menyebutkan galon polikarbonat paling banyak beredar di tengah masyarakat dengan persentase 96% dari total galon air minum bermerek yang beredar. Dari data pemeriksaan BPOM pada fasilitas produksi selama 2021-2022, kadar BPA yang bermigrasi pada air minum lebih dari 0,6 ppm mengalami peningkatan berturut-turut hingga 4,58 persen. Begitu pun dengan hasil pengujian migrasi BPA di ambang 0,05-0,6 ppm, meningkat berturut-turut hingga 41,56 persen.
Demi melindungi masyarakat dari resiko kesehatan akibat paparan BPA, BPOM akhirnya mewajibkan pelabelan bahaya BPA pada air minum dengan tenggat waktu transisi empat tahun bagi produsen untuk melakukan penyesuaian. Di sisi lain, sudah banyak negara besar di dunia telah melarang penggunaan BPA, misalnya Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Cina, Malaysia, dan Filipina.
Bahkan sebanyak 27 negara yang bergabung dalam Uni Eropa sudah resmi mengumumkan kebijakan pelarangan penggunaan BPA untuk kemasan makanan dan minuman mulai akhir tahun 2024 ini.
Bahaya Paparan BPA, Ganggu Sistem Endokrin Tubuh
Bahaya paparan BPA bagi kesehatan diungkapkan oleh Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Prof Junaidi Khotib, SSi, Apt, MKes, PhD.
“BPA dikenal sebagai endocrine disruptor alias senyawa yang mengganggu fungsi normal sistem endokrin tubuh,” kata Prof Junaidi Khotib.
Sistem endokrin merupakan jaringan kelenjar yang memproduksi dan melepaskan hormon yang mengontrol banyak fungsi penting dalam tubuh. Salah satunya, terkait proses fisiologis, seperti pertumbuhan, metabolisme, dan reproduksi.
Junaidi melanjutkan, begitu masuk ke tubuh melalui medium makanan atau minuman yang ditempatkan dalam wadah plastik, BPA akan meniru hormon alami dan merebut tempat hormon tersebut pada reseptor di berbagai organ. Akibatnya, terjadi gangguan hormonal dalam tubuh.
Gangguan hormonal memengaruhi pertumbuhan dan pubertas, serta fertilitas. Bahkan, sejumlah referensi ilmiah menyebutkan kondisi ini dapat memicu munculnya sel abnormal dalam tubuh, serta meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, dan hipertensi.
Revisi Peraturan BPOM tentang Label Pangan Olahan
Pada Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, ada dua pasal tambahan terkait pelabelan risiko BPA pada kemasan AMDK, yaitu 48a dan 61a, dengan tenggat waktu transisi empat tahun bagi produsen untuk melakukan penyesuaian.
Pasal 48A berbunyi, “Keterangan tentang cara penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) pada Label air minum dalam kemasan wajib mencantumkan tulisan ‘simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam’.
Sementara, Pasal 61A berbunyi, “Air minum dalam kemasan yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat wajib mencantumkan tulisan ‘dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan’ pada label”.
Junaidi menilai, regulasi yang diterbitkan oleh BPOM merupakan langkah maju pemerintah dalam melindungi kesehatan masyarakat dan meningkatkan edukasi terkait bahaya BPA. Selain itu, menjadi bukti keberpihakan BPOM kepada masyarakat sebagai konsumen AMDK.
“Sistem endokrin yang terganggu, efeknya tidak langsung terasa. Namun, berbahaya dalam jangka panjang,” ujarnya.
(*)
Advertisement