Liputan6.com, Beirut - Kelompok Hizbullah yang berbasis di Lebanon membantah bertanggung jawab dan menekankan tidak ada hubungannya sama sekali atas serangan roket ke Majdal Shams di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel. Serangan menghantam sebuah lapangan sepak bola pada Sabtu (27/7/2024), yang menurut kantor perdana menteri Israel menewaskan 12 anak dan remaja serta melukai 44 orang lainnya.
Seperti dikutip dari Axios, Senin (29/1), pejabat Hizbullah mengaku kepada PBB bahwa apa yang terjadi pada Sabtu disebabkan oleh rudal pencegat Israel. Namun, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) membantah hal itu.
Advertisement
Koresponden BBC Nafiseh Kohnavard dalam unggahannya di platform X alias Twitter menyoroti bahwa banyak pertanyaan seputar peristiwa di Majdal Shams. Dia mengatakan bahwa pola serangan Hizbullah selama 10 bulan terakhir terutama menargetkan sasaran militer. Bahkan setelah serangan terhadap properti pemukim Israel, Hizbullah mengonfirmasi tindakannya dengan menggarisbawahi lokasi yang ditargetkan digunakan oleh militer Israel.
Juru bicara IDF Daniel Hagari sebelumnya mengatakan bahwa Hizbullah bertanggung jawab atas serangan tersebut. Itu, kata dia, merupakan peristiwa paling serius yang menargetkan warga sipil Israel sejak serangan 7 Oktober 2023 oleh Hamas.
Menurut Hagari, serangan dilakukan oleh roket Falaq-1 buatan Iran dengan hulu ledak seberat 45 kg dan hanya Hizbullah yang memiliki roket semacam itu di Lebanon.
Selain Israel, Amerika Serikat (AS) pun turut menyalahkan Hizbullah.
"Serangan ini dilakukan oleh Hizbullah di Lebanon. Itu adalah roket mereka dan diluncurkan dari wilayah yang mereka kuasai," kata Gedung Putih dalam sebuah pernyataan pada hari Minggu, seperti dilansir CNA.
Israel Tidak Akan Tinggal Diam
Israel bersumpah Hizbullah akan membayar peristiwa pada Sabtu, memicu kekhawtairan akan perang habis-habisan di kawasan.
Pada Minggu (28/7), pesawat tempur Israel dilaporkan melancarkan serangan udara yang menargetkan Hizbullah, jauh di dalam wilayah Lebanon dan di sepanjang perbatasan. Belum jelas apakah ada korban dari serangan tersebut.
"Hizbullah bertanggung jawab atas ini dan mereka akan membayarnya," ujar Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant seperti dilansir CNN.
Sekitar 20.000 warga Arab Druze tinggal di Dataran Tinggi Golan, wilayah yang direbut Israel dari Suriah pada tahun 1967 selama Perang Enam Hari. Wilayah itu kemudian dianeksasi pada tahun 1981.
Dianggap sebagai wilayah pendudukan berdasarkan hukum internasional dan resolusi Dewan Keamanan PBB, wilayah itu juga merupakan rumah bagi sekitar 25.000 pemukim Yahudi Israel.
Sebagian besar warga Druze di sana mengidentifikasi diri sebagai warga Suriah dan telah menolak tawaran kewarganegaraan Israel. Dewan Regional Majdal Shams mengatakan pada hari Minggu bahwa tidak satu pun dari 12 anak yang tewas memiliki kewarganegaraan Israel.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mempersingkat kunjungannya ke AS dan kembali ke Israel untuk mengadakan pertemuan kabinet keamanan di Tel Aviv guna membahas situasi pasca serangan. Kantornya mengatakan setelah pertemuan tersebut bahwa kabinet telah memberi wewenang kepada perdana menteri dan menteri pertahanan untuk memutuskan sifat tanggapan terhadap organisasi teror Hizbullah dan waktunya.
Netanyahu sebelumnya menyatakan bahwa dia terkejut oleh serangan tersebut.
"Saya dapat mengatakan bahwa Negara Israel tidak akan tinggal diam tentang hal ini. Kami tidak akan mengesampingkan hal ini," ujarnya.
Advertisement
Peringatan Menlu Lebanon
Menteri Luar Negeri Lebanon Abdallah Bou Habib memperingatkan bahwa jika Israel menanggapi serangan pada Sabtu dengan menginvasi Lebanon, hal itu berisiko menyeret seluruh wilayah ke dalam perang.
"(Perang) melawan Lebanon adalah perang regional," kata Bou Habib seperti dikutip dari CNN. "Ini bukan hanya Hizbullah melawan Israel … Ada Houthi, ada milisi Irak, ada milisi di Suriah yang bukan warga Suriah: milisi Pakistan, Afghanistan. Mereka semua akan terlibat dalam hal itu."
Dia mengungkapkan lebih lanjut bahwa jika terjadi perang, Lebanon tidak akan terlibat tetapi akan mendukung Hizbullah.
"Jika terjadi perang, kami mendukung Hizbullah, tentu saja," tegas Bou Habib. "Bukan karena keyakinan, namun karena serangan apa pun terhadap negara kami, kami mendukung Hizbullah dalam hal ini."
Perang antara Lebanon dan Israel pada tahun 2006 telah menghancurkan sebagian besar Lebanon, namun Hizbullah menggagalkan rencana utama Israel untuk membubarkan kelompok tersebut. Selama perang 34 hari tersebut, Hizbullah diperkirakan telah menembakkan sekitar 4.000 roket – rata-rata 117 roket per hari.
Bou Habib menekankan bahwa perang lainnya tidak hanya akan merugikan Lebanon, tetapi juga Israel.
Namun, Bou Habib mengatakan kepada saluran TV Al Jadeed News, Lebanon telah menerima jaminan dari negara ketiga bahwa tanggapan Israel akan terbatas. Dia menambahkan bahwa Hizbullah pada gilirannya akan membatasi tindakannya.
Ketika diminta oleh pembawa acara untuk mengidentifikasi negara-negara yang telah menawarkan jaminan ini, dia mengisyaratkan bahwa "AS dan Prancis sangat khawatir tentang masalah ini."
Lebanon sendiri telah menyerukan penyelidikan internasional atas serangan tersebut untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab.
Pertanyaan Soal Sistem Peringatan Dini
Setelah serangan itu, beberapa warga Majdal Shams mempertanyakan apakah sistem peringatan dini di area itu berfungsi dengan baik.
Seorang saksi mata serangan di lapangan sepak bola mengatakan kepada CNN bahwa roket menghantam kurang dari lima detik setelah sirene berbunyi.
Dalam tanggapannya, IDF mengaku bahwa pemeriksaan awal menunjukkan sistem peringatan berfungsi dengan baik sebelum roket menghantam.
"IDF melakukan segala upaya yang memungkinkan untuk menyediakan waktu peringatan yang diperlukan kepada masyarakat sebagai bagian dari upaya menyelamatkan nyawa," sebut IDF seperti dilansir CNN.
Advertisement