Liputan6.com, Jakarta Ratusan kader dan simpatisan PDI Perjuangan melakukan longmarch sambil membawa spanduk dan bendera Merah Putih dari kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro menuju ke Kantor Komnas HAM Jalan Latuharhary saat memperingati peristiwa Kudatuli, Jumat (26/7/2024).
Agenda tersebut dalam rangka mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan peristiwa Kudatuli agar dinyatakan sebagai kasus pelanggaran HAM berat.
Advertisement
Dalam aksi ini, selain simpatisan PDIP juga turut diikuti oleh keluarga korban peristiwa Kudatuli. Mereka tampak memakai kaus hitam dengan membawa bendera merah putih dan payung hitam.
Ketua DPP PDIP Djarot Syaiful Hidayat saat berorasi di depan Kantor Komnas HAM berharap Kudatuli tidak lagi terjadi pada pemerintahan yang akan datang. Dia menegaskan, keadilan harus ditegakkan dan kebenaran harus disuarakan.
"Kami mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk merekomendasikan kepada pemerintah agar peristiwa penyerangan Kantor DPP PDI Pro Mega di Jalan Diponegoro nomor 58 Jakarta Pusat pada tanggal 27 Juli 1996 ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat dan menjadi tanggung jawab pemerintah," kata dia.
Ia menilai, di dalam kasus pelanggaran HAM berat meskipun peristiwa penyerangan ini terjadi 28 tahun yang lalu tidak ada masa kedaluarsanya.
Djarot mengatakan, penyerangan yang terjadi pada 27 Juli 1996 lalu itu merupakan bentuk intervensi politik pemerintah Orde Baru kepada kubu PDI Pro Mega.
Saat itu, rezim Orba disebut mendorong massa pro Soerjadi untuk melakukan penyerangan. "Akibat dari penyerangan tersebut Komnas HAM menemukan fakta, 149 orang luka-luka. 9 orang tewas dan 23 orang hilang," ungkap Djarot.
Menyelesaikan Kajian
Sementara, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Atnike Nova Sigiro mengatakan, pihaknya tengah menyelesaikan kajian peristiwa Kudatuli atau penyerangan terhadap kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) yang terjadi pada 27 Juli 1996 silam.
Menurutnya, hasil kajian tersebut akan dibawa ke DPR RI. Dari situ, Komnas HAM akan menentukan apakah peristiwa tersebut masuk sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak.
"Dalam tempo yang tidak terlalu lama, (diharapkan) kajiannya sudah selesai. Tetapi itu belum dibahas dan finalkan di tingkat paripurna," ujar Atnike saat audiensi dengan perwakilan DPP PDIP di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat.
Atnike menuturkan, Komnas HAM menggarap kajian ini secara serius meski peristiwa penyerangan tersebut terjadi sekitar 28 tahun yang lalu.
"Kami berkomitmen serius untuk mengerjakan kajian maupun nanti apa langkah-langkah ke depan yang akan menjadi keputusan Komnas HAM," kata dia.
Advertisement
Amnesty Internasional: Kudatuli Cermin Intervensi Politik Pemerintah
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyoroti kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal sebagai peristiwa Kudatuli. Dia mengatakan, peristiwa tersebut merupakan produk dari intervensi politik pemerintah.
Usman menjelaskan bahwa serangan terhadap Kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 27 Juli 1996 silam seharusnya disebut "raid" atau penyerangan, bukan "riot" atau kerusuhan.
“Istilah serangan itu, itu menunjukkan ada satu pihak dari otoritas keamanan bersama sekelompok preman yang secara sengaja menggunakan kekerasan, menyerang sekretariat PDI, dan menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan seluruh orang -orang yang ada di sana,” kata Usman dalam diskusi bertajuk “Kudatuli, Kami Tidak Lupa” di kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2024).
Usman menambahkan bahwa serangan tersebut bertujuan untuk menyingkirkan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, sebagai bagian dari upaya penyingkiran oposisi politik.
“Jadi, sampai di titik itu, jelas peristiwa 27 Juli adalah peristiwa yang lahir sebagai produk dari intervensi politik kekuasaan, termasuk politik kekerasan negara berupa pengambilalihan paksa dan penangkapan, penyerangan, dan lain-lain gitu," ucap dia.
Ia juga menekankan keterlibatan aparat keamanan dalam serangan tersebut, meskipun beberapa menggunakan seragam sipil.
“Tetapi, kalaupun aparat TNI misalnya menggunakan seragam sipil, aparat kepolisian juga masih jelas menggunakan seragam resmi dan ikut melakukan penyerangan atau pembubaran aksi mimbar bebas yang ada di dalam areal kantor PDI ketika itu," ucap Usman Hamid.